
Arnold Poernomo dan Gap di Industri Kuliner
“Tow cappuccino, one flat white, one long black, three latte,” ujar Arnold Poernomo kepada barista di Pelligrini’s Espresso Bar, merekap pesanan peserta tur berjalan kaki untuk pecinta makanan di Melbourne yang juga diikuti Editor-in-Chief majalah Panorama, Fransiska Anggraini. Berikut perbincangan mereka tentang industri restoran di Tanah Air selama tur tersebut.
Bagaimana dapat mengingat pesanan secepat dan seakurat itu?
Bisa karena biasa. Karena saya bekerja di industri restoran, mengingat pesanan adalah hal mendasar yang harus dapat dilakukan.
Perbedaan industri restoran di Sydney dan Melbourne?
Suasana tempat-tempat makan di Melbourne lebih santai, sehingga semua orang dapat menikmatinya tanpa terintimidasi. Syndey tidak sesantai Melbourne. Membuka restoran di Sydney pun lebih sulit.
Industri makanan di Indonesia terbilang lambat perkembangannya. Apa yang harus dilakukan agar lebih dinamis?
memang lambat, tapi jangan salah, Locavore (locavore.id), sebuah restoran milik orang Indonesia di Ubud masuk dalam World’s Best Restaurant 2015. Masalahnya akarnya sama. Semua orang ingin menjadi koki namun jarang yang mau menimba ilmu dengan merintis dari bawah di dapur. Banyak lulusan sekolah memasak ternama begitu kembali ke Indonesia langsung mau jadi Executive Chef. Akhirnya banyak yang gagal karena mengelola dapur dan timnya itu sulit.
Ada rencana membuka restoran di Bali?
Memang sempat terpikir, tapi saya belum dapat memberikan informasi lebih lanjut. Kalau sudah pasti, akan saya kabari!
Di Bali lebih banyak masakan Western ketimbang masakan Indonesia. Mengapa para koki Indonesia tidak belajar saja memasak masakan Indonesia dengan benar ketimbang belajar masakan Western?
Tidak ada yang salah dengan itu sebenarnya. Namun setahu saya, semua koki yang dapat memasak masakan Indonesia ingin memodernisasikan makanan Indonesia bila mereka membuka restoran yang menyajikan makanan Indonesia. Artinya adalah mengawinkan resep tradisional dengan teknik ala Barat agar tampil beda dengan masakan Indonesia yang dijual di kaki lima.
Untuk dapat mengetahui rasa masakan yang autentik, seorang juru masak harus traveling ke tempat asal masakan tersebut, sementara gaji juru masak di Indonesia kecil. Untuk pergi ke restoran-restoran bermutu pun dalam rangka menambah wawasan, mereka kembali terbentur masalah finansial.
Akhirnya ketika ada yang memiliki visi dan misi bagus untuk sebuah konsep restoran, baik di Indonesia, Western, atau kombinasi keduanya, orang tersebut akan kesulitan karena pengetahuannya jauh tertinggal. Terlalu besar gap pengetahuan di kalangan juru masak Indonesia bila mereka terjun ke bisnis makanan.
Apakah kompetisi memasak benar-benar membantu mencari talenta-talenta baru dalam bidang kuliner?
Tergantung jenis kompetisinya dan banyak kompetisi kurang berkualitas karena kontestan tidak dijaring secara ketat, selain materi kompetisinya pun kurang bagus. Seperti yang saya bilang, banyak koki ingin instan di puncak.
Pendapat Anda tentang The Longest Lunch di Melbourne Wine and Food Festival 2016?
Menghidangkan makanan untuk 1.600 orang adalah usaha yang luar biasa. Saya tidak terbayang bagaimana Guy Grossi dapat melakukannya!
Komentar tentang menu-menu The Longest Lunch kemarin?
Ayam untuk hidangan utama memang pilihan aman, karena tidak semua orang menyukai steik sapi yang dimasak dengan tingkat kematangan medium-rare, sementara tidak semua orang makan daging babi. Begitu juga dengan ikan, terlebih ikan laut. Akan susah untuk penyimpanan, baik sebelum maupun sesudah diolah hingga terhidang di meja pengunjung.