
Riung Yang Tak Diinginkan
Menyempatkan kembali ke Riung dalam rangkaian roadtrip keliling Flores setelah belasan tahun, ternyata kota pesisir mungil yang dikelilingi pulau-pulau indah ini masih seperti yang dulu. Di tengah popularitas Kepulauan Komodo, Riung yang nyaris tak diinginkan justru terlihat makin memesona.
“Jangan lupa mengunci pintu kamar, Riung terkenal kurang aman!” pesan supir sekaligus pemandu yang menemani saya keliling Flores sambil membawakan koper saya turun dari mobil. berkali-kali ke Flores yang masyarakatnya terkenal ramah, “kurang aman” adalah hal yang pertama kali saya dengar untuk mendeskripsikan pulau yang cantik ini.
Tak Diinginkan
Beberapa minggu sebelumnya, ketika merencanakan perjalanan ke Flores, operator yang saya kontak menawarkan pilihan untuk mengunjungi Wae Rebo. Wae Rebo memang indah dan saya belum pernah ke sana, namun sepertinya mayoritas orang yang melakukan overland tour di Flores, menyempatkan berkunjung ke Wae Rebo, desa yang sebelum kehadiran media sosial namanya bahkan tidak terdengar. Lagipula, ketika itu kaki saya baru saja sembuh dari cedera, sehingga akan menyusahkan diri sendiri dan orang lain bila saya memaksakan diri trekking menuju Wae Rebo. “Saya mau ke Riung saja,” ujar saya yang disambut dengan keheningan selama beberapa saat. “Saya mau main air di pantai saja ketimbang trekking,” jelas saya.
Entah bagaimana nama Riung terbersit kembali dalam pembicaraan lewat telepon siang itu dan didorong penasaran, saya ingin mengunjungi Riung lagi. “Jarang, lho, ada tamu yang meminta mampir di Riung ketika melakukan overland Flores,” ujar sang operator. “Dari Bajawa, biasanya mereka langsung ke Moni via Ende untuk ke Danau Kelimutu.”
“Wisatawan yang berkunjung ke Riung biasanya dari Eropa dan kebanyakan turis Jerman,” begitu jelas staf hotel ketika saya mendapati bahwa saya satu-satunya tamu di hotel ketika itu. “Biasanya hotel ini baru penuh antara Agustus sampai September.”
Karena penyebaran wisatawan yang tidak merata itulah sepertinya mengapa Riung diberikan predikat tidak aman, walau saya tak membuktikannya sendiri. Warganya yang mayoritas nelayan dan kadang menyewakan perahunya bagi para wisatawan untuk keliling Kepulauan Tujuh Belas itu tentu menginginkan dapat mendapatkan pemasukan tambahan dari pariwisata.
Island Hopping
Kapal yang saya sewa untuk berkeliling Kepulauan Tujuh Belas lumayan besar, kira-kira dapat memuat sepuluh orang. Saya berusaha tak membanding-bandingkan lagi Riung dengan Kepulauan Komodo, namun agak sulit ketika kapal telah melaju dan menjauhi daratan selama kurang lebih 30 menit. Perairannya sama bening dan birunya, sementara beberapa pulau di Kepulauan Tujuh Belas memang terdiri dari sabana seperti di Komodo. Mesin kapal dimatikan dan laju kapal melambat ketika tampak pulau tanpa pantai, namun dengan hamparan pohon-pohon tinggi yang rantingnya tampak banyak hitam-hitam bergelantungan.
Piknik di Pulau Tiga
Pulau Tiga atau yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Bampa Timur memiliki pantai landai dan perairan yang tenang dengan warna yang bergradasi. Dikelilingi pulau-pulau bersabana, berada di sini mengingatkan akan Kepulauan Komodo, sehingga membuat sulit untuk tidak membanding-bandingkan.
“Tidak ada mbou di sini?” tanya saya kepada tukang kapal. Mbou adalah spesies komodo yang lebih kecil dan kabarnya terlihat – walau jarang – di beberapa pulau di Kepulauan Tujuh Belas.
“Di sini tidak ada mbou. Mbou biasanya terlihat di Pulau Torong Padang. Itu pun pada musim-musim tertentu. Karena jarang terlihat, hewan ini belum dapat diteliti secara maksimal,” jelas tukang kapal, yang sepertinya merupakan orang yang terpelajar.
Selesai berenang, saya snorkeling. Selesai snorkeling, saya berjalan keliling pulau untuk berfoto. Selesai berfoto, saya menggelar kain pantai untuk alas duduk dan membaca buku sambil menikmati angin yang bertiup lembut. Tak lama, datang Pak Supir yang saat itu telah berpakaian renang membawakan satu wadah pisang goreng. “Selagi menunggu ikan matang, makan ini dulu!” katanya.
Lagi-lagi saya dibuat terharu dengan hospitality warga Flores, yang tanpa pretensi apa-apa telah mempraktikkan salah satu ajaran penting sekolah perhotelan, yaitu mengantisipasi kebutuhan tamu sebelum sang tamu menyadari akan kebutuhan tersebut.
Teks & Foto: Fransiska Anggraini
Selengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi Januari-Maret 2016