Berkelana di Kreta
Memasuki Bandara Daskalogiannis di Prefektur Chania, suasana kontras dengan Athena yang baru saja saya tinggalkan mulai terasa. Bandara mungil ini jauh lebih santai. Fasilitas menunggu pesawat, seperti kafe atau kursi pijat nyaris tak tersedia.
Layaknya penduduk kota kecil di mana pun di dunia, para petugas di bandara ini pun ramah-ramah. Setidaknya ada seulas senyum yang dilempar kepada para pengunjung bandara. Dengan bahasa Inggris berlogat Yunani yang kental, seorang wanita belia berparas Mediterania dengan sabar menjelaskan kepada saya tentang bus yang ingin saya naiki berikut jadwal-jadwalnya.
Akhirnya, Chania!
Bus akhirnya membawa saya tiba di Chania. Perkenalan pertama dengan kota tepi pantai ini adalah melalui terminal busnya yang ternyata jauh lebih kecil daripada Terminal Kampung Rambutan di Jakarta – walau terminal di Chania jauh lebih bersih dan teratur, walau sama sibuknya. Wisatawan yang berceloteh dalam berbagai bahasa tampak naik-turun bus dengan menggendong ransel atau menarik koper mereka. Saya menyalakan ponsel dan menyambungkannya dengan WiFi gratis yang tersedia di terminal untuk melihat peta menuju penginapan, yang ternyata hanya perlu berjalan kaki selama lima belas menit.
Namun setelah meletakkan bawaaan dan berjalan kaki tanpa tujuan, tak sengaja saya sampai di Old Town, bagian kota Chania yang menghadap ke Laut Aegea. Saat itulah kekecewaan saya menguap dan tergantikan dengan kekaguman. Sesuai namanya, area ini menyimpan peninggalan kekuasaan Venesia dan Otoman berupa mercusuar, bekas masjid, jajaran bangunan dan rumah besar yang dijadikan restoran, toko, dan penginapan. Seperti kebanyakan kota tua, Old Town di Chania pun dikelilingi tembok tinggi, yang dulu berfungsi sebagai pelindung dari serangan musuh. Bahkan parit yang mengelilingi kota tua ini pun masih ada.
Naik-Turun Samaria Gorge
Samaria Gorge adalah tujuan utama saya mengunjungi Chania. Sedangkan nama Samaria sendiri berasal dari gereja Santa Maria yang ditemukan di dalam wilayah tersebut. Ngarai sepanjang 16 km di antara Pegunungan Putih dan Gunung Volakia ini diresmikan menjadi Taman Nasional di tahun 1962 dan sejak saat itu, tak ada lagi penduduk yang bermukim di sana. Kri kri, kambing gunung endemik Samaria yang hampir punah, merupakan alasan utama area ini dijadikan taman nasional. Saya pun berharap bertemu kri kri dengan berkunjung ke sini, namun sayangnya tidak terlihat satu ekor pun di sepanjang rute trekking.
Terdapat dua pilihan rute trekking di Samaria Gorge, yaitu menuruni jurang dari dataran Omalos menuju pantai Agia Roumelli yang menghadap Laut Libia, atau sebaliknya. Saya memilih rute yang lebih umum, yaitu memulai dari Omalos. Untuk menuju Omalos, pagi-pagi sekali saya naik bus dari terminal Chania selama sekitar satu jam melewati jalanan beraspal mulus dengan pemandangan gunung, jurang, dan hutan.
Trekking di Samaria Gorge tidak membutuhkan pemandu. Penunjuk arah jelas terlihat dan lintasan sudah terbuka, tanpa perlu menebas ranting pohon atau ilalang. Malah sebagian lintasan sudah berbentuk tangga dan diberi pagar kayu. Beberapa kali saya harus melintasi sungai berbatu yang walau dangkal namun licin dan berisiko membuat tergelincir bila tidak berhati-hati. Tak jarang sesama pengunjung saling membantu melintasi sungai walaupun tak saling kenal. Jembatan kayu tersedia di atas sungai yang cukup dalam dan mengalir deras.
Mencetak Sejarah
Setelah petualangan yang membuat sekujur tubuh pegal keesokan harinya, saya berencana untuk bersanta-santai menikmati kota. Salah satunya adalah dengan mengunjungi Mouseio Tipografias atau Museum Tipografi. Sebagai penggemar tipografi dan pernah belajar desain grafis, kunjungan ke museum ini memang telah saya tunggu-tunggu. Karena terletak di pinggiran kota Chania, tepatnya di kawasan industri, dan tak ada bus menuju ke sana, sehingga saya harus naik taksi dari pusat kota, yang supirnya pun ternyata tidak tahu jalan menuju ke sana. Lagi-lagi aplikasi peta di ponsel menjadi penyelamat.
Sesampainya di sana, Elia Koumi, staf museum yang juga seorang jurnalis dari surat kabar Haniotika Nea menyambut saya dengan ramah. Ialah yang kemudian memberikan tur keliling museum dan menjelaskan banyak hal dengan bahasa Inggris yang lancar. Tur dimulai dari replika mesin cetak pertama penemuan Guttenberg, yang cara kerjanya mirip cetak sablon. Setelah mencontohkan cara kerja mesin itu, Elia lalu mempersilakan saya mencetak satu halaman surat kabar menggunakan susunan huruf yang ada. Ternyata menarik tuas mesin cetak itu berat sekali! Tak terbayang besarnya tenaga para pekerja surat kabar yang di masanya harus mencetak ratusan eksemplar setiap hari.
Tur berlanjut ke mesin yang harus meleburkan metal untuk kemudian mencetak huruf lagi. Ada pula mesin yang lebih modern, yang bisa memberi empat pilihan jenis huruf. Lebih canggih lagi, ada mesin yang bisa menyimpan lembar demi lembar susunan huruf, yang menghemat banyak waktu untuk mencetak surat kabar dan buku. Di luar dugaan saya, museum ini memiliki poster tertua di dunia yang digantung di dinding, di atas mesin pencetak gambar!
Chania, yang berlokasi di barat Pulau Kreta, memang tidak sepopuler destinasi wisata Yunani lainnya seperti Santorini, Athena, bahkan Meteora. Padahal di sini tersimpan bukti-bukti sejarah yang berpengaruh pada peradaban dunia, serta kekayaan alam yang menakjubkan. Masih banyak hal menarik di Chania yang belum sempat saya kunjungi akibat keterbatasan waktu, namun bila ada sumur di ladang boleh kita mampir lagi.
Selengkapnya bisa dibaca di Majalah Panorama edisi September-Oktober 2015
Teks & foto Vira Zoelfikar