7 Heritage Sites to Learn History
Candi Dieng
Wonosobo, Jawa Tengah
Kompleks candi Hindu di kaki pegunungan Dieng ini berada di ketinggian 2.000 meter dan diperkirakan dibangun antara akhir abad kedelapan hingga awal abad kesembilan – dan diduga sebagai candi tertua di Jawa. Sempat ditinggalkan oleh penduduk setempat, candi ini akhirnya ditemukan oleh seorang tentara Inggris pada 1814 ketika mengunjungi Dieng dan melihat reruntuhan candi yang terbaring di tengah danau. Kini setiap tahunnya ribuan wisatawan mengunjungi Dieng Culture Festival yang menggelar berbagai acara menarik, termasuk upacara pemotongan rambut anak gimbal.
Museum Kereta Api Ambarawa
Jawa Tengah
Stasiun yang awalnya dikenal sebagai Stasiun Willem I ini dibangun pada 1873 atas permintaan Raja Willem I untuk mengangkut tentara ke Semarang. Hampir seabad kemudian, stasiun ini ditutup sehingga rute Magelang – Semarang – Yogyakarta pun sudah tidak ada lagi. Pada 1976, Soepardjo Roestam yang saat itu menjabat Gubernur Jawa Tengah mengubah stasiun ini menjadi museum. Meski terkesan tua, bangunan dan semua peralatan di museum ini masih terpelihara dengan baik.
Taman Sari
Yogyakarta
Setelah membangun keraton sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengku Buwono I memerintahkan seorang arsitek Portugis bernama Demak Tegis dan Bupati Madiun sebagai mandor untuk membangun sebuah istana di selatan keraton pada 1758. Istana yang terletak di tengah danau dan pulau buatan ini kemudian dinamai Taman Sari. Sejak 2009, Festival Taman Sari digelar setiap tahunnya di kompleks yang kini jadi objek wisata ini dengan berbagai kegiatan menarik, mulai dari pertunjukan seni hingga pameran dan bazar di Plasa Pasar Ngasem.
Fort Rotterdam
Makassar, Sulawesi Selatan
Didirikan pada 1545 oleh Raja Gowa kesepuluh bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung, bangunan yang awalnya bernama Benteng Jumpandang (Ujung Pandang) ini hanya berbahan dasar tanah liat dengan mengadaptasi ciri arsitektur Portugis dengan bentuk perseginya. Barulah pada pemerintahan Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14, materialnya diganti dengan batuan karst hitam yang diambil dari pegunungan karst di Maros. Benteng ini juga diperluas dan memiliki bentuk baru yang menyerupai penyu, sehingga namanya pun berubah menjadi Benteng Pannyua (Penyu). Tahun 1666 Belanda mengambil alih benteng ini dan mengubah namanya menjadi Fort Rotterdam.
Istana Maimun
Medan, Sumatera Utara
Adalah Sultan Mahmud Al Rasyid, putra sulung pendiri kota Medan, yang membangun Istana Maimun ini dengan rancangan arsitek asal Italia. Berbagai kebudayaan mempengaruhi arsitektur istana ini, mulai dari Melayu, Moghul, Timur Tengah, Spanyol, India, dan Belanda. Dibangun pada 1888, istana seluas 2.700 meter persegi ini halamannya mencapai empat hektar sendiri. Sejak 1946, para ahli waris Kesultanan Deli – yang hingga kini masih ada meski tidak lagi memiliki kekuatan politik – menghuni Istana Maimun. Di waktu-waktu tertentu, seperti saat pesta pernikahan, pertunjukan musik tradisional Melayu digelar di istana tersebut.
Hotel Majapahit
Surabaya, Jawa Timur
Hotel mewah yang dibangun tahun 1910 ini awalnya bernama Hotel Oranje. Pada masa penjajahan Jepang, hotel ini berganti nama menjadi Yamato Hotel sebelum akhirnya dikuasai kembali oleh Belanda setelah Perang Dunia II usai– ditandai dengan bendera Belanda yang berkibar di sisi kanan hotel. Pada 19 September 1945, para pejuang Indonesia merebut hotel sekaligus merobek warna biru pada bendera tersebut, sehingga bendera yang berkibar pun menjadi bendera Merah Putih. Insiden Bendera ini kemudian dipamerkan dalam bentuk lukisan yang dipajang di lobi hotel. Peristiwa itu juga membuat hotel ini populer dengan sebutan Hotel Merdeka.
Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta
Hotel Indonesia adalah hotel berbintang pertama di Indonesia yang dibangun dengan standar internasional. Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno meresmikannya tahun 1962 dan menggunakan hotel ini untuk menyambut para atlet dan tamu yang berkunjung ke Jakarta dalam perhelatan Asian Games IV. Dipersiapkan sebagai tempat tinggal bagi tamu-tamu negara, atau sebagai tempat untuk menggelar acara makan malam kenegaraan, di tahun-tahun pertama hotel ini berdiri, Soekarno pernah menjamu Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja yang berkunjung di akhir 1962, selain juga Presiden Filipina Diosdado Macapagal pada Februari 1964. Di tahun 2004, hotel ini berpindah tangan dan berada di bawah pengelolaan kelompok Kempinski. Dengan pengalaman selama satu abad mengelola berbagai hotel terbaik dunia, Kempinski menghidupkan kembali dan mengelola hotel kebanggaan Indonesia ini dengan cara modern
Selengkapnya bisa dibaca di Majalah Panorama edisi Januari-Februari 2015.