Si Cantik yang Berhantu
Sebuah kota abad pertengahan yang tak tersentuh destruksi Perang Dunia, Cesky Krumlov tak hanya menawan namun juga menyimpan banyak kisah hantu, sehingga ia pun tak dapat mengelak dari julukan si Kota Hantu.
Jam menunjukkan pukul 21:30 ketika kereta dari Dresden melambatkan lajunya di Praha Hlavní Nádraží atau Stasiun Utama Praha dalam bahasa setempat. Walau masih akhir November, namun suhu dingin telah menusuk tulang. Tubuh saya bergetar akibat meriang dan sakit kepala yang tak kunjung reda sejak tadi pagi. Sakit di hari Minggu bagi turis ketika berada di Jerman adalah sebuah ujian kesabaran, berhubung apotek tutup (ada apotek darurat yang buka, namun saya terlambat mengetahuinya karena harus mengejar jadwal kereta).
“Kuat berjalan ke hotel? Menurut Google Maps dari stasiun ke hotel hanya 10 menit berjalan kaki,” ujar istri saya yang sejak saya sakit langsung mengambil alih peran sebagai navigator, walau ia pernah mengaku sebagai orang yang tidak dapat membaca peta.
Setelah mengangguk lemah, kami berjalan dalam diam di tengah udara yang dingin. Hanya derak suara roda koper yang diseret di jalan berbatu yang terdengar. Mungkin karena cuaca yang dingin jugalah malam itu nyaris tak terlihat orang di jalan-jalan berbatu yang kami lalui. Padahal jalan-jalan tersebut terletak tak jauh dari pusat keramaian.
Bartender Penyelamat
Hidup memang jadi lebih mudah dengan kehadiran aplikasi Google Maps karena tak lama kemudian, sampailah kami di sebuah bangunan kayu bercat cokelat kemerahan bertuliskan “BoHo” dengan jendela besar-besar yang menampakkan lobi dan bar berpencahayaan temaram. Dari luar bangunan tersebut tampak hangat mengundang. Mungkin beginilah rasanya menjadi Gadis Penjual Korek Api dalam kisah berjudul yang sama karya Hans Christian Andersen, ketika ia melihat ke jendela-jendela rumah yang baliknya tampak keluarga mengitari meja makan dan bersantap sambil tertawa-tawa.
Namun tak seperti Gadis Penjual Korek Api, saya dapat memasuki ruangan yang hangat di lobi hotel itu dan langsung disambut dengan sapaan, walau tanpa senyum – nanti saya tahu bahwa orang Ceko memang tidak banyak senyum walaupun mereka ramah. Kami memilih menginap di BoHo yang merupakan anggota Small Luxury Hotels of the World (SLH) karena ketika pertama kali melihat gambarnya di Internet saat meriset tempat untuk menginap, langsung menyukai bentuk bangunannya yang klasik namun minimalis – berbeda dengan hotel-hotel lain di sekitar Kota Tua (BoHo hanya lima menit berjalan kaki ke kawasan Kota Tua) yang menawarkan akomodasi di bangunan tua dengan kamar bergaya klasik karena dihiasi banyak barang antik.
Kami dipersilakan duduk di bar yang berada di sebelah konter check-in untuk menikmati segelas Prosecco dingin yang disajikan oleh seorang bartender ramah. Seperti biasa, pertanyaan diawali dengan ritual menanyakan asal dan berapa lama akan berada di Praha.
“Omong-omong, Anda punya paracetamol untuk sakit kepala? Kepala saya sakit sejak pagi tapi tadi tidak ada apotek yang buka di Dresden kalau Minggu dan sialnya kami lupa mengemas obat sakit kepala,” potong saya sambil menahan denyut di kepala yang sangat menganggu.
“Oh tentu saja! Staf Front Desk kami selalu punya obat untuk keluhan-keluhan seperti itu. Tunggu sebentar, ya!” katanya sambil segera ke meja Reception
Tak lama ia kembali dengan dua jenis tablet. “Ini ada dua jenis tablet, satu untuk sakit kepala dan meriang, dan satu lagi untuk sakit kepala saja,” ujar sang bartender.
“Pilih yang ini saja,” kata saya setelah mencoba membaca tulisan di kemasan namun menyerah karena tertulis dalam bahasa Ceko. Tubuh saya memang agak meriang karena kedinginan. Seharian tadi Dresden bersuhu empat derajat dan Praha malam itu nol derajat. Setelah berserah diri pada kehangatan lobi BoHo Hotel, tak lama setelah formulir registrasi kami serahkan kepada staf Front Desk, kami pun diantar ke kamar. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk membenamkan diri di kasurnya yang empuk dan selimutnya yang hangat, sementara di luar malam semakin larut dan suhu mulai bergeser ke angka minus.
* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Januari – Februari 2017.
Teks & foto: R. Kurniawan