
Di Tepi Ayun Riak Kapuas
Meski murni terlahir dari pelabuhan dagang, namun masyarakatnya lebih meyakini kisah legenda sang sultan dengan perempuan jejadianlah yang menjadikan cikal bakal Pontianak. Seperti yang telah dituturkan sahibul hikayat secara turun temurun, laksana riak Kapuas yang mengayun-ayun.
Kisah perempuan dan bayinya itu mungkin sudah lama ada jauh sebelum leluhur bangsa Melayu mendiami jazirah Asia bagian tenggara. Banjir bandang yang melanda dunia pada suatu masa adalah biang keladi yang memisahkan si perempuan dengan buah hatinya. Sang bayi hanyut terbawa hingga ke gugusan pulau di timur laut dan menjelma menjadi sosok bayi menangis yang mencari ibunya. Warga Filipina kelak menyebutnya sebagai Tiyanak.
Legenda Urban
Sungguh lara si perempuan yang kehilangan bayi tersebut pun meratap setiap malam. Bangsa Melayu kemudian menyebutnya sebagai Puntianak, yang merupakan singkatan dari perempuan mati beranak. Puntianak/pontianak (atau kuntilanak). Ia digambarkan sebagai perempuan cantik berambut panjang dengan punggung berlubang.
Syahdan, berlayarlah biduk-biduk lancang kuning dari kerajaan Mempawah menyusuri Sungai Kapuas. Ialah Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang pangeran pemberani yang masih berdarah Hadramaut (kini Yaman Selatan) dalam misi penyebaran Islam sekaligus mencari lahan pemukiman baru. Kuntilanak yang mendiami wilayah di sepanjang tepian Kapuas mungkin merasa terganggu dan akhirnya mengganggu rombongan sang sultan. Demikianlah hingga akhirnya beliau terpaksa melepaskan beberapa tembakan meriam untuk mengusir perempuan jadi-jadian itu. Peluru meriam yang jatuh di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak, menandakan lokasi berdirinya Masjid Jami’ dan Istana Kadriah, tempat sang sultan kemudian memutuskan untuk menetap.
Demikianlah pada hari Rabu tarikh 1185 Hijriah atau 1771 Masehi ditetapkan sebagai cikal bakal berdirinya Pontianak. Sang sultan sungguhlah seorang humoris dan pemberani karena ia tak gentar menamakan kota yang dibangunnya itu dengan nama musuh yang pernah mengganggunya. Walau sebuah tulisan seorang peneliti Belanda menafikan kisah sang sultan dan Kuntilanak sebagai tonggak berdirinya Pontianak, namun kisah Kuntilanak tetap yang paling dipercaya banyak orang dan kisah ini diceritakan tak putus selama beberapa generasi.
Buktinya, bila berkunjung ke Museum Kalimantan Barat (Jalan Ahmad Yani), terdapat salah satu rancangan lambang kesultanan Pontianak di sebuah perisai yang menggambarkan sang Sultan tengah berdiri di atas perahu lancang kuning dengan satu tangan memegang perisai dan satunya lagi mengacungkan senjata untuk menakut-nakuti sosok perempuan berambut panjang yang diyakini sebagai Kuntilanak.
Bayang-Bayang Hilang
Terletak tepat di garis khatulistiwa membuat Pontianak secara imajiner berada pada lintang 0 derajat, sehingga di Siantan, Pontianak Utara, kemudian dibangun Tugu Khatulistiwa pada 1928. Bila berkunjung ke Tugu Khatulistiwa pada 21-23 Maret dan 21-23 September, pengunjung dapat menyaksikan fenomena alam yang disebut Titik Kulminasi, yaitu ketika matahari berada tepat di posisi garis edarnya. Saat inilah benda tegak di tanah atau bidang datar tidak akan tampak bayangannya karena matahari sedang tegak lurus di atas kepala. Setiap menjelang terjadinya Titik Kulminasi, di depan Tugu Khatulistiwa terdapat alat deteksi kulminasi yang sederhana berupa besi bulat sepanjang dua meter yang dihubungkan dengan dua rangkap kaca cembung untuk menangkap sinar matahari yang panasnya kemudian menyulut sumbu petasan. Ketika petasan tersulut, artinya posisi matahari satu derajat menjelang nol derajat. Dalam hitungan detik, ketika matahari tepat berada di nol derajat, tepatnya pukul 11.38 WIB, cahayanya akan dapat membakar sumbu dan meledakkan petasan. Kulminasi matahari adalah peristiwa alam yang hanya terjadi di sejumlah negara. Selain Indonesia, fenomena ini juga terjadi di Gabon, Zaire, Uganda, Kenya, Somalia, Ekuador, Peru, Columbia, dan Brazil.
Untuk meramaikan fenomena alam ini biasanya digelar Festival Kulminasi Matahari yang terdiri dari berbagai atraksi seni, pameran lukisan, kerajinan tangan, kuliner, panggung hiburan, dan masih banyak lagi. Sayangnya kedatangan saya ketika itu bukan saat terjadi Titik Kulminasi. Walau saya sudah mendapat Piagam Perlintasan Khatulistiwa sebagai bukti sahih kunjungan ke Tugu Khatulistiwa, namun tampaknya saya harus kembali lain waktu untuk menyaksikan sendiri fenomena hilangnya bayang-bayang itu.
Bumi Dipijak, Langit Dijunjung
Peribahasa Melayu mengatakan bahwa “dimana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung”. Ketika saya menanyakan kepada warga setempat tentang tempat favorit mereka untuk melewatkan waktu luang, tentu tak ada satu pun yang menjawab Keraton Kadriah, Tugu Khatulistiwa, atau Museum Kalimantan Barat.
“Itu cuma menarik buat turis!” cetus salah satu teman saya dengan logat lantang khas Pontianak. Ia bilang sebagian besar warga Pontianak lebih pilih berpesiar ke Singkawang atau lintas batas ke Kuching, Malaysia. Teman saya juga pernah sekali menyeberang ke pulau Randayan dan pulau Kabung (1 jam berlayar dari Pontianak). Berjalan-jalan ke objek wisata di dalam kota memang bukan hal lazim bagi warga setempat, mereka cenderung tinggal di rumah (akibat cuaca panas terik), nongkrong di warung kopi, atau jika ada keperluan berkunjung ke Ayani Megamal di Jalan Ahmad Yani. Kendaraan umum langka, hingga banyak yang mengandalkan sepeda motor. Teman saya berkomentar lagi, “Ini pasti konspirasi mafia otomotif!” Cukup menyentil memang, kelangkaan transportasi publik membuat wisatawan mau tak mau harus menyewa kendaraan.
Namun beda halnya dengan transportasi sungai, di mana terdapat sepit (perahu kecil) yang dapat disewa untuk menikmati pemandangan di sepanjang Kapuas. Bahkan dari Tugu Khatulistiwa menuju Keraton Kadriah juga dapat ditempuh dengan menggunakan pelampung (sebutan warga setempat untuk kapal feri). Dari Taman Alun Kapuas wisatawan juga dapat berlayar menyusuri sungai hingga ke bawah jembatan Kapuas I (salah satu landmark kota Pontianak) sebelum kembali ke titik pemberangkatan.
Kebiasaan Unik
Minum kopi merupakan cara orang Melayu bersosialisasi, sehingga duduk-duduk di warung kopi merupakan kebiasaan yang rasanya tak akan hilang. Berada di Pontianak, saya pun tak melewatkan kesempatan untuk ikut duduk-duduk bersama warga setempat di salah satu warung kopi yang ada sambil bercakap-cakap dengan seseorang yang mungkin bernama Gusti atau Uray (nama-nama ini cukup umum di Pontianak) dan menyesap kopi pancong serta menikmati pisang goreng Pontianak yang berlapis selai srikaya.
Kopi pancong sendiri merupakan sebutan untuk kopi hitam yang dituang ke gelas dengan takaran hanya setengahnya. Walau cuma setengah gelas, namun orang Melayu bisa lama menghabiskannya hingga berjam-jam karena sambil bertukar cerita. Salah satu kedai kopi yang populer di Pontianak adalah Warkop Winny di Jl. Gajah Mada. Buka 24 jam, pelayananan cepat, ramah, dengan harganya pun terjangkau.
Lain halnya dengan meminum air sungai Kapuas, yang diibaratkan sebagai pembuluh nadi masyarakat Kalimantan Barat, di Pontianak juga beredar mitos bahwa siapa pun yang meminum air Sungai Kapuas akan kembali ke tempat tersebut karena hatinya telah tertambat. Walau tentu saja hal tersebut hanya kiasan, namun saya tak kuasa untuk memikirkan Kuntilanak. Apa jadinya jika ia juga meminum air sungai tersebut? Mungkinkah ia akan kembali ke tempat dulu ia pernah terusir? Mungkin ia tak pernah benar-benar pergi dari kota yang dibelah sungai terpanjang di Indonesia itu karena hingga kini kisahnya selalu diteruskan, entah untuk berapa generasi lagi.
Teks: Taufan Gio
Foto: Barry Kusuma
Selengkapnya di majalah Panorama edisi Maret-April 2015