
Finding Home in a Bowl
Keputusan saya berangkat ke Taipei untuk belajar bahasa Mandarin sejujurnya mengejutkan diri sendiri. Walau berdarah Tiongkok, saya tak pernah merasa ingin belajar bahasa Mandarin sehingga dulu sempat mengarang beribu alasan kepada orangtua untuk tidak mempelajarinya. Namun, akhirnya saya pun memutuskan untuk mempelajari bahasa yang digunakan terbanyak kedua di dunia ini. Belajarnya pun tak tanggung-tanggung, langsung di negara penutur aslinya dengan menetap selama setahun di Taipei.
Menemukan Kehangatan
Salah satu yang membuat saya nyaman adalah makanan dan sesampainya di Taipei, salah satu makanan setempat yang pertama saya coba adalah huo guo alias hot pot atau shabu-shabu di Pasar Malam Shi Da. Saya datang ketika Taipei tengah musim dingin, sehingga hot pot menjadi pilihan yang sempurna ketika itu. Karakter Mandarin kata “huo guo” secara harafiah berarti kuali api, sehingga hidangan ini memang makanan favorit di musim dingin. Di Taipei, kebanyakan restoran shabu-shabu menyajikan kuah dalam kuali kecil untuk setiap orang di atas kompor portabel, sehingga tidak perlu berbagi dari satu kuali besar.
Yang seru dari restoran hot pot di Taipei adalah pilihan topping utama yang beragam, mulai dari daging sapi, daging ayam, daging babi, daging ikan, sampai kerang, dengan didampingi potongan kubis, jamur enoki, bakso sapi, pangsit, dan tahu. Untuk pilihan kuahnya pun tersedia kuah kaldu yang gurih, kuah mala yang pedas, dan kuah susu yang creamy. Pilihan saya ketika itu jatuh kepada kuah mala yang pedas. Maklum, lidah Indonesia saya masih belum terbiasa dengan cita rasa Taipei yang hambar.
Sebagai orang yang suka rasa pedas, saat pertama masuk saya langsung melirik pilihan saus yang disediakan di sebuah meja. Ternyata itu merupakan bumbu racikan yang bisa ditambahkan ataupun menjadi cocolan dari huo guo yang kita pesan. Orang Taiwan pada umumnya menggunakan saus Sha Cha yang gurih dan sedikit pedas, namun saya lebih memilih ramuan klasik cabe potong dan kecap asin yang pedasnya lebih pas untuk lidah saya, kalau saja rasa kuahnya kurang pas di lidah saya. Setelah puas makan huo guo, di restoran biasanya disediakan es krim yang juga bisa diambil sepuasnya.
Ketika mau memesan nasi putih, teman saya memberi tahu bahwa ternyata hampir semua restoran hot pot menyediakan nasi yang bisa diambil sepuasnya dan bahkan kadang disediakan kuah daging yang bisa disiramkan ke atas nasi. Selain nasi, makan di restoran hot pun juga sudah termasuk minuman. Meski kebanyakan hanya teh manis, tapi ada juga yang menyediakan jus jeruk atau minuman bersoda.
Hot Pot
Hot Pot sendiri sudah ada di Mongolia sejak lebih dari 1000 tahun yang lalu. Awalnya disajikan dengan daging sapi, kambing, atau kuda, makanan ini kemudian tersebar luas di masa pemerintahan Dinasti Tang dan semakin meluas lagi di masa Dinasti Qing. Seiring semakin luasnya peredaran hot pot, maka bahan-bahan yang digunakan juga disesuaikan dengan yang ada di daerah masing-masing.
Di Taipei, huo guo dapat dipesan sesuai menu dan ada yang menyediakan paket makan sepuasnya, termasuk pilihan es krim Movenpick atau Haagen Dazs sebagai pencuci mulut. Restoran All You Can Eat biasanya diberikan batas waktu, biasanya dua jam, agar tamu tidak duduk terlalu lama. Bila ingin mencicipi hot pot di Taipei, siapkan sekitar 100 – 200 NTD (New Taiwan Dollar) per orang dan bila ingin makan sepuasnya sekitar 400 – 700 NTD. Bagi yang ingin mencoba hot pot berkonsep All You Can Eat, saya rekomendasikan Ma La Yuan Yang Hot Pot di daerah Xi Men. Kunjungi untuk makan malam sebelum atau sesudah berjalan-jalan di Xi Men Ding, salah satu pasar malam terpopuler di Taipei.
Menemukan Kesederhanaan
Setelah beberapa hari berkeliling Taipei sambil berusaha menyesuaikan diri, saya sering melihat papan restoran yang terbaca sebagai “lu rou fan”. Karena penasaran, saya iseng mencoba menu yang hanya dihargai antara 35 – 50 NTD ini. Setelah makanan diantarkan ke meja, saya mengerti mengapa makanan ini dihargai semurah itu. Tampilannya sangatlah sederhana, yaitu hanya terdiri dari nasi putih yang disiram daging babi yang dicincang halus dengan kuah kecokelatan mirip semur. Meski sederhana, rasanya langsung membuat homesick karena mengingatkan saya akan masakan semur ibu saya. Perpaduan gurih dengan sedikit manis yang disiramkan ke atas nasi putih, lu rou fan juga dapat disantap bersama ekstra telur rebus kecap. Bila tidak bisa mengkonsumsi daging babi, restoran yang menyediakan menu ini juga menyediakan menu serupa dengan menggunakan suwiran ayam dengan harga yang lebih murah antara lima sampai sepuluh NTD.
Di mana pun di Taipei, lu rou fan dijajakan di mana-mana. Mulai dari gerobak pinggir jalan hingga di warung-warung makan, sehingga nasi dengan braised pork ini tercatat dalam Michelin Green Guide Taiwan 2011. Menu ini sebenarnya berasal dari Provinsi Shandong di Tiongkok sehingga menimbulkan perdebatan seru karena menurut orang Taiwan, menu ini sudah menjadi ikon kebanggaan Taiwan.
Seperti nasi goreng di Indonesia, rasa setiap mangkok Lu Rou Fan bervariasi, tergantung asal si tukang masak. Meski tetap dengan menggunakan bahan dasar daging cincang yang direndam dalam kecap asin, setiap orang dapat memberikan sentuhan bumbu khas pada kuah dagingnya. Kebanyakan orang lebih suka daging yang tidak terlalu berlemak untuk membuat menu ini, namun masyarakat di utara Taiwan justru lebih suka lu rou fan dengan daging berlemak.
Comfort food itu sejatinya makanan sederhana yang mudah disiapkan dan membuat siapapun merasa senang. Entah itu karena teringat kenyamanan atau seseorang di rumah atau karena bahan-bahan dalam makanan yang menghangatkan, secara harafiah maupun perumpamaan. Itulah sebabnya, comfort food memberikan kenyamanan yang hanya bisa dimengerti secara personal oleh orang yang bersangkutan. Berada di Taipei, saya merasa lebih mudah beradaptasi karena mengenal comfort food warga setempat sehingga selangkah lebih maju dalam menghadapi dunia baru di sekitar saya yang untuk setahun ke depan harus saya sebut sebagai rumah.
Teks: Andy William
Untuk artikel selengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi Mei-Juni 2015