TOP

Antico Palermo

Tiba di Palermo dengan pesawat dari Napoli, ketika itu sesaat lewat pukul delapan malam waktu setempat di awal musim semi. Suhu di Pulau Sisilia telah jauh lebih hangat dibandingkan tempat-tempat lain di Italia atau Eropa, sehingga tanpa berbalut jaket dan scarf pun, tubuh tidak lagi kedinginan. Bayangan kota yang dipenuhi preman atau anggota kriminal yang terorganisir dengan pistol yang terselip di pinggang seketika buyar ketika taksi bandara membawa saya ke hotel. Jangankan penjahat, manusia pun jarang terlihat di jalanan. Kenapa sepi sekali kota ini?

Saya tanyakan hal tersebut kepada supir taksi, ia mengatakan bahwa perjalanan dari bandara ke stasiun pusat tidak melewati pusat kota yang ramai. Setelah menghabiskan beberapa hari di Florence dan Roma yang selalu ramai, bahkan di tempat-tempat yang bukan pusat kota, di kedua kota tersebut setidaknya tampak orang berjalan kaki dan restoran yang menggelar meja di luar ruangan yang dipenuhi pengunjung yang ingin makan sambal menghirup udara musim semi yang sejuk. Karena belum puas dengan jawaban supir taksi, saya menanyakan hal yang sama kepada staf hotel ketika check-in.

“Pulau Sisilia tidak semakmur tempat-tempat lain di Italia, sehingga ketimbang makan di restoran, orang-orang di sini lebih suka memasak di rumah. Makan di restoran hanya sesekali saja,” jelasnya, yang masih membuat tidak puas karena sejarang-jarangnya warga makan di luar, Palermo memang bagai kota mati tak lama setelah hari beranjak gelap. Jarang ada orang berjalan atau duduk-duduk di sekitar piazza. Mungkin memang  supir taksi saya benar, area di sekitar hotel saya memang sepi.

 

1

Menyaksikan Kekacauan

Demi memudahkan mengeksplor kota-kota di Pulau Sisilia naik kereta, saya sengaja mencari akomodasi di dekat stasiun sentral atau Palermo Centrale. Lagipula, dari Palermo Centrale, berbagai tempat menarik di Palermo dengan mudah dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Vucciria dalam setempat berarti kekacauan. Berada di ruang terbuka dengan lapak-lapak hanya dinaungi terpal seadanya, pasar tradisional ini mirip dengan pasar-pasar becek di Indonesia. Sama-sama eksotis dan sama-sama guyub, selain merupakan pusat kegiatan warga. Hanya saja, pasar-pasar di Pulau Sisilia lebih riuh karena para penjaga lapaknya senang berteriak. Entah apa yang mereka teriakkan, namun yang setiap ada pengunjung yang melihat-lihat lapak, si penjual akan langsung berteriak-teriak.

Iseng-iseng di lapak seafood saya menanyakan harga tiram besar-besar yang menggoda. Ternyata harganya sangatlah murah, yaitu hanya lima euro per empat ekor. Tanpa berpikir panjang ataupun menawar, saya langsung membeli empat ekor dan minta dibukakan cangkangnya untuk dimakan di tempat. Permintaa saya segera disambut dengan teriakan-teriakan khas para penjaga lapak di pasar.

“Anda meneriakkan apa?” tanya saya akhirnya, karena tak dapat menyembunyikan penasaran.

“Saya memberi tahu orang-orang di pasar ini kalau Anda turis Tiongkok pertama yang membeli sesuatu dari lapak saya

“Saya bukan dari Tiongkok, tapi dari Indonesia.”

“Indonesia? Wow! Anda orang Indonesia pertama dalam 20 tahun saya berdagang di sini yang mampir ke lapak saya! Sebentar, saya revisi dulu informasi tadi,” katanya sebelum berteriak lagi.

 

1

Pengaruh Arab

Penggalan kalimat terkenal “Leave the gun, take the cannoli” dari sekuel pertama film The Godfather (1972) sebenarnya alasan utama saya ke Pulau Sisilia. Cannoli (atau cannolo bentuk singularnya) adalah penganan manis yang berasal dari Pulau Sisilia dan sekaligus menjadi bukti bahwa budaya Islam masih kental di sini. Dari tahun 827 hingga 1061, Sisilia dikuasai oleh kerajaan Arab dan mengalami perkembangan dalam hal budaya, sosial, dan ekonomi, yang bekasnya masih terasa hingga hari ini.

Secara harfiah, cannoli berasal dari kata “qanawat” dalam bahasa Arab yang berarti tuba mungil, karena memang bentuknya seperti potongan tuba. Cannoli disinyalir pengembangan dari qanawat, tipikal pastry Arab yang tersebar dari Andalusia di Spanyol hingga Irak.

Hadir dalam berbagai ukuran, mulai dari seukuran jari hingga yang seukuran kepalan tangan, vla cannoli pun hadir dalam berbagai varian rasa, selain ada juga yang ditambahkan raisin, chocolate chip, meises, pistachio cincang, dan masih banyak lagi. Berada di Sisilia, disarankan untuk mulai mencicipi dari cannolo yang original.

1

Saya menemukan Antico Caffe Spinnato (Via Principe di Belmonte 107-15) yang telah beroperasi sejak 1860 secara tidak sengaja. Setelah beranjak dari Teatro Massimo dan ingin mencari tempat minum kopi, setelah berjalan lima menit di Via Ruggero Settimo ke arah Teatro Politeama Garibaldi yang mirip Gerbang Bradenburg di Berlin, saya mendapati sebuah kafe yang meja-meja di luar ruangannya penuh terisi.

Saya memesan secangkir cappuccino dan dua buah cannoli berukuran kecil untuk mengudap. Agar dapat berbincang dengan barista paruh baya yang mengenakan seragam jas, saya memilih berdiri di bar yang terletak di dekat etalase penuh kue dan roti isi.

“Kunci dari membuat cannoli adalah jangan proporsi yang tepat untuk isi. Jangan terlalu banyak mengisikan vla pada cangkang karena seni mengudap cannoli adalah dapat habis dalam beberapa gigitan. Untuk menjaga kerenyahan cangkang, disarankan tidak mengisi vla terlalu lama sebelum disajikan agar tidak membuat cangkang lembek,” jelas sang barista.

 

 

Artikel lengkapnya bisa dibaca di majalah Panorama edisi Juli-September 2016

Teks & foto: R. Kurniawan