Di Antara Awan Alishan
Tiba di Taiwan saat musim dingin, suhu di beberapa tempat menjadi tak menentu. Cuaca selalu berubah dari siang ke malam, sehingga mantel tebal pun selalu melekat di tubuh. Beruntung hari itu cerah, walau Jeffrey, pemandu saya selama di Taiwan, tetap mengingatkan saya untuk mengenakan pakaian hangat beserta perlengkapan lainnya, seperti sepatu bergerigi dan syal sebagai pelindung leher, berhubung tujuan saya kali ini adalah kawasan pegunungan setinggi lebih dari 2.000 meter.
Alishan National Scenic Area adalah rumah bagi suku Tsou, penduduk asli Taiwan yang juga disebut dengan Aborigin. Membentang dari kaki bukit di sebelah barat Taiwan hingga Taman Nasional Yushan, kawasan pegunungan seluas 420 kilometer persegi ini merupakan atraksi wisata populer di Asia berkat keindahannya, mulai dari pemandangan matahari terbit, deretan perkebunan teh, lautan awan, satwa liar, dan pepohonan raksasa.
Cinta yang Tak Sampai
Saya memulai perjalanan dari Taichung, kota niaga yang berjarak satu setengah jam berkendara dari Taipei. Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk tiba di Alishan dari Taichung. Dalam perjalanan, Jeffrey mengisahkan sejarah dan beberapa mitos tentang Alishan.
“Mitos cinta juga ada di Alishan, tempat yang bagus untuk jatuh cinta, sekaligus patah hati,” kata Jeffrey pada saya. Penasaran dengan lantunan lagu romantis yang pilu tadi, saya bertanya pada Jeffrey soal mitos-mitos tersebut. Namun Jeffrey menyarankan saya untuk bersabar dan menyingkapnya sendiri nanti.
Mampir di Kampung Suku Tsou
Melalui jalur yang kini mulai menanjak dan berkelok, Jeffrey mengajak saya untuk mampir di Yuyupas Tsou Village Culture Field (www.yuyupas.com) dan mencicipi makanan khas. Suku Tsou memiliki racikan makanan yang berbeda dengan warga pendatang asal Tiongkok yang banyak mendiami kota-kota besar, seperti Taipei. Bila di Taipei banyak ditemui makanan dengan bumbu tajam, dan dimasak dengan digoreng, masakan Tsou lebih didominasi dengan hasil rebusan, sayuran segar, dan daging ayam atau babi yang digoreng tidak sampai garing.
Yuyupas Tsou Village Culture Field sendiri berlokasi di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. Letaknya yang di lereng bukit dan di tengah hamparan perkebunan teh membuat tempat ini sering dijadikan persinggahan bagi turis yang hendak menuju puncak Alishan. Selain menawarkan pemandangan yang menyejukkan, tempat ini juga menampilkan rumah adat suku Tsou, ruang pentas untuk menggelar tarian dan pertunjukan seni membuat teh, serta museum yang menampilkan sejarah dan kebudayaan suku Tsou.
Cinta Tragis Dua Saudari
Suasana riuh yang diselingi hembusan angin dingin langsung terasa saat tiba di Alishan Station yang menjadi titik awal mengeksplor kawasan hutan cemara. Berbeda dengan stasiun kereta pada umumnya, Alishan Station yang bangunannya mirip resor ini dibangun dengan kayu cemara yang kokoh dan berwarna gelap. Stasiun yang dulunya menjadi fasilitas penting untuk mengangkut kayu di era pendudukan Jepang, kini berubah fungsi menjadi alat angkut wisatawan.
Setelah turun dari kereta dan berjalan melalui boardwalk sejauh satu kilometer di tengah rimbunnya pepohonan cemara yang beberapa di antaranya berusia lebih dari 1.000 tahun, saya tiba di sebuah kolam berair hijau. “Ini Sister’s Pond yang terdiri dua kolam, yaitu Younger Sister’s Pond yang tak terlalu luas dengan perairan dangkal, serta Older Sister’s Pond yang lebih indah karena dikelilingi pepohonan hijau dan memiliki paviliun di tengahnya,” jelas Jeffrey.
Legenda setempat menjelaskan bahwa dulu ada dua orang saudari yang saling mencintai satu pria yang sama. Persaingan pun terjadi, namun karena dua saudari tersebut tak ingin saling menyakiti, akhirnya gadis termuda memutuskan bunuh diri dengan menceburkan diri di kolam yang kini disebut Younger Sister’s Pond. Kaget dengan aksi nekat adiknya, sang kakak pun meregang nyawanya di kolam sebelahnya.
Ada Pohon Cinta
Jalanan terus menurun menyusuri hutan cemara sebelum akhirnya tiba di sebuah spot yang bernama Pohon Babi. Cemara tua yang sempat rubuh ini lama tak tersentuh dan kayu-kayunya membentuk sesosok babi, lengkap dengan telinga, lubang hidung, dan matanya yang seolah sedang menatap para pengunjung yang lewat.
Namun yang menjadi atraksi utama di sini adalah Pohon Cinta. Entah karena apa, dua buah pohon yang tumbuh saling bertabrakan justru melahirkan bentuk hati yang nyaris sempurna. Sayangnya, beberapa dahan yang patah kini membuat Pohon Cinta tak lagi terlalu menonjolkan bentuk hatinya, meski masih terlihat bentuk dasarnya.
“Tempat ini simbol orang jatuh cinta. Kalau menyatakan cinta di sini, bersiaplah untuk menikah, karena cintamu pasti diterima dan hubunganmu akan langgeng,” canda Jeffrey lagi. Entah benar atau tidak, pengelola kawasan memang menyediakan dek khusus dengan bangku di depan pohon berbentuk hati ini. Mungkin ini memang tempat yang disiapkan untuk melamar orang terkasih.
“Lain kali ke Taiwan, jangan lupa mengajak pasangan dan sampaikan puisi cinta di depan Pohon Cinta agar cinta kalian abadi,” kata Jeffrey. Tentu saja ini sebuah usulan yang bagus!
How to get there
China Airlines (www.china-airlines.com) terbang ke Taipei dari Jakarta dua kali sehari, yaitu pukul 14:30 dan tiba di Taipei pukul 20:55. Sebaliknya dari Taipei pukul 09:15 dan tiba di Jakarta pukul 13:30. Tersedia juga penerbangan transit via Hong Kong yang berangkat pukul 06:35 dari Jakarta dan tiba di Taipei pukul 14:45, sebaliknya dari Taipei pukul 13:40 dan tiba di Jakarta pukul 20:10.
Teks & foto: Yudasmoro Minasiani
Selengkapnya bisa dibaca di majalah Panorama edisi Januari-Maret 2016