TOP

Cirebon Getaway

Oleh: Bernard Simanjuntak

Sejak dibukanya akses tol Cipali, waktu tempuh dari Jakarta ke Cirebon berkurang drastis menjadi sekitar 3 jam saja. Dengan demikian, makin banyak orang yang berkunjung ke Cirebon di akhir pekan, sehingga Cirebon resmi menjadi salah satu weekend gateway baru bagi warga Jakarta.

Saya berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan yang biasa terjadi di akhir pekan. Karena jalanan belum terlalu ramai, maka dalam waktu tidak terlalu lama saya sudah tiba di rest area tol Cipali. Di perjalanan kali ini saya menggunakan Nissan Navara. Saya sengaja berhenti untuk beristirahat sebentar sambil membeli kopi untuk menghindari kantuk. Sepagi ini belum banyak tempat makan yang buka, untunglah saya membawa Mie Yomp. Rasanya enak dan porsinya cukup mengenyangkan.

Sekitar pukul 09:00 saya sudah tiba di kota Cirebon. Sayang sekali, karena kebetulan sedang ada pawai budaya, maka jalanan menjadi luar biasa macet, bahkan kemacetan menjalar hingga ke pintu tol. Saya terjebak hampir satu setengah jam di sini. Karena masih ada beberapa tujuan lain yang ingin saya kunjungi, maka saya memilih untuk memutar balik masuk ke jalan tol dan meneruskan perjalanan ke arah Kuningan.

Tujuan pertama saya adalah Gedung Perjanjian Linggarjati di daerah Cilimus, Kuningan. Gedung yang berusia hampir seratus tahun ini menyimpan sejarah penting bagi bangsa Indonesia. Di gedung inilah diadakan perundingan antara pemerintah Belanda dan Indonesia di tahun 1946 yang menghasilkan perjanjian Linggarjati. Sejak tahun 1976 gedung ini resmi dijadikan museum dan bagi pengunjung dipungut biaya Rp 2.000 saja untuk masuk ke dalam gedung.

Setelah itu saya melanjutkan perjalanan ke kawasan wisata Cibulan. Di akhir pekan seperti ini, tempat wisata ini dibanjiri oleh warga setempat. Tempat ini merupakan kawasan wisata tertua di Kuningan yang sudah berusia 70 tahun. Ada dua hal yang paling menarik di kawasan ini. Yang pertama adalah kolam renang berisi ikan yang dikeramatkan oleh warga setempat, yang disebut ikan Dewa. Ikan-ikan ini sangat jinak dan pengunjung bisa berenang bersama ikan-ikan ini di kolam tersebut. Yang kedua adalah tujuh mata air yang juga dianggap sakral oleh warga setempat. Banyak pengunjung yang mengambil air dari tujuh mata air ini karena dianggap bisa membawa keberuntungan. Tiket masuknya hanya Rp 2.000.

Kemudian saya melanjutkan perjalanan ke Gua Maria Cisantana. Namun saat itu Gua yang merupakan obyek wisata religi ini sangat ramai dibanjiri pengunjung yang datang untuk berziarah sehingga untuk masuk harus antre agak lama.

Karena waktu cukup terbatas saya memilih untuk melanjutkan perjalanan naik ke arah Taman Nasional Gunung Ceremai yang berada tak jauh dari Gua Maria tersebut. Taman Nasional Gunung Ceremai ini adalah sebuah kawasan konservasi seluas 15 ribu hektar yang dibangun untuk melindungi kekayaan flora dan fauna di kawasan ini. Tempat ini juga digunakan sebagai awal jalur pendakian ke gunung Ceremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat.

Tujuan saya adalah Tenjolaut di mana terdapat bumi perkemahan dengan pemandangan yang menakjubkan. Dari atas hutan pinus kita bisa menyaksikan lembah yang tertutup rapat oleh pepohonan. Jalur naik maupun turun ke Tenjolaut ini cukup menantang. Jalan yang sempit dan licin saat hujan membuat saya harus sangat berhati-hati. Untunglah Nissan Navara yang saya gunakan memiliki fitur 4WD yang sangat sesuai dengan medan yang saya lalui sehingga aman dan nyaman dikendalikan. Karena ini pertama kalinya bagi saya mengunjungi daerah ini, saya membutuhkan bantuan aplikasi petunjuk arah. Kebetulan saya menggunakan XL Prioritas yang sinyalnya cukup kuat di sini, sehingga saya bisa mengakses Internet dengan baik dan tidak sampai tersesat.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Menjelang sore saya kembali ke kota Cirebon. Sebelum ke hotel saya menyempatkan diri menikmati kuliner khas Cirebon, yaitu Nasi Jamblang. Nasi Jamblang ini adalah nasi yang dibungkus dengan daun jati, dengan lauk yang bisa dipilih ala prasmanan. Lauk favorit saya adalah balakutak, yaitu hidangan sejenis cumi-cumi yang dimasak dengan tintanya sehingga berwarna hitam. Rasanya enak dan tidak amis. Setelah makan malam, saya check-in di Hotel Santika.

Hari berikutnya saya bangun pagi-pagi untuk berolahraga agar tetap segar selama perjalanan kali ini. Kebetulan di Hotel Santika ini terdapat fitness center dan kolam renang. Saya sendiri memilih untuk berlatih yoga di tepi kolam renang bersama teman-teman. Setelah berolahraga saya makan pagi di restoran Tamansari yang berada tepat di samping kolam renang, baru kemudian mandi, lalu check-out dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan.

santika1

Menjelang siang saya berencana mengunjungi beberapa keraton di Cirebon. Sebenarnya ada tiga keraton, namun berhubung Keraton Kanoman hari ini sulit untuk dikunjungi karena berada di dekat pasar dan makan waktu yang cukup lama untuk mencapainya, maka saya hanya mengunjungi dua keraton saja, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kacirebonan. Keraton Kasepuhan berusia lebih dari 500 tahun dan Keraton Kacirebonan berusia lebih dari 200 tahun. Kedua keraton ini posisinya sama-sama memanjang dari utara ke selatan dan bangunannya memiliki gaya campuran antara Sunda, Jawa, Islam, China, dan Belanda. Di dalam Keraton Kasepuhan terdapat museum yang berisi barang-barang kuno termasuk gamelan kuno dan kereta kencana bernama Singa Barong yang dulu pernah digunakan oleh Sunan Gunung Jati. Sementara di dalam Keraton Kacirebonan, terdapat sanggar tari yang mengembangkan tari topeng Cirebon yang terkenal.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Setelah itu saya mengunjungi Goa Sunyaragi. Sepintas, tempat ini terlihat gersang dan berbatu-batu. Namun setelah saya masuk ke dalam, semakin terasa bahwa tempat ini menyimpan sejarah panjang. Zaman dahulu, Goa Sunyaragi ini dikelilingi oleh danau dan merupakan bagian dari Keraton Kasepuhan. Dalam bahasa Sansekerta, “sunya” artinya sunyi dan “ragi” artinya raga. Tempat ini dulunya digunakan oleh para Sultan Cirebon untuk beristirahat dan bermeditasi.

DCIM121GOPROG0027969.

Sebelum melanjutkan perjalanan, saya menyempatkan diri untuk makan siang. Saya ingin mencoba Empal Gentong yang sangat terkenal. Selain Empal Gentong, ternyata ada pilihan lain yaitu Empal Asem. Keduanya sama nikmatnya.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Tentu tidak lengkap jika kembali ke Jakarta tanpa berbelanja batik Cirebon yang terkenal. Jadi sebelum pulang ke Jakarta, saya mengunjungi desa Trusmi yang dipenuhi oleh para perajin batik khas Cirebon dan mampir di Batik Ninik Ihsan. Beruntung saya bisa melihat langsung proses pembuatan batik.  Di sini saya jadi lebih paham mengapa harga batik tulis itu jauh lebih mahal dibandingkan batik cap. Proses pembuatannya panjang, rumit dan melelahkan. Satu lembar kain batik bisa diselesaikan dalam waktu tiga hingga enam bulan. Pengalaman ini membuat saya makin menghargai profesi pembuat batik tulis ini. Oh iya, sedikit tip dari pemilik toko batik ini, jika kita kesulitan menentukan pilihan motif batik, selalu pilih motif Mega Mendung yang merupakan motif khas Cirebon. Pilihan yang tak pernah salah!

Sekitar pukul 17:00 saya kembali ke Jakarta membawa oleh-oleh kain batik dan segudang pengalaman berkesan dari Cirebon.

 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

OLYMPUS DIGITAL CAMERA