TOP

Efisiensi Energi Jadi Bagian Dari Pengembangan Pariwisata

Kementerian Pariwisata Republik Indonesia merilis data bahwa dalam waktu tiga tahun (2008-2013) pemasukan sektor pariwisata Indonesia meningkat dari 6,3 milyar dolar Amerika menjadi 10 milyar dolar Amerika. Menyikapi sektor pariwisata Indonesia yang kian berkembang ini, WWF-Indonesia menggagas program Tourism Energy Efficiency Investment Programme (TEEIP). Dengan program ini, WWF-Indonesia ingin mengajak partisipasi dari hotel-hotel khususnya yang berlokasi di Bali untuk melakukan upaya penghematan energi yang bertujuan tak hanya untuk aktivitas ramah lingkungan, tapi juga untuk keuntungan finansial dalam jangka jangka panjang,

Budi Wardhana, Deputy Director, Economic Instruments for Conservation WWF-Indonesia menjelaskan bahwa tujuan dari TEEIP seutuhnya adalah untuk pariwisata secara luas, namun untuk langkah awal ditargetkan ke hotel dahulu. “Pariwisata adalah penyumbang emisi karbondioksia dunia sebesar 5 persen dan 23 persennya berasal dari perhotelan. Itu sebabnya kami memulai program ini melalui hotel,” jelas Budi pada seminar Hotel’s Roles in Sustainable Tourism di Jakarta, Senin (30/3/2015).

Program awal ini menyasar perhotelan yang berada di Bali dengan alasan karena Bali untuk saat ini masih menjadi target destinasi utama pariwisata nasional dan internasional. Konsumsi listrik untuk bisnis termasuk perhotelan di Bali telah mencapai 46 persen. Sampel untuk data penggunaan energi di hotel ini terdiri dari tujuh yang berbentuk bangunan terpusat, tiga berbentuk vila atau resor dan satu pusat konvensi. Sembilan dari hotel tersebut berbintang lima dan satu berbintang empat. WWF-Indonesia bekerjasama dengan Synergy dan Southpole telah melakukan audit di setiap hotel dan kemudian melakukan kajian kelayakan karbon utuk melihat potensi penurunan emisi karbon serta kemungkinan untuk turut dalam perdagangan karbon.

Frans Teguh, Direktur Perancangan Destinasi dan Investasi Pariwisata dari Kementerian Pariwisata Republik Indonesia bahkan menegaskan bahwa Indonesia akan menghadapi tantangan berat karena wisatawan asing sekarang sudah mulai memilah objek wisata yang ramah lingkungan dan yang tidak. “Pariwisata memang untuk senang-senang, tapi mengelolanya tidak bisa senang-senang. Ini harus serius!” tegasnya. Menurutnya juga pariwisata harus mengikuti kaidah alam dan tidak bisa beroperasi sembarangan. “Tidak setiap saat seharusnya Pulau Komodo dibuka untuk umum. Ada saatnya untuk musim berkembang biak yang tak boleh diganggu,” jelasnya.

Saat ini sumber pendanaan untuk membiayai efisiensi energi beraswal dari swasta (dana sendiri, pinjaman bank dan energy service company). Namun kendala utama dalam usaha penghematan energi di hotal adalah: harga listrik yang rendah karena subsidi, pihak hotel tidak yakin akan penghematan biaya listrik, biaya investasi awal yang besar, peluang investasi lain dianggap lebih untung, keputusan investasi ada di pemilik hotel dan bukan pengelola, persyaratan berat untuk pinjaman bank, dan persepsi bahwa investasi efisiensi energi itu rumit dan beresiko tinggi.

Agar program penghematan energi ini di hotel ini berhasil maka diperlukan komitmen dari pihak hotel, pemahaman dan edukasi karyawan hotel serta tamu. Menurut Budi, hal-hal sederhana di dalam hotel yang bersifat edukasi bagi para tamu adalah contoh baik. Anjuran untuk hemat air jika tidak digunakan, menaruh handuk pada tempatnya jika ingin digunakan kembali atau sistem kartu pada kamar yang akan mematikan listrik secara otomatis saat tamu sedang pergi, adalah implementasi yang sudah dijalankan tidak hanya untuk efisiensi energi, namun juga untuk mengedukasi tamu dalam gaya hidup sehari-harinya.

Dalam rangka menuju pariwisata yang sustainable, pihak hotel juga harus berbuat lebih dari sekedar program CSR (Corporate Social Responsibility), seperti manfaatkan energi terbarukan, mengurangi sampah dan polusi, bahan pangan dari sumber setempat dan ramah lingkungan, terlibat dalam perekonomian masyarakat lokal dan dalam pelestarian alam setempat.