
Mengapa Harga Tiket Low Fare Airlines Bisa Begitu Murah?
Bepergian dengan moda transportasi udara menjadi lebih mudah dijangkau oleh berbagai kalangan dengan adanya inovasi Low Fare Airlines (LFA) atau sering disebut juga sebagai budget airlines. Pernahkah terpikir, mengapa tiket PP Jakarta-Bali dengan maskapai reguler harganya bisa mencapai Rp 2.500.000 sedangkan budget airlines hanya mematok Rp 550.000 untuk rute yang sama?
Awalnya, LFA dirintis oleh maskapai Southwest Airlines di USA pada tahun 1971. Reaksi masyarakat ternyata positif dan keberhasilan Southwest Airlines pun ditiru oleh maskapai-maskapai lainnya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Air Asia Indonesia dan Citilink adalah contoh maskapai budget airlines yang beroperasi di Tanah Air.
Lalu, bagaimana LFA dapat menawarkan tiket murah pada calon penumpang sambil tetap meraup keuntungan?
Meningkatkan jumlah kapasitas penumpang. LFA dengan armada Boeing 737-300 dapat mengangkut 148 penumpang sekali jalan dalam kelas ekonomi. Tidak ada kelas premium atau bisnis untuk menghemat tempat. Sebaliknya, penerbangan reguler mengangkut maksimal 128 orang dengan berbagai pilihan kelas.
Mempersingkat waktu penanganan pesawat di darat. LFA memiliki waktu turnaround (lamanya pesawat harus diparkir di hanggar untuk pemeriksaan, mengisi bahan bakar dan lain sebagainya) yang cepat, maksimal 25 menit. Semakin lama pesawat diparkir di hanggar, semakin besar biaya yang harus dibayar oleh maskapai. Penerbangan reguler umumnya mendarat di bandara-bandara besar yang ramai dan sibuk sehinga waktu turnaround bisa mencapai 45 menit.
Rute yang sederhana. Kebanyakan penerbangan LFA melayani rute-rute penerbangan langsung tanpa transit. Hal ini untuk menghindari kemungkinan maskapai merugi karena adanya keterlambatan atau hilangnya bagasi penumpang saat transit. LFA juga umumnya mendarat di bandara-bandara kecil di pagi buta atau malam hari sehingga memotong biaya pendaratan yang mahal terutama di bandara-bandara besar pada jam-jam sibuk.
Tiket dijual secara langsung. Penjualan tiket melalui agen travel umumnya melibatkan pajak dan komisi sehingga harga tiket menjadi lebih mahal. Mengatasi hal ini, LFA menjual tiketnya secara langsung misalnya melalui call center atau reservasi online.
Menghapuskan layanan catering “gratis” dan fasilitas tambahan lainnya. LFA tidak memberikan layanan makanan dan minuman kecuali diminta oleh penumpang dan dibayarkan secara terpisah. Hal ini juga menjadi salah satu sumber pemasukan sekunder bagi maskapai tersebut karena dapat menjual makanan dan minuman dalam pesawat dengan berbagai harga. LFA umumnya juga tidak menawarkan berbagai layanan tambahan seperti lounge khusus di bandara atau hiburan dalam pesawat (film, musik dan lain-lain).
Memiliki hanya satu tipe pesawat. Biaya perawatan, pengoperasian dan penyediaan spare part pesawat serta training untuk pilot sangat mahal bila maskapai memiliki berbagai jenis tipe pesawat. Oleh karena itu maskapai LFA hanya memiliki satu tipe pesawat, umumnya Airbus A320 atau Boeing 737. Pesawat-pesawat yang digunakan umumnya baru sehingga dapat lebih menghemat konsumsi bahan bakar aftur.
Menekan biaya SDM. Karyawan di maskapai-maskapai LFA umumnya memiliki gaji pokok yang lebih kecil dibanding karyawan maskapai reguler. Hal ini berusaha diimbangi oleh LFA dengan memberikan berbagai jenis tunjangan yang jumlahnya variatif tergantung hal-hal tertentu misalnya kehadiran karyawan atau jumlah penerbangan yang dibawa oleh seorang pilot.