TOP

Salju di Musim Panas

“Sometimes the snow comes down in June”, begitu lirik yang dinyanyikan Vanessa Williams dalam lagunya yang paling terkenal, yang memang benar-benar terjadi bila berkunjung ke gunung-gunung berpuncak salju di Australia seperti Mount Buller

 

Angin dingin terasa menusuk tulang begitu saya turun dari pesawat Airbus A330-200 milik maskapai Garuda Indonesia. Salju di Australia turun deras-derasnya ketika di belahan dunia lain sedang kegerahan. Penerbangan langsung dari Jakarta ke Melbourne memakan waktu sekitar enam jam dengan keberangkatan pukul 23:30, membuat saya dilema antara tidur atau menikmati in-flight entertainment dari maskapai pemenang penghargaan World Best Economy Class dan World Best Economy Class Seat dari Skytrax tersebut. Karena beragamnya pilihan hiburan, baik audio maupun film panjang dan pendek, saya menyerah dan memilih untuk menikmati hiburan, walaupun ketika tiba di Melbourne nanti harus dibayar dengan wajah kuyu karena kurang tidur. Toh, Melbourne kota yang terkenal akan kultur kedai kopinya, sambil berharap ketika mendarat nanti, saya punya waktu untuk mampir di salah satu kedai kopi untuk memesan flat white.

Namun harapan tinggal harapan. Berhubung tiba di jam sibuk, yaitu pukul 08:00, tempat parkir pesawat di Bandara Internasional Melbourne penuh, sehingga pilot harus memarkir pesawatnya di area satelit yang tidak memiliki fasilitas garbarata, sehingga butuh waktu lebih lama untuk mentransfer penumpang ke gedung terminal dengan bus. Sesampainya di loket imigrasi pun antrean pendatang dari luar Negara Persemakmuran Inggris sudah sangat panjang.

Petugas imigrasi yang melayani saya mengingatkan pada Vernon Dursley, paman dari Harry Potter. Ia meminta paspor dan menyuruh saya menghadap kamera. Sambil mencocokan data dan foto, tanpa menatap saya ia bertanya, “Anda mau ke mana?”, yang saya jawab dengan Mount Buller. Seketika wajahnya menoleh ke saya dengan senyum terukir. Keadaan langsung mencair, ketika petugas tersebut kemudian berceloteh tentang betapa indahnya Mount Buller. “Good luck, mate, hope you can still see the snow, because this week is the last week of winter!” ujarnya seraya menyerahkan kembali paspor saya.

 

Kota Kecil yang Sepi

Baru saja membenamkan tubuh di kursi mobil yang empuk, Jimmy berkata, “Ada beberapa hal yang perlu saya beritahukan. Pertama, saya hanya akan mengantar Anda sampai Mansfield, untuk makan siang, kemudian perjalanan ke Mount Buller akan diteruskan dengan shuttle bus. Kedua, Anda datang di minggu terakhir di musim dingin, kemungkinan besar salju telah mulai mencair, kesenangan bermain ski atau snowboarding di Mount Buller akan berkurang jika nanti malam es tidak turun.” Dua kali sudah saya mendapat peringatan tentang datang di waktu yang salah – akhir musim dingin memang sepertinya tidak direkomendasikan untuk berkunjung ke Mount Buller. Ketinggian Mount Buller hanya 1.805 meter di atas permukaan laut, sepanjang musim dingin, pada Juni hingga September, seluruh permukaan gunung akan diselimuti oleh salju.

2

Kekhawatiran saya menguap seiring dengan mobil yang melaju meninggalkan Melbourne. Pemandangan di luar jendela mobil perlahan berganti dari deretan gedung pencakar langit penuh manusia menjadi perbukitan hijau yang dihuni biri-biri, sapi, dan kuda.

Mansfield adalah kota kecil yang hanya berpenduduk 4.360 jiwa. Letaknya tepat di tengah-tengah antara Melbourne dengan Mount Buller. Semua toko dan perkantoran di sini seperti layaknya banyak tempat di Australia, tutup pada pukul 17:00. Namun khusus di kota kecil ini, Jimmy mengatakan bahwa masyarakatnya sangat senang menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah, dan biasanya hanya keluar rumah untuk berkumpul bersama kerabat di akhir pekan.

Saya tiba di Mansfield sekitar pukul 12:30, kota ini benar-benar sepi tanpa terlihat manusia berkeliaran. Bagai kota mati, yang terlihat hanyalah deretan mobil yang terparkir Mungkin karena musim dingin juga, sehingga warga malas berkeliaran di luar ruangan. Jimmy pun mengajak saya ke The Produce Store, restoran yang menyatu dengan toko kebutuhan pokok. Barulah ketika memasuki toko ini terlihat keramaian dan bahkan saya harus menunggu untuk mendapatkan tempat duduk karena ketika itu jam makan siang.

3

Jatuh Bangun Snowboarding

Terbangun pagi itu, saya langsung melompat dan membuka tirai jendela. Ternyata di luar hujan – hujan air, bukan salju seperti yang diharapkan. Kecewa, saya pun berjalan tanpa semangat ke restoran untuk sarapan. Di meja dekat jendela, Kate telah sarapan lebih dulu. Sambil menyeruput secangkir kopi, ia bercerita, sebenarnya waktu terbaik untuk ke Mount Buller adalah pada Juli dan Agustus. Namun, pada pertengahan Juni sampai akhir September masih dapat berkunjung ke Mount Buller dan dapat bermain salju. Hal ini karena Mount Buller, sejak 1994, telah dilengkapi dengan 244 buah mesin pembuat salju, mesin ini akan mengubah air hujan menjadi es. Mendengar hal tersebut, semangat saya kembali timbul karena snowboarding tetap dapat dilakukan sesuai rencana.

Untuk snowboarding, diperlukan perlengkapan khusus berupa jaket, celana, sarung tangan tebal, papan, sepatu khusus, dan helm yang (kecuali sarung tangan) tersedia untuk disewa di Grimus Ski Centre. Sarung tangan tidak disewakan untuk alasan higienis, namun tersedia untuk dibeli seharga mulai 20 dolar Australia per pasang.

Danny Cahill sebagai instruktur tiba-tiba memberi tepuk tangan dan menjuluki saya nekad karena menurutnya, sebagai pemula seharusnya saya memilih ski, bukan snowboarding. Secara teknis ski akan lebih mudah karena dibantu dengan ski pole untuk menjaga keseimbangan, tongkat ini juga berfungsi untuk mengatur kecepatan atau untuk berhenti, bahkan berdiri ketika terjatuh.

Butuh sekitar 30 menit penuh perjuangan sebelum akhirnya saya dapat seimbang di atas papan untuk meluncur dengan benar. Untuk melaju, berhenti, dan belok diperlukan kombinasi dari kekuatan pergelangan kaki dan pinggul, serta konsentrasi untuk mengalahkan rasa takut. Apabila tak terkontrol, kecepatan luncurnya dapat mencapai 80 kimometer per jam (rekor snowboarding tercepat di dunia mencapai 203 kilometer per jam!).

 

Teks: Arris Riehady