TOP

Pemerintah Akan Jerat Pelaku Kejahatan Satwa Liar

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Polri, Kejaksaan Agung, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong pemakaian Undang-Undang terkait Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat pelaku kejahatan satwa. Ini bertujuan agar hukuman bagi para pemburu dan pedagang satwa liar dilindungi di Indonesia bisa lebih berat.

Hal ini menjadi poin penting dalam Workshop Penegakkan Hukum Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar se-Sumatera yang diselenggarakan di Medan, 2-3 Februari 2016, dengan kerja sama KLHK dan WWF Indonesia. Turut hadir dalam workshop ini Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan penyidik KLHK dari berbagai provinsi di Sumatera.

Sekretaris Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum), Kemal Amas mengatakan, saat ini kasus perburuan dan perdagangan satwa liar dihukum rata-rata paling berat dua tahun penjara atau masih di bawah ketentuan hukuman maksimal dalam UU No 5 Tahun 1990. Hukum ini tidak memberikan efek jera bagi para pelaku karena sering ditangkap pelaku kejahatan merupakan orang dan jaringan yang sama. Pemerintah saat ini sedang mengajukan revisi UU No 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya agar hukuman pidana bagi pelaku kejahatan satwa  dapat dijatuhkan lebih dari lima tahun penjara dan denda di atas Rp 100 juta.

Selain itu pemerintah melihat peluang besar untuk memakai UU Tindak Pindana Pencucian Uang yang bisa menjerat pelaku dengan hukuman yang lebih berat. Untuk itu Dirjen Gakkum KLHK dalam workshop ini mengajak kepolisian, kejaksaan, dan PPATK merumuskan upaya peningkatan penegakan hukum dengan mendorong penggunaan pasal tentang kejahatan pencucian uang.

Beren Rukur Ginting dari PPATK memberi dukungan bagi penerapan sistem anti pencucian uang dalam kasus perdagangan satwa di Indonesia. Menurutnya kejahatan satwa ini bukan lagi kejahatan biasa, tapi sudah menjadi kejahatan terorganisasi dan juga merupakan kejahatan transaksional lintas negara. Hasil penelitian Jaringan Pendidikan Lingkungan tahun 2014 kerugian negara yang ditimbulkan akibat perdagangan satwa mencapai Rp 9 triliun pertahun. Di global, kejahatan satwa menduduki peringkat ketiga dari bisnis ilegal setelah narkoba dan perdagangan manusia.

“Kejahatan Kehutanan dan Lingkungan Hidup merupakan salah satu tindak pidana asal yang beresiko tinggi menjadi sumber pendanaan pencucian uang. Kejahatan ini seringkali ditemukan berentetan dengan penipuan, pemalsuan, kekerasan, korupsi, dan pencucian uang,” kata Beren.

Anwar Purwoto, Direktur Sumatera WWF Indonesia mengatakan, “Pemburuan dan perdagangan satwa menjadi salah satu yang mendorong cepat laju kepunahan berbagai satwa langka di Sumatera. Tingginya nilai keuntungan yang diperoleh dari perdagangan ilegal satwa langka, termasuk memperdagangkan bagian tubuhnya telah memicu terus berlangsungnya kejahatan terhadap satwa ini.”

Data WWF Indonesia tentang kejahatan satwa di Indonesia mencatat ada delapan ton gading gajah beredar di Sumatera selama 10 tahun terakhir, lebih dari 100 orang orangutan diselundupkan keluar negeri tiap tahun, lebih dari 2.000 kukang diperdagangkan di Jawa dan juga diselundupkan ke luar negeri, 2.000 ekor tringgiling dijual ilegal keluar negeri setiap bulan, dan satu juta telur penyu diperdagangkan di seluruh Indonesia tiap tahunnya.

“Perdagangan satwa di sosial media di Indonesia juga marak. Tercatat 74 ekor orangutan diperdagangkan via daring dan 15 harimau diperdagangkan melalui Facebook,” kata Anwar Purwoto.

Selain menggunakan UU tentang TTPU, ada peluang juga menggunakan UU lain yang terkait dengan kejhatan terhadap satwa ini, misalnya UU Darurat Penggunaan Senjata Api Secara Ilegal, UU tentang Korupsi dan sebagainya. Penegakan hukum secara optimal kejahatan terhadap satwa juga perlu didukung oleh adanya koordinasi yang baik yang didukung oleh komunikasi yang efektif antarpenegak hukum.