Malam Hari di Times Square
Malam itu, saya berjalan sedikit tergesa ketika keluar dari pintu stasiun subway 42 St yang terletak tepat di bawah Times Square, New York. Jam digital di tangan kiri sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam, sementara saya sudah melontarkan janji untuk bertemu dengan Sepsha pada pukul sembilan malam di Times Square.
“Aduh, terlambat nih.” Gerutu saya, sambil berlari dan mengingat penyebab keterlambatan ini, yaitu terlalu lama menghabiskan waktu di Manhattan Bridge. Tapi saat itu saya tak menyesal, karena lebih baik dimarahi Sepsha karena terlambat, daripada kehilangan momen fotografi di Manhattan Bridge yang photogenic itu.
Setibanya di permukaan jalan, saya langsung celingak-celinguk mencari Sepsha di antara kerlap-kerlip H&M, Sephora, juga Forever 21. Pada sebuah kursi di emperan Times Square, perempuan itu duduk menunggu dengan coat cokelatnya, “Hai, maaf gue terlambat. Macet.” Saya melontarkan alasan khas orang Jakarta ke Sepsha, yang mungkin terdengar konyol.
“Iya, gak apa-apa, gue juga baru datang.” Ah, syukurlah, ternyata Sepsha adalah orang Indonesia kebanyakan, yang jarang tepat waktu, sehingga saya tidak merasa berdosa banyak.
Malam itu, kami bertemu untuk bertukar foto-foto selama kami mengunjungi Washington di hari sebelumnya. Saya membawa kamera, sementara Sepsha siap menyedot foto-foto di kamera saya dengan laptop dan harddisk-nya.
Saya memperhatikan sekeliling. Saat itu sudah pukul sepuluh lebih, dan sedang di waktu pergantian musim antara musim gugur dan musim dingin, sehingga terkadang angin dingin menyambar permukaan tubuh saya. Namun di Times Square, lampu-lampu dan banner iklan masih menyala kelap-kelip, toko-toko masih buka, dan orang-orang masih ramai berlalu lalang.
Apakah ini yang disebut the city that never sleeps? Yang dinyanyikan Frank Sinatra dalam lagunya “New York New York”? Hmm, mungkin saja demikian.
Di salah satu ujung Times Square terdapat pos polisi bertuliskan New York Police Department, yang malam itu sepertinya sedang lengang, berbeda dengan Starbucks dan New York Yankees Official Store yang mengapitnya, di mana puluhan orang keluar masuk. Di ujung jalan terdapat patung Father Duffy, salah satu tokoh pejuang Amerika Serikat, berdiri megah menantang Times Square.
Pada sisi yang lain, berbagai macam pekerja seni memadati trotoar, menawarkan jasanya ke pengunjung Times Square. Mulai dari pengkhotbah, pemusik jalanan, pelukis, hingga pemain cosplay dalam kostumnya yang mencolok, seperti Woody, Spider-Man, Chewbacca, Mickey Mouse, hingga Captain America ada di sana.
“Gue sudah selesai nih.” Ujar Sepsha sambil menutup laptopnya “Lu mau gak gue fotoin sama Spider-Man?”
“Err..takut ah.”
“Ayo lah, mumpung di sini.” Rajuknya, “Kapan lagi?” Tuh, mumpung orangnya dekat.”
“Ya sudah deh.” Saya pun pasrah mendekati Spider-Man yang saat itu mengenakan tas pinggang, untuk menutupi perutnya. “Can I take photo with you?”
“Of course you can!” Jawabnya, sementara di samping kanan kirinya, nampak Mickey Mouse dan Chewbacca mendekat, meminta untuk difoto bersama.
“Okay…one…two…cheese!” Teriak Sepsha di kejauhan, meminta kami untuk memberikan senyuman termanis.
Sembari tersenyum, sayup-sayup saya mendengar Spider-Man berbisik di telinga saya “This photo session is not free, you know?”
“WAIT, WHAAATTTT?”
Klik! Terlambat. Tombol shutter telah ditekan.
Artikel & foto: Muhammad Arif Rahman