Melesat, Menukik, dan Melayang
Berbekal nyali dan beberapa ratus dolar Selandia Baru, saya memutuskan untuk menikmati keindahan alam Selandia Baru sambil melayang di udara. Hari yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Pukul 14:00 saya tiba di konter tiket NZone Skydive (www.nzoneskydive.co.nz), salah operator di Queenstown yang memiliki catatan keselamatan paling baik, yang berlokasi di 35 Shotover Street. Sebelum memutuskan untuk mengikuti kegiatan ekstrem yang menjadi atraksi utama di Queenstown ini, saya melakukan serangkaian riset agar uang sebesar 568 dolar Selandia Baru (339 dolar Selandia Baru untuk biaya skydiving dan sertifikatnya saja, dan tambahan 229 dolar Selandia Baru untuk dokumentasi foto dan video) yang akan saya keluarkan tak akan sia-sia. Takut? Sudah pasti!
Detik-detik Menerjunkan Diri
Staf yang ramah menyambut kedatangan saya. Karena jadwal shuttle menuju Drop Zone masih pukul 14:30, saya pun diminta menonton video tentang hal-hal yang harus dilakukan sesampainya di sana. Drop Zone-nya sendiri hanya berjarak 15 menit naik shuttle gratis dari konter tiket, tempat saya berada ketika itu. Tontonan video singkat tak berhasil meredam debaran jantung yang semakin lama semakin cepat seiring dengan bergulirnya waktu mendekati detik-detik keberangkatan menuju Drop Zone. Saya ingin agar dapat segera tiba di Drop Zone, naik pesawat, terjun dari ketinggian, merasakan aliran adrenalin yang mengalir deras, dan mengakhiri semuanya.
Sesampainya di Drop Zone, setiap peserta harus mendaftar ulang dan dipersilahkan masuk ke ruang tunggu. Bila sudah tiba waktunya, mereka akan dipanggil berdasarkan kelompok, di mana setiap kelompok terdiri dari sembilan orang. Di sinilah peserta akan digiring menuju hangar untuk memilih perlengkapan berupa jumpsuit, sarung tangan, helm, dan kacamata yang harus sesuai ukuran masing-masing agar nyaman dan tak membahayakan keselamatan. Tak ada perlengkapan khusus yang harus dibawa peserta, asalkan sepatu yang dikenakan tidak mudah lepas dan jaket yang melekat di tubuh cukup mampu menahan dingin.
Setelah selesai memilih perlengkapan dan mengenakannya, peserta diperkenalkan dengan tandem master masing-masing. Ya, karena baru pertama kali mencicipi sky diving, maka saya akan dipasangkan dengan seseorang yang telah berpengalaman dan Will da Silva asal Brazil adalah tandem master saya siang itu. Will kemudian menjelaskan berbagai hal yang harus diketahui sebelum terjun dari beberapa ribu kaki di atas permukaan laut, misalnya di awal terjun harus mengenggam erat belt yang terpasang untuk mengindari hantaman tangan ke arah tandem master.
Tandem master akan memberi aba-aba dengan menepuk pundak peserta apabila tangan telah dapat melepaskan genggaman pada belt. Will berkali-kali menekankan bahwa ketika terjun dari pesawat, posisi badan dan kaki harus melengkung seperti pisang. Jika parasut utama sudah terbuka, barulah tubuh dapat diluruskan dengan kaki terbuka. Pada saat akan mendarat, tandem master akan memberi aba aba agar kaki mengarah ke depan untuk menghindari hentakan saat menyentuh tanah. Terlalu banyak yang harus diingat, saya tidak yakin akan ingat untuk melakukannya di atas sana. “Tidak apa-apa, nanti saya ingatkan lagi bila telah tiba waktunya,” ujar Will serasa dapat membaca pikiran saya.
Terjun dari 12.000 Kaki
Peserta kemudian digiring untuk menaiki Cessna Grand Caravan yang berjuluk The Supervan 900. Tak lama pesawat tinggal landas dan saat itulah juga jantung saya seakan mencelat ke tenggorokan. Takut, berdebar-debar, gugup, namun senang dan penasaran. Sepuluh menit kemudian, pesawat berada di ketinggian 9.000 kaki, ketinggian minimum yang direkomendasikan untuk terjun. Saya memilih terjun dari 12.000 kaki. Setelah jantung yang pindahke tenggorakan, kini saatnya perut mendadak melilit. Wajah saya pucat dan walau sudah tak bisa senyum lagi, saya menguatkan diri untuk tetap terjun. Toh, kalau saya mati, saya akan mati dengan bahagia di tempat yang indah, ujar saya dalam hati untuk menguatkan diri sendiri. Dengan langkah pasrah, saya mempercayakan nyawa saya ke tangan Will.
Butuh 45 detik terjun bebas di udara sebelum membuka parasut. Will mengingatkan saya untuk terus membuka mata, padahal karena berperang melawan rasa takut, secara otomatis insting memerintahkan otak untuk memejamkan mata. Itulah sebabnya, bila ditanya hal tersulit ketika melakukan skydiving, jawaban saya adalah membuka mata ketika terjun bebas – sebelum parasut terbuka. Namun demi mendapatkan hasil foto yang bagus, saya memaksakan diri untuk terus membuka mata.
Ketakutan lenyap seiring dengan parasut yang terbuka karena tubuh tidak lagi melayang bebas tak terkendali, namun melambat dan jantung pun kembali kepada ritme normalnya. Terlebih ketika mata dihibur oleh hamparan pegunungan yang mengelilingi Danau Wakatipu. Proses dari mulai terjun dari pesawat hingga mendarat tak sampai 10 menit, namun itulah 10 menit terpanjang dalam hidup saya.