TOP

Memupuk Rasa di Singapura

Di balik gedung pencakar langit dan ritme hidup yang bagai selalu tergesa, Singapura juga memiliki sisi romantis yang dapat meniupkan napas baru dalam hubungan antarmanusia.

Perjalanan bulan madu kedua ke Singapura ini sebenarnya merupakan rencana cadangan, karena awalnya kami ingin menikmati pantai. Sayangnya, kawasan pantai yang memenuhi kriteria kami (indah, sepi, berair jernih, memiliki fasilitas memadai, dan fotonya belum banyak beredar di Instagram) memerlukan perjalanan panjang. Padahal kami hanya punya dua malam selama akhir pekan karena kesibukan sedang tidak dapat ditinggalkan. Dengan semua pertimbangan tersebut, maka kami sepakat untuk terbang ke Singapura.

Ketenangan Sungai Singapura
Bila hotel menjadi bagian penting untuk berbulan madu, namun pada kunjungan kali ini kami tidak memilih hotel yang jauh dari keramaian, seperti kriteria pertama yang dipertimbangkan para pasangan berbulan madu. Pilihan langsung dijatuhkan kepada Four Points by Sheraton Singapore, Riverview, yang baru beroperasi dan berada di tepi Sungai Singapura yang tetap memberikan ketenangan. Lokasinya pun tak jauh dari kawasan yang menawarkan tempat hangout unik, seperti Robertson Quay, Clarke Quay, dan Tiong Bahru yang sedang naik daun, sehingga kami memiliki beragam opsi kegiatan selagi menikmati waktu berkualitas.

Setibanya di hotel, sambil meneguk segelas jus jeruk segar di konter check-in, diinformasikan bahwa kamar belum siap karena kami tiba sebelum jam check-in. Berhubung sudah memasuki jam makan siang dan malas keluar hotel lagi, kami pun menuju Four Points Eatery di lantai lobi. Kami memilih meja di luar ruangan yang menghadap Sungai Singapura yang dilengkapi kipas angin di langit-langitnya untuk mengompensasi udara yang lembap tanpa angin. Pelayan dengan sigap menginformasikan bahwa untuk makan siang itu tersedia menu a la carte maupun prasmanan. Setelah mengintip beragam hidangan yang tersaji di meja prasmanan yang ternyata bertema Oceania Seafood Buffet, maka kami pun sepakat mengambil paket prasmanan.

“Jangan lupa cicipi Slipper Lobster Laksa, namun menu tersebut tidak ada di meja hidang kali ini, sehingga harus dipesan terpisah. Itu masakan kebanggaan hotel kami,” ujar pelayan sambil mengawal kami ke meja yang tersedia. Istri saya yang memang penggemar lobster langsung tergoda, sehingga selain menikmati berbagai sajian seafood dari meja hidang, kami pun berbagi semangkuk Slipper Lobster Laksa untuk mengobati rasa penasaran.

Sehabis bersantap siang, kamar kami telah siap dan ternyata koper ternyata telah lebih dulu dikirim ke kamar. Dari jendela kamar, terlihat kawasan Robertson Quay yang memanjang dari muara Sungai Singapura ke Kim Seng Bridge. Kawasan hiburan malam ini lebih tenang dibandingkan Clarke Quay dan Boat Quay. Sambil menunggu matahari agak bergeser ke barat, kami beristirahat di kamar sambil mendiskusikan hal-hal yang akan kami lakukan di sisa hari itu. Istri saya yang sudah lupa kali terakhir ke Singapura mengusulkan untuk naik kapal keliling Sungai Singapura. Awalnya ide tersebut saya tolak karena terlalu klise dan tidak autentik, selain hal tersebut biasanya hanya dilakukan oleh mereka yang baru pertama kali ke Singapura.

“Ayolah, kapan kamu terakhir keliling Sungai Singapura naik kapal? Sudah lupa juga, kan?” bujuknya, yang kemudian saya mengalah dan menyetujui usulan tersebut.

* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Januari – Februari 2017.
Teks & foto: Arris Riehady