TOP

Sakura Pun Sampai Korea

Selain Jepang, Korea pun menawarkan alternatif untuk menikmati sakura yang oleh masyarakatnya disebut beotkkot. Hal ini karena setiap awal April, sakura-sakura di Gyeongpo serentak merekahkan kelopak warna-warni mereka.

Kedatangan saya di Bandara Internasional Incheon disambut hujan lebat. Saya dan rombongan yang terdiri jurnalis televisi, media cetak, travel blogger, influencer, dan agen perjalanan diundang Korea Tourism Organization (KTO) yang tengah mempromosikan PyeongChang yang terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin 2018. Dari sekian banyak agenda yang akan dilakukan dalam kunjungan ini, yang paling membuat saya penasaran adalah Gyeongpo Cherry Blossom Festival.

Di pintu keluar Terminal Kedatangan telah berdiri seorang pemandu untuk menemani rombongan. “Selamat datang,” sapanya satu per satu kepada rombongan. Do Jae Jun atau – yang minta dipanggil Dodo – merupakan warga Korea yang lancar berbahasa Indonesia. (Selain Dodo, ternyata ada 114 orang pemandu bersertifikat KTO yang fasih berbahasa Indonesia!) Di atas bus yang melaju meninggalkan bandara menuju Seoul, Dodo menceritakan bagaimana ia bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.

“Berlibur ke Bali merupakan motivasi saya belajar bahasa Indonesia, selain saat ini sambil menyelesaikan S2 jurusan Sastra Indonesia. Saya juga pernah tinggal di Depok selama enam bulan untuk mengikuti program pertukaran pelajar,” jelas pria berusia 27 tahun tersebut. Dari Dodo jugalah saya tahu bahwa hitungan usia di Korea berbeda dengan perhitungan usia secara universal, di mana di Korea, bayi yang baru lahir dinyatakan usianya telah satu tahun. Dengan begitu, usia Dodo sebenarnya baru 26 tahun jika menggunakan perhitungan umur universal.

Sakura di Mana-mana

“Sakura sebenarnya berasal dari Korea. Bunga itu dibawa ke Jepang semasa pendudukan Jepang,” ujar Dodo dan dengan bangga ia mengulang informasi ini berkali-kali demi meyakinkan semua peserta dalam perjalanan menuju Gyeongpo. Dari balik jendela bus, mata saya mulai mendapati deretan pohon bunga sakura. Dari PyeongChang, Gyeongpo cukup ditempuh selama sekitar 30 menit berkendara.

Kehadiran sakura di negara-negara Asia Timur memang kerap menjadi perebutan dan saling klaim antara Tiongkok, Korea, dan Jepang. Walau memang bunga sakura lebih terkenal di Jepang, sehingga tiap tahun turis berbondong-bondong ke negara tersebut, namun berdasarkan fakta sejarah bunga sakura pertama kali ditemukan di kaki Pegunungan Himalaya yang masuk dalam wilayah utara Tiongkok. Bunga yang hanya mekar selama dua minggu ini ditemukan semasa pemerintahan Dinasti Qin pada tahun 221 hingga 206 sebelum Masehi. Kini, tak hanya di Tiongkok, Korea, dan Jepang, sakura juga dapat dinikmati di berbagai wilayah dengan iklim subtropis, seperti negara-negara di Eropa, Australia, bahkan di Indonesia, tepatnya di Kebun Raya Cibodas. Berdasarkan data Index Kewensis yang berada dalam naungan Royal Botanic Gardens, sebuah organisasi dunia tentang flora, terdapat sekitar 308 spesies sakura di seluruh dunia.

Lain Padang, Lain Belalang

Berlangsung 6 hingga 12 April 2017, Gyeongpo Cherry Blossom Festival terpusat di sekitar Danau Gyeongpo seluas 4,3 kilometer persegi dan menjadi salah satu festival terbesar untuk melihat bunga sakura mekar di Korea Selatan. Untuk memasuki area festival, saya harus berjalan kaki sekitar 500 meter karena lahan parkir ketika itu sudah terisi mobil-mobil pribadi, sehingga bus pariwisata dialihkan ke area yang agak jauh.

Di pintu masuk tersedia penyewaan sepeda dan sepeda yang dimodifikasi sehingga memiliki empat roda untuk mengakomodasi dua dewasa serta dua anak-anak, sehingga cocok bagi yang ingin menyusuri danau bersama keluarga. Berbeda dengan festival sakura di Jepang, di mana pengunjung menggelar tikar dan menikmati hidangan yang dibawa dari rumah, di Gyeongpo, pengunjung lebih suka mengelilingi danau naik sepeda.

Saya sendiri memilih untuk berjalan kaki sambil menikmati udara segar di sepanjang jogging track yang dikelilingi sekitar 5.000 pohon sakura. Hampir di setiap langkah saya mendapati pasangan yang melakukan pemotretan pranikah, selain banyak pasangan belia yang berfoto dengan berbagai pose menggunakan selfie stick.

* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Mei – Juni 2017.
Teks: Arris Riehady