Samosir, Di Mana Bumi Tercipta
Teks & foto Yudasmoro Minasiani
Tanah asal suku Batak yang damai ini adalah di mana bukit-bukit eksotis memagari danau cantik, kawanan kerbau yang hidup makmur melahap rumput di sabana dan anak-anak yang tak henti tersenyum sambil berlari melintasi gereja dan patung Kristus.
Medan masih diselimuti awan tebal ketika pesawat saya mendarat, tapi Andre, supir sekaligus pemandu yang akan membawa saya menuju Pulau Samosir, meyakinkan kalau hujan baru akan turun malam nanti. Andre mengambil jalur melalui Pematang Siantar untuk menuju Parapat, tempat penyeberangan utama ke Pulau Samosir yang memakan waktu sekitar empat jam dari Medan. Satu jam pertama mobil menjauh dari Bandara Kualanamu, saya disuguhi pemandangan keramaian desa-desa dengan jalanan yang kadang tersendat.
Setelah perjalanan selama empat jam lebih, akhirnya saya tiba di Parapat, kota mungil dengan kontur berbukit yang berlokasi persis di tepian Danau Toba. KMP Tao Toba II sudah siap menyeberangkan saya dari Dermaga Ajibata di Parapat menuju Samosir. Hari itu penumpang tak terlalu padat. Hanya ada tujuh mobil pribadi, beberapa sepeda motor, sebuah truk, sebuah bus umum dan satu sepeda penjaja es krim. Feri yang terjadwal lima kali penyeberangan dalam sehari ini bertarif Rp 7.000 per orang, Rp 95.000 untuk mobil dan Rp 12.500 untuk sepeda motor.
“Samosir adalah tempat awal terciptanya bumi dan asal-usul orang Batak,” jelas Andre. Legenda Batak mengisahkan bahwa terciptanya bumi berawal dari Si Boru Deak Parujar, putri Dewata Batara Guru, yang lari dari Khayangan karena menolak dinikahkan dengan Si Tuan Ruma Uhir. Si Boru Deak Parujar lalu turun ke Lautan Purba dan di sanalah ia menciptakan bumi dari segenggam tanah yang secara ajaib kemudian berkembang menjadi pulau dan dinamai Pulau Morsa. Selesai menciptakan Pulau Morsa, Si Boru Deak Parujar kemudian hijrah ke darat dan menandai sebuah batu sebagai simbol awal terciptanya Banua Tonga (Bumi Kita). Hingga sekarang, batu ini terkenal sebagai objek wisata dengan nama situs Batu Hobon.
Damai di Tepi Danau
Setibanya di Dermaga Tomok, Andre memacu mobilnya ke daerah Aek Natonang yang berada di Desa Tanjungan. Menuju ke sini, saya harus melalui jalan berliku yang tak mulus. Sedikit tak nyaman, tapi di sisi kiri, saya dibuai dengan pemandangan lembah hijau yang dihiasi serakan makam yang dinaungi atap berbentuk rumah adat Batak, selain dihiasi dengan patung Kristus dan salib berukuran besar. Kawasan Aek Natonang ini ternyata terkenal dengan danau buatan berukuran lumayan luas yang dikelilingi padang rumput seluas 105 hektar. Warga setempat menjulukinya sebagai Danau di Atas Danau.
Siang itu yang terlihat di sekitar danau hanyalah sekawanan kerbau yang sedang merumput ditemani beberapa gembala yang mengawasi ternaknya dari atas perahu di atas danau. Suasananya yang damai langsung membuat saya untuk mencari tempat yang enak untuk duduk dan menikmati pemandangan. Aek Natonang hingga kini belum terlalu populer di mata turis karena memang belum adanya infrastruktur yang memadai. Namun diam-diam saya mensyukurinya karena berarti tempat ini belum ramai manusia dan masih terjaga keindahannya.
Menuju Sijukjuk
Hari berganti dan setelah kopi di cangkir tandas, Andre kembali menemani saya mengeksplor Samosir. Dari hotel di Pangururan, saya menempuh perjalanan selama 40 menit ke arah Tele menuju Bukit Sijukjuk melewati jalur yang sering dilalui turis jika mengunjungi Samosir dari arah Berastagi. Bukit Sijukjuk bagai harta karun Samosir yang belum terjamah. Dua pertiga perjalanan memang berupa jalanan cukup mulus, namun menjelang sampai, mobil harus off-road melewati jalan tanah yang dihimpit alang-alang setinggi leher orang dewasa di kedua bahu jalan.
Karena mobil tidak kuat melalui tanjakan curam, kami terpaksa meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Perjalanan ke puncak bukit ternyata masih jauh dan saya sempat beristirahat di lereng bukit dengan pemandangan Danau Toba yang dikelilingi bukit di bawah kaki. Danau yang tenang, bukit hijau bergelombang yang diselingi hutan di lerengnya, serta angin lembut yang menyapa wajah, membuat perjalanan panjang tadi tak sia-sia.
Danau biru jernih yang dipagari lembah seperti menahan saya untuk tak segera pulang. Kebetulan Sijukjuk adalah tempat terakhir yang saya kunjungi di Samosir sebelum kembali ke Medan. Berat memang meninggalkan tempat yang diyakini sebagai awal dari terciptanya bumi ini.
Selengkapnya bisa dibaca di Majalah Panorama edisi Januari-Februari 2015.