
Terbius Bruges
Bruges (baca: bruzh) yang dinobatkan UNESCO sebagai situs warisan dunia sejak tahun 2000 ini dialiri kanal-kanal cantik dengan jalanan batu yang kuno. Kotanya pun relatif sepi dan minim kendaraan bermotor, tak seperti Brussels ataupun Antwerpen. Di tengah suhu Bruges yang mendekati tiga derajat Celcius, saya menghangatkan diri dengan segelas Kriek Boon, bir khas Belgia dengan rasa asam buah ceri merah. Belgia yang terhimpit di antara Perancis dan Belanda ini mengadapsi kultur kedua negara tersebut, mulai dari bahasa hingga kuliner. Di seantero kota cukup banyak restoran Flesmish – sebutan untuk suku Belgia-Belanda – dengan hidangan kebanggaan berupa moules-frites dan Flemish beef stew yang juga memakai bir sebagai bahan bakunya. Salah satu tempat favorit saya adalah De Gouden Kroes (www.degoudenkroes.be) di Hoogstraat dan terletak tak jauh dari market place. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk makan di sini sambil menikmati semangkuk moules-frites dan sebotol Hoegaarden Rose, bir terkenal dari Belgia yang terbuat dari raspberry segar. Cokelat juga merupakan salah satu komoditi kebanggaan Bruges. Hal ini terbukti dari kehadiran deretan gerai yang menjual cokelat di sepanjang jalan. Beragam chocolate truffle dengan tambahan liquor hingga cokelat-cokelat berbentuk tidak senonoh bisa ditemukan di sini. Cokelat di Bruges kebanyakan dihasilkan oleh industri rumahan dengan menggunakan 100 persen cokelat Belgia yang memiliki ciri kepekatan kuat dengan rasa yang tidak terlalu manis. Cokelat Belgia pun ramai digunakan untuk industri cake dan pastry di Indonesia.
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi September-Oktober 2013.
Teks & foto ADITHYA PRATAMA