
Seratus Hari Keliling Indonesia
Bekerja sama dengan Bhuana Ilmu Populer (BIP), KompasTV meluncurkan buku 100 Hari Keliling Indonesia (100 HKI) pada 26 Maret 2015 di Toko Buku Gramedia Central Park, Jakarta Barat. Buku setebal 232 halaman ini ditulis berdasarkan program 100 HKI yang pernah tayang 26 episode di KompasTV pada 2014 lalu.
Memiliki visi untuk menampilkan keindahan dan kebudayaan dari Sabang hingga Merauke, perjalanan yang dilakukan Ramon Y. Tungka bersama tim 100 HKI ini dilakukan mulai 13 Januari 2013 hingga 5 Juni 2013. “Memang pada akhirnya timeline kami yang seharusnya 100 hari menjadi 150 hari. Tepat pada hari keseratus, kami masih baru tiba di Alor, Nusa Tenggara Timur,” kata Anneke Frayanti, produser 100 HKI yang akrab disapa Fraya. “Terbukti mengelilingi Indonesia ini memang tidak bisa hanya 100 hari. Saya berharap buku ini bisa mendorong masyarakat untuk lebih banyak traveling di Indonesia.”
“Butuh lebih dari 100 hari untuk mengelilingi dan mengenal Indonesia,” ungkap Rosianna Silalahi selaku Pemimpin Redaksi KompasTV yang datang pada acara peluncuran buku ini, Beliau juga menyebutkan bahwa buku ini merupakan suatu pengakuan bahwa kita perlu banyak traveling untuk semakin mengenal Indonesia.
Redemptus Suhartono, General Manager BIP, juga menambahkan bahwa buku ini berbeda dengan buku panduan wisata lainnya. “Buku ini memiliki kisah-kisah unik di dalamnya. Misalnya, bagian Lampung tak hanya menceritakan tentang gajah, namun juga tentang padepokan angkat besi yang melahirkan atlet-atlet hebat, seperti Sri Hartati yang menjadi juara dunia angkat berat kelas 57 kilogram,” jelasnya.
Warna-warni Perjalanan
Bagi Ramon Y, Tungka, pembawa acara 100 HKI, buku ini menggambarkan warna-warni perjalanan selama mengelilingi Indonesia. “Perjalanan ini tak selalu mulus, pastinya ada kendala di lapangan. Dari cuaca buruk hingga transportasi yang tak memadai – semua pernah kita alami. Misalnya saja, saat kami didatangi oleh beberapa penduduk dari Desa Sadap, desa yang berdekatan dengan Taman Nasional Betung Kerihun. Mereka menuduh kami melanggar adat dan masuk ke wilayah mereka tanpa izin,” ceritanya. Padahal sebelumnya mereka sudah mengantongi SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi). Sempat sidang adat semalam, mereka pun dianggap tak bersalah. Dari situlah tim 100 HKI juga mengetahui bahwa tamu yang masuk ke Taman Nasional Betung Kerihun harus meminta izin dari pihak taman nasional sekaligus pengurus adat karena mereka melalui Desa Sadap.
“Pokoknya, “barang” yang tak boleh ketinggalan dibawa saat traveling adalah hati dan otak!” seru Ramon. Ya, ibaratnya seseorang yang datang bertamu ke rumah orang, para traveler pun harus menghormati sang empunya rumah. Ada adat dan aturan yang harus dipatuhi. “Indonesia ini unik, budayanya berbeda-beda di tiap wilayah. Di Sumatera saja, budaya di Lampung dengan Sumatera Selatan saja sudah 180 derajat berbeda. Nanti pindah lagi Sumatera Barat, Sumatera Utara, sampai di Aceh sudah berbeda-beda lagi,” kata Ramon.
Ditanya soal masalah transportasi yang masih belum merata di seluruh Indonesia, Fraya menjawab,”Keliling luar Indonesia memang lebih mudah. Namun traveling di Indonesia ini kita bisa dapat banyak hal. Masyarakat ramah, kuliner khas juga luar biasa banyak. Ngga rugi kalau harus bersusah-susah ke pelosok. Lagipula, sesuatu yang susah dan ada usahanya itu lebih berharga dan berkesan.”
Pada peluncuran buku 100 HKI ini juga diputar video singkat mengenai kisah di balik pembuatan program televisi 100 HKI serta digelar acara penandatanganan buku yang dilakukan oleh Ramon Tungka dan Fraya. Mereka yang hadir dalam acara ini pun bisa membeli bukunya langsung untuk mendapatkan tanda tangan dari tim 100 HKI.