TOP

Awal Hitam Sebagai Warna Berkabung

Warna hitam mengalami pergeseran yang besar. Ia warna sedih tapi juga elegan. Ia menjadi baju penanda untuk berduka sehingga menjadi dress code acara pemakaman, tapi juga sekaligus warna pilihan untuk berbagai acara resmi. Memakai baju hitam adalah syarat wajib mengikuti ritual Rambu Solo’ di Tana Toraja, sehingga sarung khas Toraja ada yang khusus berwarna hitam polos (dengan sedikit hiasan keemasan di ujung bawah). Orang-orang yang hadir di upacara pemakaman warga Toraja ini sangat tidak dianjurkan memakai warna kuning karena itu warna penanda untuk perayaan pernikahan. Warna hitam sebagai penanda berduka ternyata sudah berlangsung berabad yang lalu.

Karena Ratu Victoria

Pada pertengahan abad ke-19, mengenakan baju hitam saat ada yang kehilangan adalah bentuk sebuah rasa hormat dan penghargaan. Ratu Victoria dianggap sebagai pelopor akan baju hitam sebagai tanda berduka. Setelah suaminya, Pangeran Albert, meninggal pada 1861, hampir selama 40 tahun sang ratu memakai baju hitam hingga ajal menjemputnya pada 1901.

Karena Ratu Victoria lah maka kemudian ada standar bagi para janda di Inggris yang sedang berduka untuk mengenakan baju hitam selama setidaknya 2,5 tahun sejak sang suami meninggal. Setahun pertama adalah masa berduka sehingga para janda harus mengenakan pakaian hitam polos tanpa hiasan maupun perhiasan, selain harus mengenakan cadar untuk menutupi wajah saat keluar rumah untuk menghadiri berbagai acara sosial. Setelah setahun berlalu, barulah para janda diperbolehkan menambahkan sedikit perhiasan. Di tahun kedua inilah para janda diperbolehkan mengenakan warna selain hitam, namun harus tetap warna gelap, sehingga rata-rata yang dipilih adalah abu-abu dan ungu.

Mereka yang tidak mampu, mesti mengecat ulang baju yang dimiliki dengan warna gelap agar dapat dikenakan sehari-hari. Untungnya usai perang dunia kedua, pandangan terhadap masa berduka mulai berubah. Para wanita Inggris cukup mengenakan warna hitam sebagai ungkapan berkabung selama enam hingga dua belas bulan saja. Hitam pun tak lagi  menjadi satu-satunya pilihan warna, karena para janda pun dapat mengenakan warna gelap lainnya, seperti biru atau hijau gelap.

Pada 1980-an pun sempat terjadi pergeseran bahwa tidak harus mengenakan warna hitam ke pemakaman, asalkan pakaian yang dikenakan tetap berwarna gelap. Memasuki abad 21, baju hitam dan warna gelap di pemakaman bergeser lebih jauh dan tidak lagi jadi pakem wajib. Orang-orang lebih mementingkan kehadiran daripada apa yang dikenakan. Bahkan, Pangeran Charles memakai jas warna navy gelap ke pemakaman Lady Diana pada 1997, karena menurutnya itu adalah jas yang paling disukai mendiang istrinya.

Tak Hanya Berkabung

Hitam yang identik dengan warna berkabung kemudian bergeser menjadi warna untuk pakaian formal, sehingga kemudian muncullah istilah black tie, dress code untuk acara resmi di atas pukul 18:00. Black tie  sering pula diartikan sebagai pesta mewah, di mana para pria mesti memakai tuksedo – pakaian serba hitam, dari mulai dasi, jaket dan celana panjang hitam, serta sepatu hitam mengkilap. Sementara para wanitanya dapat tampil elegan dengan pilihan gaun hitam – dapat panjang atau pendek (little black dress), seperti gaun hitam rancangan Givenchy yang dikenakan Audrey Hepburn di film Breakfast at Tiffany’s (1961) untuk perannya sebagai Holly Golightly yang legendaris.

Meski bukan pelopor, namun nama Gabrielle “Coco” Chanel lekat dengan Little Black Dress (LBD). Dalam biografi Chanel yang ditulis Justine Picardine, LBD tidak pernah dianggap sebagai pakaian formal hingga tahun 1926,  ketika majalah Vogue Amerika Serikat menampilkan sketsa desain Chanel berupa gaun hitam selutut berlengan panjang yang sederhana namun elegan (Coco senang menambahkan aksesori mutiara untuk LBD yang ia kenakan). Sejak itulah LBD adalah item pakaian yang harus dimiliki setiap wanita karena gaun sederhana ini dapat dikenakan di berbagai kesempatan.