
Max Havelaar Kembali Diluncurkan di Indonesia
Bertempat di Auditorium lantai 2 Pusat Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis bekerjasama dengan Kedutaan Besar Belanda dan Penerbit Padasan menggelar acara Peluncuran ‘Max Havelaar, A Phenomenal Indisch Literature’, pada Selasa (12/8). Acara yang berlangsung selama dua jam ini menghadirkan Ibnu Wahyudi, pengamat sastra dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) dan Laora Arkeman, penyunting buku Max Havelaar, sebagai pembicara. Sementara moderator acara dipimpin oleh Willy Pramudya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Acara ini dibuka dengan pembacaan puisi yang terdapat dalam novel Max Havelaar: “Sebab aku bukan penyair yang menyelamatkan lalat, bukan pemimpi yang lembut hati, seperti Havelaar tertindas yang melakukan kewajibannya dengan keberanian seekor singa, dan menderita lapar dengan kesabaran seekor marmut di musim dingin.” Selain dibacakan dalam bahasa Indonesia, puisi ini dibacakan pula dalam bahasa Belanda.
Max Havelaar ditulis oleh Multatuli, yang mempunyai nama asli Eduard Douwes Dekker. Novel yang saat ini menjadi bacaan wajib sekolah-sekolah di Belanda ini, pertama kali terbit pada 1860 dalam bahasa Belanda dengan judul ‘Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij’ (Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Max Havelaar akhirnya diterbitkan kembali oleh Penerbit Padasan di penghujung tahun 2013, tepat pada saat politik Lebak sedang bergolak.
Max Havelaar berkisah mengenai sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputera di daerah Lebak, Banten. Dalam novel ini, Multatuli mengkritik perlakuan buruk para penjajah yang melakukan cultuurstelsel. Ketika masih menjabat sebagai asisten residen di Lebak, Multatuli melihat Bupati Lebak dan kolonialisme Belanda melakukan pemerasan terhadap rakyat. Menurut Multatuli, tindakan ini tidak sesuai dengan moral Eropa. Maka Multatuli mengadukan tindakan ini kepada atasannya, yang justru berujung pada penonaktifan Multatuli dari jabatannya sebagai asisten residen.
“Kekecewaan Multatuli berkenaan dengan sistem tanam paksa yang sangat merugikan kaum bumiputera di Lebak hanya semacam penampang atau representasi dari akses gelap kekuasaan. Dengan kata lain, bukan hanya di wilayah Banten telah terjadi penistaan menjijikkan atas kehidupan, namun sangat mungkin juga di wilayah lain di belahan dunia,” tutur Ibnu Wahyudi dalam endorsemennya untuk Max Havelaar.
Sementara Laora Arkeman mengakui kejeniusan dan kegilaan Multatuli yang sangat menakjubkan. “Salah satunya adalah tulisannya mengenai korupsi pada masa kolonial. Multatuli seperti mengatakan bahwa korupsi di Indonesia tak akan ada habisnya,” kata Laora pada penghujung diskusi.
Melalui Max Havelaar, Multatuli menentang praktek-praktek busuk kolonial. Multatuli berhasil menggoncang negeri Belanda, membangunkan orang-orang sebangsanya yang tidak peduli pada kondisi tanah jajahan, bahwa korban penjajahan hidup di atas kesengsaraan bangsa lain. Novel ini memberi perubahan besar terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya pada 1870, cultuurstelsel dihapuskan.