
Mengecap Kenang
Menyelami sudut Yogyakarta mungkin tak akan pernah ada habisnya. Meninggalkannya hanya sekadar menumpuk rindu yang hanya dapat dihentikan dengan merencanakan perjalanan kembali.
Siapa pun yang pernah menjejakkan kaki di Yogyakarta pasti punya romantisme tersendiri terhadap kota ini, terlebih mereka yang pernah tinggal dan menetap. Saya pun tak terkecuali. Berbagai sudutnya menyimpan kenangan dan tiap pendar lampunya menerangi berbagai hal yang saya tangkap dengan mata kemudian saya simpan di ingatan. Kota ini memang manis, secara harfiah maupun kiasan. Masyarakatnya ramah, menyenangkan, dengan senyum manis dan celotehan jenaka dalam bahasa Jawa yang selalu terdengar teduh di telinga, bahkan bagi mereka yang bukan penutur bahasa Jawa.
Makanannya tak usah ditanya. Kali pertama saya pindah ke Yogyakarta, saya tercengang dengan rasa manis pada sayur asamnya. Gudeg pagi bukan favorit saya, terlalu manis. Gudeg malam lebih bersahabat dengan siraman kuah areh gurih. Butuh waktu untuk berdamai dengan dominasi rasa itu. Manis memang menyenangkan. Tapi bagi saya, manis yang berlebihan membuat jengah, apalagi bila manis itu hadir pada lauk. Mungkin karena bagi saya, yang manis-manis itu sebaiknya dikecap di akhir perjalanan bersantap atau sebagai kudapan, seperti kipo.
“Ke Kotagede, yuk! Saya mau cari kipo!” ajak saya ke seorang kawan lama yang sengaja saya temui di Yogyakarta setelah setahun merantau di ibu kota.
Iki Opo?
Kipo adalah jajanan khas Kotagede. Wujudnya mirip gyoza dengan kulit yang terbuat dari tepung ketan yang diberi pewarna alami hjau dari daun suji, namun bedanya kipo dipanggang, sementara gyoza digoreng. Ketika digigit, kipo akan menampakkan isinya, yaitu enten-enten atau gula merah dicampur dengan parutan kelapa. Ukuran kipo kecil, yaitu hanya seukuran jempol orang dewasa. Setiap adonan selesai diberi isi, kipo biasanya ditata di atas selembar daun pisang untuk kemudian diletakkan di atas loyang gerabah, kemudian dipanggang. Yang membuat kipo istimewa adalah proses pemanggangan dengan gerabah itulah sehingga mengeluarkan aroma khas dari daun pisang yang bercampur dengan gurih beras ketan, parutan kelapa, manis gula jawa dan harum daun suji. Seperti banyak makanan yang paling nikmati disantap sesaat setelah matang, begitupun halnya dengan kipo. Kudapan ini paling nikmat disantap hangat-hangat, karena saat itulah manis gurih isi dan kulitnya serasa meleleh di dalam mulut.
Sambil membayangkan kipo hangat, bertolaklah saya dan Pras ke Pasar Legi Kotagede, satu-satunya pasar di Yogyakarta yang masih mengikuti hari pasaran Jawa, yakni Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing. Pasar yang aslinya bernama Sargedhe ini dibangun pada abad 16, menjadikannya pasar tradisional tertua di Yogyakarta. Uniknya, Pasar Legi Kotagede adalah Sesuai namanya, saat hari pasaran Legi lah puncak keramaian Sargedhe.
Keliling Pasar
Menurut Pras, pada saat hari pasaran, barang dagangan bertambah variasinya. Unggas, terutama entok menjadi salah satu komoditi andalan di hari besar itu. Pasti riuh dan seru, batin saya. Meskipun penasaran seperti apa keramaian saat pasarannya tiba, misi saya ke Kotagede adalah mencari kipo, bukan bebek, apalagi yang masih hidup. Dan mencari kipo di Kotagede bukan hal sulit yang harus menunggu Legi. Setiap lapak jajanan pasar, di dalam maupun di luar Pasar Kotagede, pasti menjajakannya. Tak heran, karena kipo adalah jajanan khas Kotagede.
Sesaat setelah memasuki pasar, saya langsung membeli beberapa bungkus kipo dan setelah membayarnya langsung merobek plastik pembungkusnya. Mungkin setidak sabar itulah orang-orang yang pertama kali disuguhi kipo, alias singkatan dari pertanyaan dalam bahasa Jawa “iki opo?” (atau ini apa?) Untuk menjawab pertanyaan tersebut, seseorang hanya perlu mencicipinya. Entah mungkin kipo tidak terlalu percaya diri akan kelezatannya, namun penganan ini memang hanya dapat ditemui di Kotagede. Bahkan di Yogyakarta yang hanya terpisah jarak lima kilometer, kipo sulit didapat. Mungkin Yogyakarta lebih sibuk menjual bakpia pathok, batin saya.
Teks dan foto: Herkristi Kusumaningtyas
Artikel lengkapnya bisa dibaca di majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2016