TOP

Memahami yang Hilang di Perth

Teks &  foto Alexander Thian

Sebuah perjalanan emosional ke Perth berujung kepada pengertian lebih mendalam akan perjuangan sebuah suku asli untuk memperjuangkan eksistensi mereka. 

Hubungan ‘pendatang’ kulit putih di Australia dan dan penduduk asli di Australia – Aboriginal – memang penuh kontroversi.  Mengikuti Urban Indigenous Tour (www.urbanindigenous.com.au) membuat saya sadar, ketidakadilan memang nyata, hadir dan akan terus ada di belahan dunia mana pun. Kami  terdiam mendengarkan cerita Sheila Humphries, tentang bagaimana seorang anak – puluhan ribu anak – dipisahkan secara paksa dari keluarga mereka oleh pemerintah Australia.

Pada usia empat tahun, Sheila dibawa paksa oleh pemerintah Australia ke sebuah panti asuhan. Dia direnggut dari pelukan mamanya dengan alasan, Sheila akan memperoleh hidup yang layak, pendidikan yang baik, tempat berteduh yang memadai. Pemerintah Australia waktu itu memang memisahkan anak-anak Aboriginal dari orang tua mereka dengan alasan untuk memberikan hidup yang lebih layak. Penduduk asli Australia memang dikenal buta huruf dan “tidak berbudaya”, dan pelbagai alasan lain. Periode gelap ini berlangsung dari awal 1900an sampai 1960an, yang kemudian dikenal dengan The Stolen Generation.

Saat musim dingin, semua anak-anak di panti asuhan menggigil kedinginan. Mereka tak diberi selimut tebal atau sekadar sepatu sederhana untuk dipakai. Semua deraan fisik dan mental membentuk Sheila menjadi seorang perempuan yang membenci orang kulit putih. Dia merasa hidupnya telah berakhir saat dia direnggut paksa dari orangtuanya. Hati saya tertusuk-tusuk mendengarkan kalimat Sheila. Wajahnya menjadi sangat sendu.

perth-20140228_104217-1

Akhir yang Bahagia

Saat akhirnya Sheila keluar dari panti asuhan itu pada usia delapan belas tahun, kedua orangtuanya sudah meninggal dan dia tak punya tujuan hidup. Tak lama  raut wajahnya melembut, terutama saat ia menceritakan bagian bahagia dari hidupnya, yaitu menemukan belahan jiwanya, yaitu seorang lelaki Aboriginal yang menumbuhkan kembali semangat hidup dan mendorongnya untuk menyelesaikan sekolah sehingga kemudia iamenjadi seorang pelukis dan untuk pertama kali dalam hidupnya akhirnya mengenal arti ‘bahagia’.

Sheila Humphries kini dapat menjual lukisanya seharga 3000 AUD. Dia konsisten melukis dengan gaya Aboriginal, yang pada siang itu, diajarkannya kepada kami. Dengan selembar kertas berukuran kartupos, peralatan melukis yang ternyata dari batang-batang kecil kayu yang mirip tusuk sate, serta satu palet cat, kami mulai membuat lukisan bergaya Aboriginal. Sheila kemudian menceritakan arti simbol-simbol dari lukisannya, dari simbol matahari, bintang, pemukiman penduduk, laki-laki, perempuan, api unggun, sungai, sampai ke kanguru.

perth-IMG_1072

Dalam kesempatan lain, saya sempat menayakan satu pertanyaan sensitif kepada pemandu wisata.  Pertanyaan tersebut tak sanggup saya tanyakan kepada Sheila, sehingga saya memberanikan diri untuk menanyakannya kepada sang pemandu agar penasaran saya terjawab sebelum meninggalkan Australia.

“Mengapa banyak pandangan negatif terhadap orang Aborigin, dan terutama, mengapa mereka dianggap pemalas?” tanya saya. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, sang pemandu terdiam.

“Orang-orang Aborigin adalah penduduk asli Australia, yang sudah ada di sini sejak berpuluh-puluh ribu tahun yang lalu. Gaya hidup mereka sangat sederhana karena menggantungkan diri pada alam. Buat mereka, yang paling utama adalah mengambil dan mengembalikan segala sesuatu pada alam di tempat mereka tinggal. Ambil secukupnya, manfaatkan, lalu kembalikan dengan cara merawat, menanam, memelihara. Ketika mereka sudah selesai berkegiatan, maka sisa hari akan dipergunakan untuk bersantai. Selalu begitu selama lebih dari empat puluh ribu tahun. Kegiatan seperti ini sudah tertanam pada DNA mereka.  Maka ketika orang kulit putih datang dan menanamkan ideologi mereka, siapa yang salah?” Suara bariton sang pemandu kembali terdengar, mantap dan jernih.

Penjelasan sang pemandu sangat logis sehingga saya pun langsung merenungkan banyak hal. Salah satunya kebiasaan mencap buruk kelakuan orang-orang yang tak sepaham dengan kita, yang kita anggap berbeda, yang nyeleneh, yang tak sesuai dengan nilai yang kita anut.

Selengkapnya bisa dibaca di Majalah Panorama edisi Januari-Februari 2015.