Menyusuri Reruntuhan Sukhotai
Hanya berjarak sekitar 76 kilometer dari Bangkok dan dapat ditempuh dalam perjalanan naik mobil selama 90 menit, kota kuno Ayutthaya yang merupakan bekas ibukota Kerajaan Sukhothai memberikan suasana kontras dengan Bangkok yang selalu ramai dan hiruk-pikuk. Kerajaan Sukhothai sendiri merupakan pusat peradaban Asia, berkat letaknya yang strategis di Teluk Siam, di tengah-tengah jarak antara India dan Tiongkok. Itulah sebabnya juga kerajaan ini merupakan pusat perdagangan antara Asia, Timur Tengah, dan Eropa, sehingga mengundang banyak komunitas asing untuk menetap di sini, seperti bangsa Tiongkok, Jepang, Vietnam, India, Persia, Portugis, Belanda, dan Perancis. Wilayah Ayutthaya kini berada di Provinsi Phra Nakhon Si Ayutthaya dengan situs peninggalan sejarah yang tersebar di kawasan seluas 289 hektar.
Seperti halnya banyak jalan menuju Roma, banyak pula jalan menuju Ayutthaya dan cara terbaik ke sini adalah dengan mengikuti tur satu hari yang banyak ditawarkan berbagai operator. Selain nyaman karena setiap peserta akan dijemput dan diantar ke hotel masing-masing, namun juga tersedia pemandu yang akan menjelaskan setiap situs yang dikunjungi. Karena tidak mungkin mengunjungi semua kuil, berikut lima di antaranya yang terpenting di Ayutthaya yang disusun dengan urutan kronologis bila datang dengan rombongan tur dari Bangkok.
Pemberhentian Pertama:
Wat Phu Khoa Thong
Nama kuil yang bila diterjemahkan menjadi Golden Mountain Temple ini dibangun pada 1387 di Desa Phukhao Thong. Chedi orisinilnya yang bergaya Mon dibangun oleh Raja Hongsawadi asal Burma untuk merayakan kemenangannya menakhlukkan Ayutthaya di sebelah Wat Phukhao Thong yang terbuat dari bata merah yang kini masih dalam keadaan terawat. Sempat hancur akibat perang, restorasi kuil ini dilakukan pada masa pemerintahan Raja Boromakot, yang kemudian menambahkan chedi bergaya Thai setinggi 80 meter dengan bola emas di ujungnya di bekas chedi bergaya Mon yang rusak tersebut. Pengunjung dapat naik ke chedi untuk menikmati pemandangan sekitar yang dikelilingi sawah dari ketinggian.
Pemberhentian Kedua:
Wat Lokkayasutharam
Kerajaan Ayutthaya terbagi menjadi Ayuttha Awal, Tengah, dan Akhir. Menilik dari batu bata dan semen yang digunakan serta model bangunannya, kompleks kuil yang hanya tinggal reruntuhan di tepi jalan ini dibangun pada periode pertengahan Ayutthaya atau ketika kerajaan ini sedang jaya-jayanya. Yang tampak paling mencolok dari kompleks reruntuhan ini adalah patung Buddha sepanjang 37 meter dan setinggi 8 meter dalam keadaan terbaring dengan wajah yang menghadap timur. Bekas kuil ini masih dianggap keramat oleh warga setempat, karena orang masih berbaris di hadapan patung Buddha untuk memberikan persembahan berupa buket teratai kuncup demi memohon nasib baik. Setelah puas berkeliling sambil melakukan selfie, di sekitar kompleks reruntuhan kuil ini terdapat deretan warung yang menjual snack dan minuman dingin, termasuk es krim kelapa.
Pemberhentian Ketiga:
Wat Mahathat
Kuil ini disebut-sebut sebagai kuil di kompleks Ayutthaya Historical Park sebagai yang paling banyak difoto oleh pengunjung, terutama objek unik berupa kepala patung Buddha yang terlilit akar pohon beringin. Kepala Buddha tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak kepala Buddha yang tergeletak begitu saja di tanah setelah dijarah pencari harta karun. Karena tergeletak di dekat pohon beringin, setelah beratus tahun, akar pohon ini membelit dan menggangkat kepala patung sehingga menjadi seperti yang ada sekarang. Bila sedang ramai antrean untuk berfoto dengan kepala Buddha tersebut, berjalan-jalan dulu saja keliling kompleks kuil yang tak kalah menawan ini. Dibangun pada 1374, Wat Mahathat tergolong besar dan masih dalam keadaan utuh. Wat Mahathat sendiri bila diterjemahkan adalah Temple of the Great Relics karena di sinilah peninggalan-peninggalan Buddha disimpan dan dipuja, selain kuil yang dibangun pada abad ke-15 ini menjadi tempat tinggal pimpinan tertinggi biksu Thailand.
Pemberhentian Keempat:
Wihan Phra Mongkolborphit & Wat Phra Si Sanphet
Kedua kuil ini berada di satu kompleks yang sama. Wihan Phra Mongkolborphit memiliki patung perunggu Buddha setinggi 12,45 meter dan merupakan patung Buddha terbesar di Thailand dan awalnya dibuat untuk diletakkan di luar ruangan. Dibangun semasa pemerintahan Raja Srongtam, patung ini kemudian dinaungi kubah yang sempat hancur karena tersambar petir sehingga kemudian direnovasi dengan atapnya mengambil bentuk katedral yang lebih kuat. Semasa pemerintahan Raja Rama 5, atap yang menaungi patung Buddha itu kemudian diberi sentuhan arsitektur khas Ayutthaya. Di sinilah juga upacara kremasi para raja dan keluarga kerajaan digelar. Berjalan terus lebih dalam dari Wihan Phra Mongkolborphit, terdapat kompleks Wat Phra Si Sanphet yang merupakan kuil tersuci di lingkungan istana Ayutthaya sebelum dihancurkan oleh Burma. Karena merupakan kuil untuk keluarga kerajaan, tak ada biksu yang tinggal di sana. Sisa-sisa kemegahan kuil yang didominasi tiga buah chedi yang berjajar ini pun masih dapat dilihat karena kemudian kuil ini dijadikan model untuk membangun Wat Phra Kaeo di Bangkok.
Pemberhentian Kelima:
Istana Bang Pa In
Istana ini terletak di luar kompleks Ayutthaya Historical Park dan oleh para operator tur dijadikan opsi setelah mengunjungi candi-candi dan reruntuhan di Ayuttaha dalam perjalanan kembali ke Bangkok. Merupakan istana musim panas bagi raja-raja Thailand yang dibangun pada abad ke-17, sebelum Bangkok dijadikan ibu kota. Terdiri dari beberapa pavilion yang masing-masing memiliki bangunan berarsitektur berbeda-beda, semua bangunan yang terlihat di sini adalah hasil restorasi semasa pemerintahan Raja Rama IV di abad ke-19. Istana yang lebih terasa nuansa Eropanya ini masih digunakan, terutama untuk acara-acara kenegaraan. Dikelilingi kolam buatan, ornamen-ornamen di sini mengambil bentuk prang khas Khmer. Ikon tempat ini adalah paviliun bergaya Thai di tengah kolam yang dibangun Raja Rama V dan terinspirasi dari chalet ala Swiss. Untuk mengelilingi kompleks istana ini bisa dengan berjalan kaki atau menyewa buggy seharga 350 baht bagi yang malas berjalan.
Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Panorama edisi September-Oktober 2015
Teks & foto: Fransiska Anggraini