Alam Bandung
Oleh: Wisnu Tejakusuma
Ada yang bebeda dengan hari Minggu kali itu dibandingkan dengan minggu-minggu biasanya. Bukan karena bangun pagi yang membuat hari Minggu itu berbeda, tetapi perjalanan yang harus saya lakukan untuk memenuhi persyaratan menjadi Travelers of the Year (TotY) 2016. Majalah Panorama yang bekerja sama dengan Nissan Indonesia, Yomp, XL Prioritas, Hotel Santika dan juga Nu Oceana memberikan perjalanan gratis untuk enam finalis dengan tiga kota tujuan yang berbeda, yaitu Bogor, Bandung dan Cirebon. Selama dua hari satu malam para finalis yang sudah mempersiapkan itinerary-nya sendiri diminta untuk menjelajah kota yang telah ditentukan oleh panitia dan Bandung ditunjuk sebagi kota yang harus saya jelajahi.
Pagi hari itu, kecelakaan yang saya alami di malam sebelumnya dalam perjalanan pulang ke rumah memaksa saya harus menunda jam keberangkatan. Yang seharusnya perjalanan dimulai pada pukul 05.30, ditunda sampai pukul 06.30. Sempat terbersit di pikiran saya bahwa kecelakaan tersebut sebagai pertanda larangan bagi saya untuk pergi ke Bandung, namun berkat dukungan Fajar, salah satu finalis TotY dan teman yang akan ikut dalam perjalanan pada dini hari itu, saya pun memberanikan diri untuk tetap berangkat walaupun harus tertunda.
Stone Garden
Stone Garden merupakan perhentian wisata pertama sesuai dengan jadwal perjalanan yang telah saya buat. Kemacetan panjang dari pintu keluar tol Padalarang hingga kawasan wisata Stone Garden, menyebabkan jadwal perjalanan semakin tertunda. Tetapi untung ada XL Prioritas dengan jaringan dan koneksi internet tanpa putus selama perjalanan membantu kami dalam menavigasikan mobil hingga Stone Garden tanpa tersasar. Selain itu jalan tanah, berbatu dan berpasir menuju Stone Garden bisa jadi menjadi kendala bagi mobil lain yang mengakibatkan menambah lama perjalanan, tetapi Nissan Navara yang diciptakan untuk menempuh medan berat terbukti dapat dengan mudah dikendalikan sampai di Stone Garden.
Sesampainya di parkiran, hamparan batu-batu gamping yang membentuk gugusan gugusan unik sudah bisa terlihat langsung. Saya pun bergegas menuju pintu masuk Stone Garden dan mendaki ke atas bukit di mana gugusan batu tersebut berada. Selama perjalanan naik ke puncak, saya jumpai anak muda, bapak-bapak, dan para ibu dengan anak kecilnya yang sibuk dengan kamera masing-masing. Mereka berfoto di antara batu-batu yang terletak di pinggir tebing dengan latar belakang pegunungan dan pepohonan hijau di bawah sana. Indahnya tentu saja tidak usah diragukan lagi, tetapi keamanan tempat wisata ini harus dikelola lebih baik lagi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Nyawa pengunjung menjadi taruhan saat mereka berfoto di pinggir tebing-tebing yang ada tanpa pengawasan yang ketat.
Perjalanan sekembalinya ke mobil, saya ketahui bahwa kawasan ini merupakan warisan tertua di Pulau Jawa. Hal ini dikarekan terbentuknya batu gamping di kawasan ini terjadi pada Zaman Miosen atau sekitar 20-30 juta tahun yang lalu. Walaupun hari itu tidak saya jumpai satupun peneliti, tetapi informasinya banyak penelitian dilakukan di kawasan ini untuk berbagai macam ilmu pengetahuan, terlebih setelah ditemukannya fosil manusia purba di Gua Pawon.
Gua Pawon merupakan sebuah destinasi wisata yang juga berada di kawasan Stone Garden. Lokasi yang disebut dekat oleh “Om Google”, ternyata tidak pada kenyataannya, butuh waktu 30 menit untuk berjalan menuruni bukit yang terjal atau mengendari kendaraan kembali ke jalan utama dan memutar bukit agar lebih dekat menuju lokasi ini. Akan tetapi karena jadwal perjalanan yang sudah tertunda banyak dan energi saya yang sudah terkuras untuk naik ke puncak Stone Garden, maka kami putuskan untuk segera melanjutkan perjalanan menuju kota Bandung untuk makan siang. Untungnya di mobil ada Nu Oceana, minuman generasi baru yang mengandung sea salt dan buah lemon asli yang telah diproses secara alami, sehingga membantu mengembalikan energi dan menyegarkan kami kembali setelah terjemur matahari.
The Restaurant
Perut yang sudah menggerutu dihadapkan dengan kemacetan, menyebabkan saya menggunakan XL Prioritas untuk melakukan reservasi terlebih dahulu di The Restaurant untuk menghindari antrian restoran. The Restaurant adalah restoran dengan konsep open-air di dalam Hotel Padma, Ciumbuleuit. Restoran ini terkenal dengan pemandangannya yang menghadap hutan rimbun dengan suara khas serangga yang akan menemani para tamu pada saat santap siang.
Reservasi meja saya dialokasikan di bagian luar restoran, yang mana keunggulan pemandangan restoran ini bisa lebih dinikmati. Interior restoran mengikuti desain interior Hotel Padma, yaitu minimalis modern. Pilihan makanannya tergolong bervariasi, dari makanan tradisional Indonesia, Asia hingga makanan western tersedia. Pilihan saya jatuh pada salah satu menu andalannya, yaitu Nasi Bambu Panggang Bakar dan teman saya memesan Nasi Iga Bakar Cabai Hijau. Nasi Bambu yang saya pesan sangat unik. Saat dihidangkan nasi tersebut masih berada di dalam bambu panas dan akan didorong keluar oleh pelayan agar siap dimakan. Penataan ayam goreng, empal, ikan goreng, tahu tempe dan sayur asem di dalam piring pun terlihat manis untuk difoto. Yang terpenting adalah harga restoran hotel bintang lima yang dibayarkan untuk makanan tersebut terasa sebanding dengan rasa yang disuguhkan oleh The Restaurant. Enak!
Taman Hutan Raya (Tahura) Juanda
Sesuai jadwal perjalanan seharusnya perjalanan dilanjutkan menuju Selasar Sunaryo Art Space, namun terpaksa dibatalkan dan dilanjutkan langsung menuju Taman Hutan Raya Juanda dengan alasan waktu. Taman ini mempunyai luas mencapai 590 hektar. Dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda, taman ini terletak di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung di antara ketinggian 770 mdpl – 1330 mdpl. Tahura Juanda mempunyai banyak lokasi yang dapat dikunjungi di dalamnya, antara lain Gua Jepang, Gua Belanda, Curug atau air terjun Omas, curug-curug lainnya dan juga Tebing Keraton. Armor Kopi, salah satu coffeshop Bandung yang belakangan ini naik daun, juga berada di dalam Tahura Juanda, tepatnya di sebelah kiri dalam pintu masuk wisata. Dan, kunjungan saya di Tahura Juanda kali ini akan mengunjungi Gua Jepang dan Armor Kopi.
Gua Jepang di Tahura Juanda adalah satu dari puluhan gua Jepang yang tersebar di seluruh Indonesia selama masa penjajahan. Tahura Juanda sempat ditutup bagi masyarakat umum selama masa penjajahan Jepang. Selain memanfaatkan gua buatan Belanda sebelumnya, Jepang juga menambahkan sejumlah gua di kawasan ini sebagai tempat penyimpanan amunisi, logistik dan komunikasi radio selama masa perang.
Untuk masuk ke gua ini dibutuhkan dua hal, senter dan keberanian. Bagi orang yang mengidap penyakit nyctophobia atau takut pada kegelapan dan claustrophobia atau takut pada tempat sempit atau tertutup, sebaiknya tidak masuk ke dalam gua ini. Pasalnya, di dalam sangat gelap dan tidak ada penerangan sama sekali, kecuali senter yang dibawa. Udara pun terasa lembap di dalam sana. Tetapi, tenang saja, sudah ada guide-guide yang siap menemani pengunjung untuk masuk ke dalam gua jika merasa asing atau takut dengan keadaan gua.
Setelah selesai mengunjungi Gua Jepang, saya kembali ke area pintu masuk Tahura untuk bersantai sejenak di Armor Kopi. Di sana saya terkesima dengan cahaya kuning matahari sore yang menyeruak diantara pepohonan dan memantul di air danau. Dengan sigap saya meminta teman saya untuk memotret Yomp yang tidak kalah nikmatnya dengan nikmatnya melihat cahaya matahari senja itu.
Lawangwangi Creative Space
Saat menjelang malam hari, perjalanan dilanjutkan menuju Lawangwangi Creative Space. Di sudut kiri pintu masuk restoran ini, ada toko bernama Tuku yang menjual produk-produk hasil karya desainer dan pengrajin lokal. Selain itu, jalan menuju restoran dan kafe yang terletak di lantai atas, ada sebuah ruangan kosong yang bisa dijadikan pameran atau galeri seni kontemporer. Pada hari itu, ruangan sedang diisi dengan lukisan kontemporer hasil karya Irwan Bagja Dermawan dengan judul pameran “Aerial View of a Playful Mind”. Melihat sejenak hasil karya seni tersebut, saya pun segera naik ke lantai atas menuju area restoran.
“Selamat datang, mau duduk di mana Mas? Smoking, non-smoking?” tanya pelayan restoran pada saya. “Non-smoking.” jawab saya. Pelayan restoran pun membawa saya ke area tidak boleh merokok yang berada di dalam restoran. Ketika saya melihat meja kosong di bagian luar restoran, saya bertanya kepada pelayan, “Kalau di situ boleh, Mas?”. “Boleh, mau di sana, Mas? Tetapi, itu area smoking?” jawab si pelayan. Dengan cepat saya membalas, “Gak apa-apa Mas, kalau di Bandung lebih enak duduk di luar.” sembari tertawa kecil. Senang rasanya bisa menikmati pemandangan indah kota Bandung dari Restoran Lawangwangi yang terletak di dataran tinggi daerah Dago ini.
Setelah memesan makanan, saya tidak sengaja terpikir untuk mencari bulan yang saat itu memang tidak tampak. Dan alangkah terkejutnya ketika saya menemukan bulan yang terhalang oleh dinding restoran begitu besar dan bulat. Saya langsung bergegas lari kembali ke mobil untuk mengambil tripod. Sekembalinya di meja saya tidak bisa berhenti memotret sang bulan sambil terus mencoba mengganti-ganti setting kamera agar bulan purnama tersebut tampak sejelas mungkin.
Makanan yang saya pesana malam itu adalah Fettuccine Carbonara. Pasta dengan tekstur seperti mi pipih yang saya santap terasa sangat enak dipadu padankan dengan kekentalan saus yang cukup. Sangat pas untuk mengenyangkan perut saya malam itu setelah menempuh perjalanan panjang seharian.
Pemandangan alam dengan gunung, tebing, hutan, sungai, danau, semua sudah saya lihat di hari itu, tetapi pemandangan kota Bandung tentunya tidak bisa ketinggalan. Beruntung dari Lawangwangi Creative Space, pemandangan lampu-lampu rumah dan gedung tinggi kota Bandung juga terlihat dengan jelas.
Tebing Keraton
Tepat pukul 04.15, bunyi alarm dari telepon genggam sudah berdering membangunkan saya untuk berangkat menuju Tebing Keraton. XL Prioritas kembali menuntun kami menggunakan GPS dari telepon genggam menuju Tebing Keraton.
Tebing Keraton termasuk di dalam kawasan Tahura Juanda. Jalan yang kami lewati sama seperti kemarin sore, tetapi terus dilanjutkan naik dari gerbang masuk Tahura Juanda. Jalan semakin sempit mendaki sesuai dengan GPS yang terus mengarahkan kami, tetapi tidak tampak tanda-tanda kawasan wisata di sana. Beruntung ada bapak setengah baya yang sedang mengangkut panen sayurnya dan dia menginformasikan bahwa jalan menuju Tebing Keraton sudah terlewat. Kami pun segera memutar balik arah mobil dan kembali mengarah ke bawah. Bukan salah XL Prioritas sebab ketersesatan kami. Signal XL Prioritas tetap kuat dan koneksi internetnya tetap lancar di atas sana, tetapi lokasi di GPS-nya yang salah.
Setelah memutar balik, ternyata di jalanan tersebut memang tidak ada papan nama atau penunjuk jalan menuju Tebing Keraton. Hanya ada sekumpulan tukang ojek dan seorang tukang parkir berada di sana. Karena melihat mobil kami kembali mengarah ke bawah setelah selang beberapa menit menuju atas, tukang parkir tersebut dengan sigap langsung mengarahkan mobil kami untuk parkir di sana dan memberitahu bahwa mobil harus parkir di sini jika ingin mengunjungi Tebing Keraton.
Dari tempat parkir mobil menuju pintu masuk Tebing Keraton, para pengunjung harus berjalan kaki sekitar 20-30 menit melewati jalan mendaki dan ladang warga. Ada pilihan lain untuk menghemat waktu dan energi, yaitu naik motor dengan tukang ojek yang berjejer menunggu wisatawan. Saya dan teman saya pun memilih naik ojek karena hari sudah mulai terang dengan tarif Rp. 50.000,00 pulang pergi.
Menuju ujung tebing yang awalnya terkenal karena posting di salah satu sosial media dari pintu masuk tidaklah jauh. Hanya berjarak 200 meter, saya sudah sampai di ujung tebing dan pagi itu tampai tidak ramai dikunjungi wisatawan. Hanya beberapa anak muda yang masih kuliah datang dalam berkelompok dan semuanya sedang sibuk bermain handphone atau memotret diri dan pemandangan.
Lampu-lampu dan atap rumah tampak agak jauh di bawah kaki gunung. Kabut putih juga menutupi sebagian pepohonan, sawah dan ladang di bawah tebing. Udara segar dan angin dingin serta matahari yang mulai naik menambah kesan dramatis dan melengkapi cantiknya pemandangan Bandung dari atas sini. Demi melihat pemandangan indah inilah alasan Tebing Keraton ramai dikunjungi wisatawan meski harus bangun pagi ketika berlibur.
Saat menikmati pemandangan alam yang indah, saya teringat dengan Yomp, sebuah produk mi instan baru dari ABC dengan potongan daging ayam asli dan jamur yang saya bawa dari hotel. Sudah terbayang oleh saya betapa enaknya makan Yomp saat suhu udara sedikit dingin sambil menikmati pemandangan yang indah ketika membawanya dari hotel. Sayangnya tidak ada warung atau pedagang yang berjualan saat itu, sehingga saya hanya dapat berfoto dengan Yomp di Tebing Keraton.
Hotel Santika Bandung
Menginap di Hotel Santika Bandung di malam sebelumnya, makan pagi yang disediakan cukup lengkap. Ada beberapa pilihan makanan tradisional khas Indonesia yang tersedia, yaitu nasi kuning, nasi uduk dan juga bubur. Selain itu masih ada sereal, aneka penganan manis tradisional dan juga kue-kue. Untuk minuma, saya memilih jus jeruk dan teh di antara minuman lain yang disediakan. Tidak lupa, saya menyantap Yomp yang tertunda setelah mencicipi makan pagi yang telah disediakan Hotel Santika.
Setelah selesai makan, saya menghampiri meja front desk untuk berinteraksi dengan staf yang sedang berada di sana, bermaksud untuk mencari tahu di mana saya bisa membeli kembang api untuk keperluan foto saya sebagai perayaan ulang tahun Hotel Santika yang ke-35. Saya yang sudah hilang harapan karena malam sebelumnya tidak menemukan toko untuk membeli kembang api, disegarkan kembali oleh Bapak Chandra, manajer hotel yang memberikan informasi mengenai Toko Top yang terletak di Jalan Gardujati sebagai pusat grosir kembang api. Setelah memesan kembang api melalui aplikasi online, perbincangan kembali dilanjutkan dan saya ketahui bahwa hotel ini adalah hotel pertama Hotel Santika yang bernama Hotel Soeti pada awalnya. Staf yang ramah, kamar yang bersih, gedung hotel yang terbuka, serta desain bangunan lama khas Jawa Barat dipadu dengan desain renovasi yang minimalis modern membuat saya merasa sangat nyaman tinggal di Hotel Santika Bandung.
Setelah puas bermain kembang api, kami segera check-out dan mengarah ke Prima Rasa. Toko khas oleh-oleh ini memang sudah terkenal dari dulu. Ada yang menyukai Prima Rasa, ada juga yang berlangganan di Kartika Sari. Pada dasarnya mereka sama-sama menjual makanan kecil khas Bandung seperti pisang molen, bagelen, cheese stick dan lainnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam setengah menuju kecamatan Ciwidey, tepatnya Jalan Raya Ciwidey, saya akhirnya sampai di Restoran Saung Gawir. Restoran dengan makanan khas Sunda ini mempunyai area yang cukup besar dengan lahan parkir yang memadai pula. Makanannya juga tidak kalah enaknya.
Kawah Putih
Dilanjutkan perjalanan menanjak sekitar 30 menit, tampaklah papan nama besar Kawasan Wisata Kawah Putih. Dari sana menuju lokasi Kawah Putih yang berada di atas gunung masih butuh waktu tempuh sekitar 15 menit dengan mobil. Jika ingin membawa mobil sendiri untuk naik dan parkir di atas, maka mobil akan dikenakan biaya sebesar Rp. 150.000,00 atau bisa juga mobil diparkirkan di bawah dan kemudian naik kendaraan umum, yang bernama Ontang Anting menuju Kawah Putih dengan tariff Rp. 15.000,00 per orang.
Kawah Putih terbentuk dari letusan Gunung Patuha pada abad ke-10. Konon masyarakat Ciwidey menganggap Gunung Patuha adalah gunung yang tertua. Oleh karena itu kata Patuha sendiri berasal dari kata pak tua (sepuh) dan mereka sering kali menyebutnya juga dengan Gunung Sepuh. Gunung ini juga sempat dianggap angker dan tidak ada seorang pun berani naik ke sana. Sampai pada tahun 1837, Dr. Franz Willheim, seorang Belanda peranakan Jerman yang tidak percaya akan mistis, masuk ke hutan dan naik sampai ke puncak Gunung Patuha dan melihat danau putih yang sekarang kita sebut dengan Kawah Putih.
Menyusuri tangga menurun dan jalan tanah berwarna putih menuju area danau, suasana di Kawah Putih siang itu lebih sunyi dan tenang dibandingkan suasana di Tebing Keraton. Walaupun awan tebal menyelimuti langit, tetapi saya tetap bisa menikmati keindahan batang-batang pohon tanpa daun dan air danau yang berwarna putih kehijauan di Kawah Putih. Setelah berfoto dan memotret tempat wisata ini, saya segera meninggalkan area danau karena tidak memakai masker dan bau belerang yang semakin menyengat membuat saya sedikit pusing.
Bumi Perkemahan Ranca Upas
Setelah meninggalkan Kawah Putih kira-kira 300 meter naik ke atas dari pintu keluar kawasan wisata, sudah tampak pintu masuk Bumi Perkemahan Ranca Upas. Melihat indahnya foto-foto tempat wisata ini melalui sosial media membuat saya sangat penasaran dengan Ranca Upas. Memasuki kawasan wisata, ternyata ada beberapa aktifitas yang bisa dilakukan selain mengunjungi penangkaran rusa yang terkenal di sana, yaitu kolam pemandian air panas dan waterbom, outbond park dan sesuai namanya tempat ini juga menyediakan lahan untuk berkemah. Sayang sekali pada kunjungan kali itu saya hanya bisa mengunjungi penangkaran rusanya saja.
Penangkaran rusa di Ranca Upas memiliki 24 ekor rusa. Jantan, betina, besar dan kecil semuanya ada. Pengunjung bisa turun dan berpose lebih dekat dengan rusa-rusa tersebut, pasalnya mereka sudah jinak dan nyaman dengan keberadaan manusia. Ada juga rusa yang mengejar pengunjung, tetapi bukan bermaksud jahat tetapi untuk meminta makanan. Walaupun rusa-rusa itu jinak, para pengunjung diminta untuk tetap berhati-hati karena penangkaran ini dibuat menyerupai habitat asli mereka. Ada tanah keras berumput yang bisa kita pijak, tetapi harus melangkah agak lebar atau melompat untuk menghindari tanah becek dan berlumpur di sana.
Belum puas bermain dan berfoto dengan rusa-rusa, awan hitam yang tidak beranjak dari siang tadi ditambah angin yang bertiup semakin kencang memberikan saya pertanda hari akan segera hujan. Juga, sebagai pertanda akhir dari perjalanan kali ini. Meskipun sebentar, tetapi perasaan senang dan senyum tidak bisa saya bendung di akhir perjalanan ini. Terima kasih Majalah Panorama, Nissan Navara, XL Prioritas, Hotel Santika, Yomp dan Nu Oceana.