TOP

Damai Tanpa Sinyal di Rammang-Rammang

Walau menawan, namun yang membuat Rammang-rammang lebih terasa damai adalah karena desa mungil di Kabupaten Maros ini belum terjamah sinyal seluler.

Bila dihitung, mungkin telah belasan kali saya menjejakkan kaki di Bandara Hasanuddin, namun belum pernah sekalipun melangkah keluar terminal, berhubung hanya transit untuk melanjutkan penerbangan ke berbagai kota di Indonesia Timur. Walau banyak masakan terkenal dari Makassar, namun sebelum ini saya tak  pernah tertarik menjelajahi kota tersebut. Hingga suatu hari saya melihat foto pemandangan sawah berlatarkan hamparan tebing karst di media sosial. Berdasarkan keterangan di caption, tempat itu tak jauh dari Bandara Hasanuddin di Kabupaten Maros.

Demi melepaskan predikat “sekadar transit” di Makassar, saya pun akhirnya memutuskan keluar bandara termegah di Indonesia Timur itu dengan agenda utama  menuju tempat yang saya lihat di media sosial tersebut, yang kemudian saya tahu bernama Rammang-rammang.

Akses menuju Rammang-rammang yang terletak di Desa Berua ini sebenarnya mudah, yaitu dari Jalan Poros Makassar-Maros tinggal mencari plang petunjuk menuju Pabrik Semen Bosowa di sebelah kanan jalan. Setelah melihat plang tersebut, belok kanan dan terus melaju mengikuti jalan.

 

Naik Katinting

Sekitar tiga kilometer kemudian, saya melihat dermaga mungil di kiri jalan. Dinamai Dermaga 01, dari sinilah gerbang menuju Rammang-rammang, di mana pengunjung harus  naik katinting (perahu kayu bermotor) menyusuri Sungai Pute untuk masuk ke desa asri yang fotonya telah sempat membuat saya terpaku. Satu katinting berkapasitas lima orang dan disewakan Rp 250.000 untuk perjalanan pulang-pergi.

Sesekali katinting berbelok dengan lihai menghindari beberapa batu karst yang menyembul dari dasar sungai. Setiap katinting melakukan manuver, hal pertama yang saya lindungi adalah kamera. Menyesalkan tidak membawa dry bag, penyesalan terus berlanjut ketika perahu menerobos beberapa gua karst yang dari celah stalaktitnya meneteskan air.

Setibanya di Desa Berua, bagai desa wisata yang telah siap menerima kedatangan wisatawan, seorang warga kemudian menyediakan diri sebagai pemandu yang mengantar berkeliling. “Ki panggil saya Daeng saja,” katanya, sambil menjelaskan kalau Daeng merupakan sapaan akrab sekaligus hormat untuk lelaki yang lebih tua dalam bahasa Makassar, sementara “ki” adalah singkatan dari “kita” yang berarti kamu atau Anda.

 

Tak Cukup Sehari

“Setiap senja, ribuan kelelawar keluar dari sarang mereka di gua sebelah sana,” tunjuk sang Daeng, seakan dapat membaca pikiran saya yang lain kali berniat untuk menginap.

Daeng kemudian memanggil nama saya. Ia ingin menunjukkan titik terbaik untuk mengabadikan keindahan Rammang-rammang. Sepertinya dari titik inilah pula foto yang saya lihat di media sosial tempo hari diambil. Tidak ingin memiliki foto yang sama, saya pun memutar otak untuk memiliki angle yang berbeda. Daeng hanya senyum-senyum menyaksikan saya yang sampai setengah terbaring di pematang demi mendapatkan angle foto terbaik. “Di sini asal jepret saja hasilnya bagus,” tukasnya, sebelum mengajak saya beranjak, karena ia ingin menunjukkan tempat lain di desanya yang tak kalah menawan.

 

Gua Purba

Setelah trekking sekitar 20 menit melalui pematang sawah, tibalah saya di Gua Pasaung, sebuah gua dari zaman prasejarah yang dindingnya dihiasi sejumlah cap tangan manusia purba. Dari permukaan gua, timbul batu-batu dalam aneka bentuk aneh akibat proses pengendapan selama jutaan tahun. Seperti gua-gua purba yang pernah digunakan untuk tempat tinggal, letak gua ini memang agak tinggi agar penghuninya terhindar dari  binatang buas. Sementara menurut penelitian antrolopogi, cap tangan yang menempel pada dinding gua  dipercaya sebagai pelindung para penghuninya dari roh jahat.

Menjelang senja, saya kira Daeng sudah akan mengakhiri turnya, namun ternyata ia masih ingin menunjukkan batu karst berbentuk unik. Dinamai Kingkong, batu yang terbentuk secara alami ini memang menyerupai primata raksasa dalam film King Kong dengan lekukan-lekukan yang mirip dua mata, hidung, serta mulut dengan bibir yang tebal. Seketika saya teringat Skull Island, pulau fiksi dalam film tersebut, yang juga dikelilingi tebing karst dan memiliki batu mirip Batu King Kong, hanya saja ukurannya jauh lebih besar. Kalau saja Jordan Vogt-Roberts pernah berkunjung ke sini, bisa jadi Rammang-rammang ditetapkan sebagai salah satu lokasi pengambilan gambar Kong: Skull Island yang bakal dirilis 2017.

Setelah berpamitan dengan Daeng, saya menyempatkan untuk mampir di Eco Lodge and Coffee dalam perjalanan kembali ke Dermaga 01. Terletak di tepi Sungai Pute, restoran ini terdiri beberapa bangunan kayu yang berkonsep terbuka, sehingga pengunjung dapat bersantap sambil menikmati pemandangan sungai yang berpadu dengan perbukitan karst di sekitarnya. Tempat ini ternyata juga menyewakan kamar bagi yang ingin menginap, sehingga kembali terbesit penyesalan karena hanya merencanakan day trip ke Maros.

 

Teks: Arris Riehady

Foto: Asri & Fransiska Anggraini

Artikel lengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi Mei-Juni 2016.