Peradaban di Atas Totora Kering
Sekelompok orang asing dalam balutan pakaian berwarna mentereng menyambut rombongan wisatawan dengan kehangatan bak sahabat lama. Hal itu tentu saja membuat kerinduan akan rumah yang berada di balik bola dunia – atau terpisah jarak 30-an jam perjalanan udara – menjadi sedikit terobati.
Kami tiba di Puno dengan naik mobil dari kawasan Lembah Colca menjelang senja. Ketika itu Peru nyaris memasuki musim dingin. Tubuh sudah sejak siang sedikit meriang karena ritme circadian yang masih kacau setelah menempuh perjalanan nyaris 35 jam dari Jakarta dan melewati beberapa zona waktu. Ditambah dalam perjalanan dari Lembah Colca ke Puno, kami melalui puncak-puncak tertinggi Pegunungan Andes, yang beberapa di antaranya mencapai lebih dari 5.000 meter di atas permukaan laut.
Dada kami sesak dan nafas kami terengah-engah, entah karena ketinggian atau karena keindahan di sekitar kami yang memang sangat memukau: deret demi deret pegunungan dengan puncak-puncak yang bersalut salju, hamparan padang rumput yang menguning dan sesekali tampak kawanan alpaca, llama, dan vicuna yang endemik Andes sedang merumput. Liukan jalan yang menyusuri tebing atau menembus celah gunung pun membuat kami sulit memejamkan mata karena tak ingin melewatkan kejutan-kejutan di sepanjang jalan.
Si Cokelat Puno
Puno merupakan hamparan kota di tepi Danau Titicaca, danau terbesar di Amerika Selatan yang saking luasnya terhampar 60 persen di wilayah Peru dan sisanya di wilayah Bolivia. Karena didominasi bangunan berwarna kecokelatan, keseluruhan wajah kota pun ikut tampak cokelat. Dari dekat, barulah terlihat bahwa rumah-rumah kecokelatan itu terbuat dari batu bata dan sengaja dibiarkan tampak belum jadi. Beberapa malah tidak memiliki atap, sementara beberapa bangunan tiga lantai sengaja hanya ditempati lantai duanya (lantai satu dan tiganya sengaja dikosongkan). Ternyata inilah cara warga Peru melepaskan tanggung jawab sebagai wajib pajak, yaitu dengan menempati bangunan yang terkesan belum jadi, sehingga pemerintah hanya bisa mengenakan pajak lahan yang ditempati (tidak termasuk bangunan di atasnya karena dianggap bangunan belum jadi).
Mobil melewati pusat kota dan menuju Hotel Jose Antonio di tepi Danau Titicaca. Tadinya kami agak kecewa karena diinapkan di hotel yang jauh dari pusat kota. Terlebih ketika itu banyak keperluan yang harus kami penuhi, seperti mengisi ulang pulsa, membeli air minum karena di kamar hotel tidak tersedia, dan mencicil membeli suvenir untuk oleh-oleh. Seperti kota-kota di Eropa, tipikal kota-kota di Peru mempunyai alun-alun utama yang selalu menarik untuk dijelajahi karena biasanya dikelilingi restoran, pertokoan, dan bangunan bersejarah.
Kami baru mengetahui alasan diinapkan di Jose Antonio Hotel yang berada di tepi danau adalah ketika sehabis sarapan keesokan harinya, kami digiring ke belakang hotel yang ternyata terhubung dengan dermaga. Di ujung dermaga tersebut, telah menunggu sebuah kapal berkapasitas 15 orang (padahal kami cuma berempat!), lengkap dengan toilet. Kapal tak hanya bersih, namun kursi-kursinya pun empuk.
“Kita berangkat ke Isla Los Uros dari sini. Lebih nyaman dan lebih dekat, karena tak perlu ke dermaga utama Puno, yang tentu saja ramai turis,” ujar pemandu kami yang bernama Cindy.
Menuju Pulau Buatan
Pagi itu kami menuju Isla Los Uros atau secara harfiah dapat diartikan sebagai Pulau Suku Uros atau Uro (dalam bentuk tunggal), yang letaknya hanya 20 menit naik kapal. dari dermaga di belakang Hotel Jose Antonio Suku ini mendiami sekitar 60 pulau buatan di Danau Titicaca yang berbuat dari batang-batang tumbuhan air mirip ilalang bernama totora (Schoenoplectus californicus) yang banyak tumbuh di danau ini. Awalnya, pemukiman warga Uros ini berada di tengah danau, namun setelah badai hebat menghantam kawasan Danau Titicaca, warga membangun kembali pemukiman mereka, namun kali ini lebih dekat ke Puno agar bila terjadi bencana, akan mempermudah evakuasi dan meminta pertolongan.
Danau Titicaca berada pada ketinggian 3.810 meter di atas permukaan laut. Di malam hari bahkan suhunya dapat merosot ke minus. Walau begitu, suku Uros mengaku tidak pernah kedinginan karena mereka percaya bahwa darah mereka hitam, selain menyebut diri sebagai keturunan matahari atau Lupihaaques, sehingga tubuh mereka selalu hangat.
Kapal merapat di salah satu pulau yang lantai dan bangunan-bangunannya terbuat dari totora kering. Kami disambut ucapan selamat datang dalam bahasa Aymara, bahasa yang digunakan warga Puno. Suku Uros tidak lagi berbicara bahasa Uro dan lebih bisa berbicara Aymara karena mereka kerap berdagang di Puno, selain beberapa menikah dengan warga Aymara, sehingga lama-kelamaan mereka melupakan bahasa mereka sendiri.
* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Mei – Juni 2017.
Teks: Fransiska Anggraini