
Dua Jam Bersama Ruud Gullit
Dalam kesempatannya berkunjung ke Jakarta, legenda sepakbola dunia asal Belanda, Ruud Gullit berbagi cerita. Dari mulai kiprah suksesnya sebagai pemain inti timnas Belanda, pindah ke AC Milan Italia, bermain dan menjadi manajer Chelsea, hingga kisah di balik layar yang belum pernah terungkap di media sebelumnya.
Pemain legendaris yang bersinar di tahun 1987 itu datang ke Indonesia kali ini atas undangan pemerintah kota Ambon, Maluku untuk sejumlah agenda terkait promosi wisata dan olahraga setempat. Usai menghadiri beberapa agenda, di antaranya penyerahan penghargaan kepada Persatuan Sepak Bola Ambon, Ruud menyempatkan diri ke Jakarta dan bertemu penggemar setianya, pada Sabtu (5/9/2015).
Dalam pertemuan eksklusif yang diusung Etihad Airways dan Total Football Indonesia yang berlangsung di The Prohibition, Plasa Senayan Arcadia tersebut, pria kelahiran 1 September 1962 dengan nama asli Rudi Dil itu berbagi kisahnya selama kurang lebih dua jam.
“Saya sangat senang bisa berada di Indonesia, ini kali keempat dan sebelumnya saya pernah ke Bandung, Bali dan kemarin di Ambon, rasanya selalu sama, menyenangkan,” ujarnya di hadapan penggemarnya yang tidak hanya orang dewasa tapi juga ada remaja, sepertinya meski bermain gemilang dalam rentang waktu 1987-1994, sosoknya masih jadi idola hingga berganti generasi.
Tentang Living Legend
Disebut-sebut sebagai living legend atau pemain bola legendaris yang masih hidup, Ruud mengaku dirinya sulit untuk menggambarkan seperti apa rasanya.
Menurutnya, bermain bola adalah keinginan yang setiap kali melakukannya ada kepuasan tersendiri. Sewaktu kecil ia bermain bola hampir setiap hari, di lapangan berumput atau jalan raya, di mana saja, kapan saja. Dan setiap kali bermain, ia akan selalu berupaya main bagus. Dia tidak mengira kalau ternyata banyak orang yang kemudian menyukai dan mengidolakannya. Semua terjadi begitu saja, katanya.
Ruud mengatakan dirinya mulai debut sebagai pemain bola profesional di klub Belanda HFC Haarlem sejak usia 16 tahun, dan membela tim nasional Belanda tiga tahun kemudian. Bersama Marco van Basten dan Frank Rijkaard, dia menjadi trio pemain bola yang bersinar di lapangan dan tak tertandingi. Ketika dikontrak AC Milan, Italia tahun 1987, Ruud menjadi pemain bola termahal dengan nilai kontrak hingga 7 juta euro dan di tahun yang sama ia meraih penghargaan bergengsi sebagai pemain bola Ballon d’Or.
“Bergabung dengan AC Milan saat itu adalah pengalaman berharga yang saya sendiri waktu itu hampir tidak percaya,” ujarnya.
Apalagi Ruud tidak bisa bahasa Italia. Salah satu yang membuatnya optimistis adalah melihat orang-orang Italia menyukai cara bermainnya. Pernah satu kali, eksekutif AC Milan yang tidak bisa bahasa Inggris datang menghampirinya ke kamar, sementara ia tidak mengerti bahasa Italia. Kejadian itu membuatnya tertawa dan selalu menempel di ingatan.
Pernah juga dalam tim, ada yang menyebutnya gemuk, karena badannya yang tinggi 186 cm dan berat hingga 90 kg. Namun, itu ia tidak tanggapi serius, malah sebaliknya, ia buktikan bahwa dirinya tidak gemuk, namun berotot.
Salah satu pertandingan yang berkesan buatnya adalah saat bermain di Napoli, melawan tuan rumah. Cerita serunya, ia yang ada dalam bus kedatangan disorak-soraki dan dilempari dengan telur dan lainnya oleh orang Napoli. Malam harinya, hotel tempat ia menginap dipenuhi suara raung motor. Ada rasa diintimidasi tapi sekaligus jadi pengalaman berharga sebagai pemain bola yang membuatnya kerap tersenyum bila mengingatnya sekarang.
Dari AC Milan, Ruud sempat pindah sebentar ke Sampdoria, lalu Chelsea. Dalam rentang waktu di Chelsea ia tidak hanya bermain tapi juga menjadi pelatih dan manajer. Usai bersama Chelsea, berunut kemudian ia gabung di Newcastle United (Inggris), Feyenoord Rotterdam (Belanda), Los Angeles Galaxy (AS) dan Terek Grozny (Rusia).
“David Beckham sangat menyukai sepakbola, ia sangat mahir di lapangan,” ujar Ruud, menuturkan pengalamannya bersama Bechkam saat di LA Galaxy.
Tentang Nelson Mandela
Sewaktu meraih penghargaan bergengsi Ballon d’Or tahun 1987, Ruud Gullit mendedikasikan tropinya untuk Nelson Mandela. Sesuatu yang membuat banyak orang bertanya-tanya dan cukup kontroversial.
“Di Belanda, saya kerap mendengar kiprahnya dan gerakan kemerdekaan di Afrika Selatan, dedikasi itu bentuk dukungan saya,” tuturnya.
Karena meraih penghargaan sewaktu gabung di AC Milan, Italia, banyak warga Italia yang tidak mengenal Nelson Mandela. Dan setelah diberi penjelasan, Ruud dilabeli sebagai pemain bola yang menyukai politik.
Suatu kali Ruud berkesempatan bertemu langsung dengan Nelson Mandela. Ia merasa tersanjung ketika Nelson mengatakan dirinya adalah salah satu teman, di antara sekian teman yang ia dapatkan saat di penjara. Upaya anti-diksriminasi dan kemerdekaan yang ia usung setidaknya membuahkan hasil.
Sedikit kilas balik lagi ke masa kecilnya, Ruud sendiri adalah pemain kulit hitam pertama dan berambut gimbal di Belanda, karena lahir dari bapak berdarah Suriname dan ibu Belanda. Menjadi paling mencolok di tengah-tengah pemain berkulit putih tidak menyurutkan semangat Ruud tapi sebaliknya, malah memicunya untuk bermain bagus.
Lalu, kapan ia memutuskan memotong habis rambut gimbal yang jadi ciri khasnya?
“Saat saya memutuskan untuk mengakhiri era sebagai pemain bola, saya putuskan untuk potong rambut,” ungkapnya lugas.
Ruud kini menikmati waktunya sebagai pelatih dan komentator sepakbola serta kerap diundang ke studio untuk program sepakbola di televisi. Salah satu keputusan yang ia sesali sepanjang karirnya adalah saat walk-out dari tim menjelang Piala Dunia 1994. Dan jika di kemudian hari ia ditawari oleh timnas Belanda sebagai pelatih, ia mengaku dengan senang hati untuk kembali. *
Teks: Rai Rahman Indra
Foto: Rai Rahman Indra, taringa.net