TOP

Ketika Foodie Bertemu

Mereka yang mengaku foodie, atau minimal yang sudah tak bisa minum kopi sachet, niscaya akan dimanjakan ketika bertandang ke Melbourne, kota dengan tempat makan dan kedai kopi yang jumlahnya tak terhitung

Saya berangkat ke Melbourne dengan sederet rekomendasi tempat makan yang harus dicoba dari seorang karib yang sempat mengenyam pendidikan di kota yang sempat dijuluki paling layak huni sedunia tersebut. Delapan hari di Melbourne dengan acara yang padat untuk menghadiri Melbourne Wine and Food Festival 2016, saya pesimis dapat meluangkan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat yang berderet panjang dalam percakapan di aplikasi WhatsApp.

Namun ternyata ada cara menikmati berlimpahnya tempat makan di Melbourne dalam waktu singkat, yaitu dengan mengikuti walking food tour, seperti yang diselenggarakan Meltours (www.meltours.com.au) dalam salah satu paket turnya yang bertajuk Taste of Melbourne. Tur dimulai pukul 10:30 dan peserta sudah harus berkumpul di depan Federici Bistro (www.federici.com.au), yang merupakan bagian dari Princess Theater di 163 Spring Street. Sambil menunggu pemandu muncul, di email tertulis pesan untuk mencari seorang wanita yang mengenakan tas berwarna kuning bertuliskan “Meltours”, saya tak kuasa untuk memesan flat white di Spring Street Grocer (www.springstreetgrocer.com.au), sebuah supermarket yang di depannya terdapat bakery sederhana dan Gelateria Primavera.

“Gelato di sini kan terkenal!” ujar salah seorang peserta food tour asal Singapura, yang sepertinya sebelum berangkat ke Melbourne sudah meriset sederet tempat-tempat makan untuk dicicipi. Sayang saya terlambat mengetahuinya karena flat white telah dibuatkan dan tidak bisa dibatalkan.

Pemandu food tour pagi itu bernama Kathy, seorang foodie berusia paruh baya dengan penampilan yang quirky – seakan merepresentasikan suasana Melbourne – namun tetap enak dipandang. Setelah memberikan penjelasan singkat tentang tempat-tempat penting di sekitar meeting point, seperti Gedung Parlemen dan Teater Princess, ia menggiring rombongan ke Spring Street Grocer, tepatnya ke lantai bawah tanah supermarket tersebut.

 

5

Berawal dengan Keju

“Inilah salah satu kebanggaan warga Melbourne karena merupakan tempat pertama di Australia yang melakukan pematangan keju di bawah tanah seperti di Prancis dengan pengaturan temperatur ruangan yang ketat,” ujar Kathy, sebelum ia menyapa petugas di balik konter penuh tumpukan keju yang semuanya bagai memanggil-manggil untuk dibawa pulang. Petugas yang disebut sebagai cheesemonger berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Prancis yang kental menerangkan jenis-jenis keju yang tersedia di Spring Street Cheese Cellar, yang ketersediaannya sesuai musim.

Keluar dari Spring Street Grocer, Kathy menggiring rombongan menuju Pellegrini’s Espresso Bar di 66 Bourke Street. Kedai kopi mungil yang dijalankan oleh keluarga Italia selama beberapa generasi ini tak memiliki menu. Interior kedainya pun tak berubah sejak tahun 1950-an sehingga masuk dan menyesap kopi di sini akan berbonus nostalgia. Walau ada embel-embel espresso bar, Pelligrini’s juga menyediakan berbagai pilihan pasta autentik Italia karena budaya brunch dan makan siang di luar yang kental di Australia.

Imigran Italia berdatangan ke Australia, terutama Melbourne, setelah Perang Dunia II. Walau kopi telah dibawa para imigran ke Australia sejak 1788, namun baru pada 1950-an lah kopi berkualitas dapat dinikmati, seiring dengan dibawanya mesin espresso pertama ke benua ini oleh para koki yang didatangkan dari Italia untuk menyambut Olimpiade musim panas yang diadakan di Melbourne pada 1956, karena ketika itu dinilai tidak ada makanan yang layak bagi para kontingen maupun turis  karena imigran Inggris yang mendominasi Australia tidak memiliki koleksi kuliner yang patut dibanggakan selain fish and chips.

2

 

Distrik Etnik

Setelah menikmati kopi di Pellegrini’s, rombongan melanjutkan perjalanan melewati Grossi Florentino (www.grossiflorentino.com), salah satu restoran ternama di Melbourne milik juru masak ternama Guy Grossi, yang juga menciptakan menu untuk Longest Lunch yang menjadi program ikonik dalam Melbourne Wine and Food Festival 2016. Guy Grossi membeli Café Florentino yang reputasinya telah melegenda sejak 1930-an, berkat lokasinya tak jauh dari Gedung Parlemen, sehingga tempat ini kerap dikunjungi para petinggi pemerintahan. “Ini tak hanya salah satu restoran Italia terbaik di Melbourne, tapi di Australia. Harganya memang cukup mahal, namun kalau ingin menghemat, dapat makan di Cellar Bar-nya, di mana mana makanan dapat dipilih dari balik etalase, kemudian menyantapnya sambil berdiri atau atau dibawa pulang. Seperti di Italia, makan di bar atau untuk takeaway selalu lebih murah dibandingkan dengan duduk di meja yang disediakan restoran,” jelas Kathy.

“Imigran Tiongkok yang datang ke Australia mayoritas berasal dari Kanton, di mana masakan Kanton ternyata paling cocok dengan lidah masyarakat Anglo Saxon yang telah lebih dulu menghuni Australia,” jelas Kathy ketika kami berhenti di muka HuTong Dumpling Bar (www.hutong.com.au). Sesuai namanya, hutong adalah istilah untuk menyebut gang sempit dalam bahasa Mandarin. Kami diajak masuk ke HuTong Dumpling Bar dan melihat dari balik kaca dua orang staf berwajah Oriental yang dengan cekatannya sedang membuat dumpling. Suasana restoran itu mengingatkan akan tipikal restoran di Beijing dan Shanghai, selain memang semua stafnya berwajah Oriental.

Langkah-langkah kaki kami kemudian sampai di depan Curry Corner (188 Russel Street), yang sesuai namanya merupakan toko yang menjual aneka rempah khas India dan masakan India untuk takeaway. Michael Sharma asal Ayodhya membuka toko kelontong India pertama di Melbourne pada 1970-an, bersamaan dengan evolusi Melbourne menjadi kota multikultur yang kosmopolitan. Walau berlokasi di Pecinan, orang dari berbagai penjuru Melbourne akan mendatangi Curry Corner untuk menikmati samosanya yang terkenal lezat. Dan tentu saja alasan Kathy membawa rombongan ke Curry Corner adalah untuk mencicipi samosa. Ia mempersilakan setiap peserta untuk memilih samosa yang tersedia siang itu, yaitu yang berisi ayam, kambing, atau hanya kentang. Ukuran samosanya pun lebih besar dari samosa yang ada di India, sehingga puas memakannya.

 

Selalu Ada Pendatang Baru

Dalam menuju ke tempat makan siang, katanya akan diadakan di salah satu restoran Jepang terbaik di Melbourne, yaitu Chocolate Buddha (chocolatebuddha.com.au) di Federation Square, kami melewati Little Greece di Londsdale Street yang merupakan wilayah yang banyak dihuni imigran Yunani, selain deretan restoran Meksiko dan bar tapas khas Spanyol.

“Lidah warga Melbourne menjadi sophisticated, seiring dengan kebiasaan berlibur ke berbagai destinasi terkenal dunia pada pertengahan 1990-an. Dari pengalaman liburannya itulah mereka ingin membawa pulang sesuatu dari tempat-tempat favorit mereka. Kini berbagai restoran terbaik Thailand, Vietnam, Peru, Jepang, semua ada di Melbourne!” jelas Kathy sambil mengakhiri tur siang itu setelah mengajak rombongan memasuki toko bumbu Gewürzhaus (www.gewurzhaus.com.au) di Block Arcade (theblock.com.au). Gewürzhaus pun tepat berada di seberang Hopetoun Tea Rooms (www.hopetountearooms.com.au) yang legendaris dan selalu tampak diantre oleh pengunjung karena deretan kue di etalasenya memang menggoda.

Di setiap akhir hari sang karib yang membekali saya sederet rekomendasi tempat makan menanyakan lewat WhatsApp, “Makan di mana saja hari ini?” yang saya jawab dengan dengan berbagai tempat makan yang ia belum pernah dengar sebelumnya. Sedinamis itu perkembangan tempat makan di Melbourne.

 

Teks & foto: Fransiska Anggraini

Artikel lengkap dapat dibaca di majalah Panorama edisi Mei-Juni 2016