
Sisi Flores yang Tersembunyi
Flores tak melulu tentang Komodo dan Kelimutu. Bila terus bergeser ke timur, bersiaplah untuk tak henti dibuat ternganga akan keindahan gugusan pulau di Nusa Tenggara ini.
Sebagai suatu destinasi pariwisata, Flores bagian timur memang masih belum sepopuler Kepulauan Komodo atau Danau Kelimutu di Ende. Padahal wilayah ini bertetangga dengan Pulau Lembata yang terkenal dengan ritual berburu paus dan Pulau Alor yang merupakan surga bagi para penyelam.
Dari Bandara Frans Seda di Maumere, kami naik mobil selama empat jam untuk sampai di Larantuka, ibukota kabupaten Flores Timur. Kota yang dikenal akan perayaan Paskahnya yang unik ini telah lama dijadikan tempat ziarah bagi umat Katolik. Seminggu menjelang Paskah, masyarakat Larantuka akan melakukan tradisi peninggalan Portugis. Dengan menyuntikkan budaya lokal ke perayaan yang telah dilakukan selama lebih dari 500 tahun ini, perayaan Semana Santa (Pekan Suci) mencapai puncaknya pada Jumat Agung, di mana masyarakat akan mengarak patung Yesus dan Bunda Maria keliling Larantuka. Wisata religi ini begitu terkenal hingga Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin pun berharap suatu hari nanti Larantuka dapat menjadi kota wisata rohani internasional.
Saya sempat mengunjungi Katedral Reinha Rosari, gereja yang menjadi titik awal dan akhir prosesi Pekan Suci. Didirikan tahun 1862 dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan atap dari ilalang, katedral itu habis terbakar di tahun 1901 dan dibangun ulang dengan material yang lebih permanen. Memerlukan pengerjaan selama delapan tahun, katedral itu akhirnya berdiri kokoh dari batu bata dengan dominasi cat berwarna krem dan jendela berhiaskan kaca patri cantik yang mengisahkan kehidupan Bunda Maria.
Larantuka memang beraura spiritual. Tak jauh dari Katedral Reinha Rosari, terdapat Kapel Monsinyur Gabriel Manek di Lebao Tengah yang dipercaya telah melahirkan berbagai mukjizat. Hingga hari ini masih banyak yang melakukan ziarah ke kapel itu dengan berdoa di hadapan dua jenazah pendiri kongregasi Puteri Reinha Rosari, yaitu Monsinyur Gabriel Manek, SVD dan Suster Anfrida. Gabriel Manek meninggal pada tahun 1989 di Amerika Serikat, sedangkan Suster Anfrida menyusul tujuh tahun kemudian di Belanda. Ketika dipindahkan ke Larantuka di tahun 2007 dan 2008, kedua jenazah ini masih utuh. Bahkan jam tangan yang dikenakan Gabriel Manek pun masih berfungsi, walau telah terendam air selama 17 tahun. Yang ingin berkunjung ke sini, kapel terbuka untuk umum setiap hari, pagi dan sore, kecuali selama Semana Santa.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2013.
TEKS & FOTO: MELINDA YULIANI