Third-Wave Coffee, Dari Biji ke Budaya Minum Kopi
Di kalangan pecinta kopi, beberapa tahun belakangan ini makin marak terdengar istilah third wave of coffee, yang adalah gerakan untuk menghasilkan biji kopi berkualitas, sehingga kopi kemudian naik kelas menjadi komoditas mewah seperti wine. Selama proses produksinya, dibutuhkan kerja keras dan ketelitian akan hal-hal kecil, sehingga kemudian kopi pun layak diberi predikat sebagai karya seni. Sejak masa tanam, pemetikan, hingga penyangraian dan cara penyajian dilakukan secara bersungguh-sungguh, selain konsumen juga dapat melacak asal kopi yang mereka minum.
Karena dengan mudah konsumen melacak biji-biji kopi yang mereka konsumsi, maka petani pun dituntut untuk menghasilkan komoditas terbaik untuk memenangkan persaingan pasar. Namun karena kopi diperlakukan seperti karya seni, maka jumlah produksinya pun terbatas.
Kilas Balik Perjalanan Kopi
Pada 1960-an, konsumsi kopi naik berlipat kali di seluruh dunia dan kopi kemudian menjadi minuman yang dapat dinikmati orang banyak dari berbagai kelas. Inilah Gelombang Pertama (first wave) perkembangan kopi dalam ranah gaya hidup. Gelombang Kedua (second wave) adalah ketika muncul jaringan kedai kopi, seperti Starbucks, sebagai bisnis yang menguntungkan karena tak lagi hanya menjual kopi sebagai minuman kebutuhan, namun juga menyediakan tempat untuk meeting, mengobrol, atau bekerja. Setelah kopi menjadi gaya hidup, lalu konsumen mulai kritis mencari tahu perjalanan kopi dari biji hingga terhidang di kedai-kedai langganan mereka – inilah yang melandasi munculnya Gelombang Ketiga (third wave) penikmat kopi.
Imbas Gelombang Ketiga
Gelombang Ketiga dalam industri kopi ini menaikkan derajat kopi sebagai bagian dari pengalaman gastronomi karena penikmatnya dapat menilai rasa dari biji-biji berkualitas baik dengan segala variasi jenis dan tempatnya berasal. Dampak lain yang dibawa oleh Gelombang Ketiga ini adalah pengusaha kedai kopi dapat langsung melakukan transaksi dengan petani kopi, tidak lagi harus melalui kementerian perdagangan atau lembaga dagang suatu negara. Bila dulu bubuk kopi dibuat dari beragam jenis biji karena produsen tidak dapat menjamin ketersediaan dan kualitas biji kopi, kini dengan percaya diri pengusaha kedai kopi menyajikan kopi single origin (satu jenis biji kopi) dan tidak lagi menyangrai kopi hingga gosong, melainkan medium dan bahkan ada yang light. Ketika itu pengusaha kopi menyadari bahwa teknik menyangrai biji kopi dapat disesuaikan dengan karakter setiap biji untuk mengeluarkan rasa terbaiknya.
Minuman berbasis espresso pun juga kemudian bervariasi dan salah satu imbasnya adalah kehadiran latte art yang memuat pengalaman minum kopi semakin berkesan. Itu semua ditambah alat penyajian kopi pun kemudian muncul beragam jenis, tergantung hasil akhir minuman yang diingankan, seperti alat untuk seduh manual (pour-over), yaitu Chemex dan Hario V60, selain ada juga siphon untuk teknik membuat kopi dengan teknik vacuum.
Istilah Gelombang Ketiga ini dipertama kali digunakan oleh Timothy Castle pada 1999, di mana hal ini tadinya mengacu pada kualitas kopi yang mulai diperkenalkan kepada masyarakat Amerika Serikat. Walau begitu, jauh sebelum istilah Gelombang Ketiga diperkenalkan, sejak akhir 1960-an, Peet’s Coffee & Tea asal Californi tadinya hanya menjual biji-biji kopi yang disangrai nyaris gosong untuk pemakaian rumah tangga dan baru membuka gerai yang menyeduh espresso menggunakan biji-biji terbaik, serta serius melakukan teknik menyangrai dan mencampurkan biji-biji kopi untuk menghasilkan minuman yang nikmat pada 1984.
Espresso bar pertama di Amerika Serikat hadir di Seattle melalui Starbucks, namun sebelumnya banyak kedai kopi mungil yang juga menyajikan espresso bagi komunitas imigran Italia dan para eksportir kopi. Pada 2014, Starbucks menginvestasikan sekitar 20 juta dolar AS untuk membangun pusat penyangraian dan pencicipan kopi di Seattle untuk menargetkan penikmat kopi Gelombang Ketiga yang selama ini kurang menyukai minuman kopi Starbucks yang diracik menggunakan mesin espresso otomatis demi efisiensi dan alasan keselamatan.