TOP

Menikmati Senyap Nihioka

Setelah berjalan melewati gulungan padang rumput yang berlatar hutan dan pantai, pematang sawah, sungai, dan desa-desa, di ujung ladang kelapa dan pepaya berdiri sebuah rumah kayu di atas tebing. Di situlah kami melewatkan sarapan pagi itu dengan ditemani deburan ombak yang memecah batu karang. Pantai Nihioka ternyata tak sesenyap yang dikira.

Butler vila kami, Anggi, sudah sejak dari pukul 07:00 WITA mondar-mandir membawakan sebuah French press berukuran besar berisi kopi Sumatera, sepoci teh hitam English Breakfast, sepiring potongan pisang, dan sekeranjang kecil berisi aneka pastry. “Makan dulu supaya ada tenaga, karena kita akan berjalan 1,5 jam,” begitu ujarnya. Gadis belia yang baru satu tahun lulus dari universitas di Kupang jurusan bahasa Inggris itu belum ada satu tahun bekerja di Nihiwatu Resort dengan tugas melayani kebutuhan para tamu yang menginap di Rumah Pohon Mamole, unit vila terbaru.

Pagi itu kami dijadwalkan sarapan di Nihioka, yang sebenarnya dapat ditempuh naik mobil selama 20 menit, namun untuk memberikan pengalaman berkesan, Nihiwatu sengaja menyediakan para stafnya untuk mengantar para tamunya berjalan kaki ke Nihioka, lahan milik Nihiwatu yang dimanfaatkan sebagai kawasan retreat sekaligus untuk menikmati suasana Sumba yang lebih alami. Di tempat yang sama juga menyediakan layanan spa dalam rangkaian program Spa Safari, program memanjakan diri yang dikemas dengan sedikit unsur petualangan.

“Supaya lapar,” begitu pikir kami, terlebih ketika dijanjikan perjalanan tidak akan terasa lama karena banyak pemandangan indah yang akan dilihat.

Setengah jam kemudian, Anggi kembali menghampiri kami untuk memberitahukan bahwa tuktuk (motor viar yang diberi kabin modifikasi dua baris, di mana penumpang duduk berhadapan) sudah siap untuk mengantar ke lobi. Rumah pohon ini memang letaknya paling jauh dari lobi. Ditemani Anggi dan seorang staf bernama Tiger, mulailah kami berjalan dari lobi Nihiwatu, melewati jalanan beraspal mulus di sepanjang akses masuk Nihiwatu Resort, sebelum berbelok ke jalan tanah setapak menuju hamparan padang rumput.

Di Bawah Terik Matahari
Matahari sudah tinggi walau belum pukul 08:00, sehingga dari yang sebelumnya berjalan sambil bercanda, satu per satu dari kami mulai berjalan dalam diam. Terlebih ketika selepas padang rumput, terhampar sawah yang pematang-pematangnya harus kami lalui, selain terdapat sungai kecil yang harus diseberangi. “Ibu mau minum?” tanya Anggi, yang sepertinya menyadari kami mulai tidak banyak bicara. Kami mengangguk dan ia mulai mengeluarkan botolbotol air dari ranselnya.

“Masih jauh?” tanya salah satu dari kami, nadanya mulai resah.

“Masih. Ini bahkan belum sepertiga perjalanan. Pelan-pelan saja, sambil foto-foto, nanti juga sampai,” jawab Anggi, seakan memaklumi kaki-kaki kami yang tidak terbiasa melangkah di jalan tanah yang naik-turun, walau medannya tidak seberat mendaki gunung.

“Kaki kami belum lelah sebenarnya, tapi matahari yang menyengat dan udara yang lembab menyebabkan tubuh cepat kehabisan tenaga karena keringat tak henti-hentinya mengucur. Mungkin seharusnya kita jalan jam 06:00!” ujar salah satu dari kami yang langsung disanggah beramai-ramai karena bangun sepagi itu di saat liburan sebisa mungkin kami hindari.

“Kalau tidak kuat, bisa saya panggilkan mobil agar langsung ke Nihioka dan bersantai di sana,” usul Anggi sambil membagikan handuk untuk menyeka keringat, yang seketika membuat kami terpecah menjadi dua kubu: sebagian setuju naik mobil untuk menghemat waktu dan dapat lebih lama di Nihioka, sementara sebagian lagi tidak ingin melewatkan pemandangan indah di sisa trek yang ada. Namun, untuk memecah kami menjadi dua kelompok pun bukan ide yang baik. Kami berlibur ke Sumba untuk menikmati waktu berkualitas dan telah berkomitmen untuk melakukan kegiatan apa pun bersama-sama. Akhirnya disepakati untuk berjalan sedikit lagi dan bila tidak kuat karena kepanasan, kami akan meminta Anggi untuk memanggil mobil.

* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Maret – April 2017.
Teks: Fransiska Anggraini