Kehangatan di Antara Balok-balok Es
Dalam sebuah bilik es yang temaram dengan penerangan yang berganti warna setiap beberapa detik, segelas cocktail yang tersaji dalam gelas dari es menyirami persahabatan yang sempat renggang tergerus kesibukan.
Pesawat dari Sydney tiba sedikit terlambat di Queenstown sore itu dan ternyata antrean Imigrasi pun ikut mengular. Dari Imigrasi, saya masih harus melaporkan berbagai makanan bawaan dari Jakarta: setoples nastar untuk perjalanan keliling Pulau Selatan, obat herbal untuk menghangatkan tubuh di musim dingin, sepaket sambal roa untuk pendamping menyantap aneka masakan minim rempah, serta tentu saja, beberapa bungkus mi instan untuk mengganjal perut jika bosan makan roti.
Pukul 16:00 seharusnya saya bertemu seorang teman lama di Terminal Kedatangan. Pesawat kami terpaut 45 menit: ia terbang dari Auckland dan saya dari Sydney. Namun, sore itu saya baru dapat keluar Terminal Kedatangan 90 menit sesudah janji temu yang ditetapkan.
Hari itu ia berulang tahun dan kami sepakat untuk merayakannya bersama di Queenstown. Kami sama-sama tinggal di Jakarta, tapi kesibukan dan prioritas kehidupan, membuat kuantitas pertemuan selalu dapat dihitung dengan jari dalam setahun. Makanya ketika tak sengaja mengetahui rencananya mengunjungi Selandia Baru di saat yang sama (ia telah membeli tiket ke Auckland dan saya telah memiliki tiket ke Queenstown), kami pun mengatur perjalanan sedemikian rupa agar dapat bertemu di Queenstown, untuk kemudian melakukan perjalanan bersama keliling Pulau Selatan.
Malam yang Sibuk
Hari sudah gelap ketika mobil sewaan kami memasuki pusat kota Queenstown di Jalan Shotover. Ketika itu musim dingin dan matahari sudah terbenam sekitar pukul 17:00. Kami harus buru-buru check-in di hotel karena sebelumnya telah membeli tiket masuk ice bar pukul 20:00. Bar dari es pertama dibangun pada 1994 di Jukkasjärvi, Swedia. Sejak itu, negara-negara dingin pun banyak yang membuka ice bar untuk menarik turis, termasuk Queenstown.
Walau mungil, namun kota berpopulasi sekitar 14.000 jiwa ini selalu dibanjiri turis, yang tercatat setidaknya 50.000 orang per tahun. Tak heran, walau matahari telah menghilang, toko-toko dan kantor-kantor yang menawarkan berbagai kegiatan dan tur masih buka hingga larut malam. Hal ini sangat berbeda dengan Australia, yang menghentikan kegiatan niaganya pukul 17:00 atau 18:00, agar warganya dapat menikmati kehidupan yang seimbang.
“Kita hanya punya waktu untuk check-in, menaruh barang di kamar, kemudian makan malam sebelum ke ice bar,” ujar saya, kaget sendiri setelah melirik penunjuk waktu pada ponsel. Setelah sehari semalam terbang dari Jakarta, saya merasa butuh asupan kalori sebelum dapat mengonsumsi alkohol.
“Seharusnya kita pilih yang jam 21:00 untuk ke ice bar supaya tidak terburu-buru. Atau besok siang, yang tiket masuknya juga lebih murah!” tanggap teman saya. Ia agak cemas melihat keadaan saya yang kelelahan.
“Jam 20:00 justru bagus, kok, karena nanti malam mau tidur cepat. Tadi seharusnya kita tidak berlama-lama di tempat pengambilan mobil sewaan.”
Menyewa mobil yang diambil di bandara Queenstown, tadinya kami pikir akan memudahkan berkeliling kota, namun ternyata justru merepotkan. Kami lupa bahwa tak semua tempat memiliki tempat parkir, terutama di tengah kota, selain tak bisa sembarangan memarkir mobil. Akhirnya, mobil kami tinggal di hotel – untung menginap di pusat kota! – dan memutuskan berjalan kaki untuk mencari tempat makan di dekat Minus Five Ice Bar di tepi Danau Wakatipu.
Melewati gerai cepat saji internasional, kami tak tertarik masuk. “Kurang istimewa untuk sebuah malam perayaan ulang tahun,” begitu kata teman saya, sambil matanya ke arah antrean Ferg Burger di seberang jalan. Bila ke Paris harus selfie dengan latar Menara Eiffel, Ferg Burger telah membuat turis yang berkunjung ke Queenstown harus selfie dengan gourmet burger buatan mereka.
“Kalau mau makan di Fergburger, nanti saja sepulang dari ice bar. Antrean juga mungkin sudah lebih berkurang,” usul saya. Ketika itu pukul 19:00 lebih sedikit dan antrean Fergburger cukup panjang, sehingga kalau kami mengantre, mungkin kami akan terlambat untuk masuk Ice Bar yang tiketnya sudah dipesan. Tak seperti bar-bar lain yang pengunjung bebas keluar masuk kapan pun, ice bar memberlakukan sistem sesi, di mana pengunjung baru dapat masuk di setiap jam dengan waktu yang dapat dipilih ketika melakukan reservasi. Karena kapasitas terbatas, disarankan melakukan reservasi jam yang diinginkan sebelum hari kedatangan.
Setelah berjalan keluar masuk gang di sekitar Danau Wakatipu, akhirnya kami menemukan gerai taco di salah satu gang yang didominasi bar semi terbuka. Kami memilih makan di situ karena masih sepi, selain mengingat kami hanya punya 30 menit untuk memesan dan menghabiskan makanan, maka gerai taco tersebut merupakan pilihan ideal. Lagipula, walau merupakan restoran cepat saji, namun taco dibuat sesaat setelah dipesan, sehingga masih hangat ketika terhidang.
Sambil menunggu pesanan, kami berbincang dengan kasir gerai taco. Awalnya ingin menanyakan letak Ice Bar Minus Bar yang akan kami tuju setelah makan, berhubung GPS di ponsel kami sedari tadi agak kacau. Namun kemudian ia menerangkan bahwa di Queenstown ternyata ada dua ice bar yang letaknya berdekatan, yaitu Below Zero (belowzeroicebar.co.nz) dan Minus Five (minusfiveicebar.com), di mana kapasitas Below Zero lebih besar, yaitu dapat menampung maksimal 50 orang, sehingga mungkin lebih terkenal daripada Minus Five. Tak heran, sebelumnya kami sempat menanyakan letak Minus Five ke beberapa orang di jalan, yang ditunjuk adalah letak ke Below Zero.
* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Oktober – Desember 2017.
Teks: A. Monica