Hawke’s Bay, Negeri di Mana Anggur Melimpah
Tak hanya menawarkan panorama alam yang indah serta bebas polusi, suara, dan cahaya, Hawke’s Bay juga memiliki puluhan perkebunan anggur tertua yang memproduksi wine terbaik di Selandia Baru sehingga dijuluki Negeri Wine.
Berangkat ke Selandia Baru dengan harapan berjumpa latar sabana seperti yang terlihat di seri film The Lord of the Rings, tibalah saya pagi itu di Napier dengan pesawat jenis ATR milik maskapai Air New Zealand. Claudia Taske dari Tourism New Zealand yang bakal menyertai perjalanan selama di Hawke’s Bay juga sudah tiba dan langsung mengantar menuju salah satu winery di sini.
Hawke’s Bay yang berada di pesisir timur North Island merupakan salah satu penghasil anggur terbaik di Selandia Baru dengan varietas yang paling dominan adalah Syrah, Merlot, dan Cabernet Sauvignon dengan jumlah mencapai 80 persen. Merupakan perhentian utama rute roadtrip Classic New Zealand Wine Trail, banyak turis yang tadinya hanya berencana singgah sebentar di Hawke’s Bay malah berubah pikiran dan sengaja melewatkan berhari-hari di sini untuk melakukan winery hopping, seperti yang bakal saya lakukan selama empat hari ke depan di Napier, atau bahkan menetap selama bertahun-tahun.
Datang saat awal November, yaitu ketika sedang masa peralihan dari musim semi ke musim panas, cuaca saat itu tak terlalu panas, dengan suhu antara 17 hingga 19 derajat Celsius.
Serasa di Rumah
Dalam satu jam, perut telah terisi penuh dengan set menu 3-course yang disantap bersama wine yang tak henti-hentinya dikucurkan, sehingga saya pun lupa sudah berapa gelas yang terminum. Claudia pun mengajak saya menuju tempat menginap terlebih dahulu untuk meletakkan bagasi dan membersihkan diri sebelum ke destinasi berikutnya. Ajakannya segera saya iyakan, karena busana yang dikenakan saat itu memang terlalu tipis untuk udara malam yang menurut prakiraan cuaca bakal berangin.
Akomodasi untuk malam itu adalah Black Barn Retreats yang merupakan bagian dari Black Barn Vineyards (www.blackbarn.com). Terletak sedikit berjauhan, sementara Black Barn Vineyards memiliki bistro untuk bersantap dan amfiteater untuk menggelar konser, Black Barn Retreats menawarkan alternatif bagi tamu yang berencana menginap di salah satu dari 12 vilanya yang mewah dan masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri, seperti menghadap perkebunan anggur dengan danau mungil di satu sisi dan perbukitan di sisi lain, atau dilengkapi kolam renang dengan sejumlah sunbed di tepinya.
Berpesta Wine
Pesta pembukaan F.A.W.C! atau Food and Wine Classic (www.fawc.co.nz) digelar di Black Barn Vineyards, tepatnya di lapangan terbuka yang dikeliling pepohonan rimbun dengan latar perkebunan anggur dan perbukitan di kejauhan. Area ini dibuat mirip bazar dengan stand-stand yang menawarkan aneka wine, bir, dan snack. Sebelum memasuki area tersebut, pengunjung diberikan gelas kosong yang nantinya digunakan untuk mencicipi semua wine yang tersedia di setiap stall.
Tiba pukul 17:00, langit masih cerah dan matahari baru tenggelam sekitar lima jam lagi, sehingga suasana saat itu memang mendukung untuk mengobrol, menyesap wine, dan mengudap. Walau datang tanpa mengenal siapa pun, bahkan saya merupakan satu-satunya pengunjung yang datang dari Asia Tenggara sehingga tampak mencolok dengan rambut dan mata hitam, di akhir acara saya sudah berkenalan dengan sejumlah turis yang datang dari berbagai kota di Selandia Baru, seperti Auckland dan Wellington.
Saat sedang mengudap fig cookies dari stand Te Mata Figs (tematafigs.co.nz), saya melihat seseorang yang wajahnya tak asing di stand milik Craggy Range Winery (www.craggyrange.com). “We met before on Instagram!” seru saya kegirangan setelah menghampiri orang tersebut yang ternyata Matt Stafford, Chief Winemaker di Craggy Range Winery. Sekitar seminggu sebelum keberangkatan ke Hawke’s Bay, Matt sempat mengikuti Instagram saya, dan karena penasaran, saya membuka laman Instagramnya yang dipenuhi oleh foto-foto wine hasil produksinya. Matt yang ternyata juga mengenali saya pun segera menuangkan wine dan meminta saya mencicipinya.
Satu hal yang membuat saya jatuh cinta dan betah tinggal di sini adalah penduduknya yang sangat ramah. Barangkali seperti inilah orang Indonesia di masa lalu, selalu ramah, penuh senyum, dan menyambut orang asing dengan tangan terbuka. Hal ini kini sulit dijumpai di kota-kota besar, terutama karena tingkat kriminalitas yang tinggi, sehingga orang pun selalu tampak curiga dan penuh prasangka.
Teks & foto: Melinda Yuliani
Selengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi Januari-Maret 2016