TOP

1, 2, 3, Tango!

Bagi seseorang yang kikuk dan bertubuh kaku seperti saya, jauh-jauh ke Buenos Aires untuk belajar tango adalah sebuah loncatan besar keluar dari zona nyaman.

Sebagai pecinta film, ada kalanya saya tergila-gila dengan suatu film hingga lokasi pengambilan gambar pun masuk ke dalam daftar panjang destinasi yang harus saya kunjungi. Sebut saja Beijing dan Hong Kong, akibat terlalu banyak menonton aksi Jet Li di layar kaca. Namun tak pernah terbayangkan saya akhirnya menginjak Buenos Aires berkat film Take the Lead (2006) yang mengisahkan tentang seorang penari tango.

Menghindari musim dingin, saya berangkat ke Buenos Aires di musim semi ketika cuaca bersahabat dan aktivitas berjalan kaki mengelilingi kota menjadi menyenangkan di bawah pepohonan jacaranda yang bermekaran di sisi jalan. Setelah menikmati malam di sebuah hotel yang bertema tango di pusat kota, sambil masih memerangi jetlag, saya pun memulai kelas tango keesokan harinya.

Saya mengambil kelas pemula di salah satu institusi yang direkomendasikan oleh seorang local guide. Kelas ini berisi 30 orang, ada yang berpasangan bersama teman, kekasih, atau datang sendiri—namun semuanya adalah turis asing yang sengaja datang jauh-jauh untuk belajar tango. Ternyata banyak juga peserta yang tidak bisa menari namun mendaftarkan diri untuk belajar tango demi mencari kesenangan, bahan menuliskan blog, dan bahkan sebagai bagian dari tugas kuliah (Sejarah Budaya Latin). Studio tarinya sendiri berbentuk persegi panjang dengan cermin pada satu sisi dinding, cukup luas untuk menampung hingga 50 orang tanpa perlu berdesakan.

Sekilas tango terlihat mudah, namun ternyata banyak variasi gerak dan musik sehingga untuk menguasainya pun membutuhkan rentang waktu yang panjang. Saya beruntung tak mengambil kelas singkat selama dua hari. Kelas singkat tersebut justru tak ada manfaatnya untuk otak saya yang sulit mengingat berbagai gerakan dalam tempo cepat.

Di awal-awal sesi saya hanya bisa terkikik geli setiap menatap bayangan di cermin: badan berpose kaku dengan keringat bercucuran meskipun studio memiliki pendingin ruangan. Pengalaman belajar tango untuk pertama kalinya ini lucu sekaligus menyebalkan karena kaki tak bisa bergerak luwes seperti yang diinginkan. Untungnya seiring dengan jetlag yang menghilang, di kelas-kelas berikutnya saya mulai menguasai berbagai tarian dasar serta sejumlah variasinya.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2013.

TEKS: MELINDA YULIANI