Lima Hari di Pulau Seribu Bagan
Gelap masih membungkus kota Pontianak. Udara begitu dingin hingga menusuk tulang. Sementara peralatan yang saya bawa begitu menguras tenaga. Untuk eksplorasi pun tak banyak referensi yang berhasil saya kantongi. Hanya sedikit deskripsi dari Zul Ms, seorang pelukis, sahabat yang ikut dalam perjalanan kali ini. Namun toh hal ini tak menyurutkan langkah dan keinginan untuk segera meluncur ke Pulau Kabung dengan rute Pontianak-Singkawang.
Setelah hampir tiga jam perjalanan, saya tiba di pelabuhan kecil Taman Rekreasi Samudra Indah, Kabupaten Bengkayang. Setelah menunggu dua jam, kapal motor yang merupakan alat transportasi tradisional untuk masyarakat setempat bersandar di dermaga.
Kali ini perjalanan saya lanjutkan kembali dengan membelah laut. Sedikit mengkhawatirkan melintasi Laut Cina Selatan saat itu karena bertepatan dengan musim angin barat, indikator terjadinya badai tropis. Ombak yang bergulung cukup besar menyebabkan kapal motor yang saya tumpangi beberapa kali oleng.
Saat mata menangkap pulau yang berdiri kokoh di kejauhan, rasa cemas seketika menghilang. Satu jam menyaksikan pentas seni alam di atas laut dengan tampilan tarian alun dan gelombang, kapal motor akhirnya merapat di dermaga kecil di Pulau Kabung, Dusun Tanjung Gundul, Desa Karimunting, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Kesan pertama berada di pulau ini adalah suasana yang damai dan tenang. Pulau yang memiliki luas sekitar 1.015 hektar dengan jumlah penduduk kurang lebih 400 jiwa ini begitu eksotik. Barisan bagan di atas laut yang jumlahnya cukup banyak melengkapi indahnya pantai. Dari barisan bagan inilah nama pulau ini berasal.
Begitu pula gugusan tujuh pulau yaitu pulau Lumukutan, pulau Randayan, pulau Penata Besar dan Penata Kecil, pulau Seluas, pulau Tempurung dan pulau Semesak begitu menarik perhatian.
Eksotisme Pulau Kabung
Lanskap bawah laut yang menampilkan beraneka macam biota laut merupakan salah satu alasan mengapa saya mengunjungi pulau ini. Menggunakan peralatan untuk snorkeling sembari membawa kamera bawah air, saya mengapung di atas air sembari melihat isi laut yang begitu indah. Clownfish atau yang lebih populer dengan sebutan Nemo (tokoh utama dalam film Finding Nemo) menyapa saya.
Bebatuan dan koral juga tak luput dari pandangan. Ada dua jenis koral yang terdapat di bawah laut Pulau Kabung, yaitu soft coral dan hard coral. Selain itu, aktivitas penyu yang berenang ke sana-kemari pun dapat Anda jumpai. Sayangnya saat itu bukan musim bertelur sehingga saya tak bisa melihat langsung aktivitas hewan laut yang hampir punah ini bertelur di daratan.
Pada bagian barat pulau ini terdapat pantai dengan tumpukan batu-batu besar. Salah satu batu tersebut ada yang berbentuk altar. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari penduduk pulau, batu tersebut merupakan area favorit para wisatawan asing untuk berkontemplasi dengan alam sembari menikmati seafood bakar karena suasananya sangat sepi dan tenang. Bahkan perkampungan penduduk pun tak ada. Sebagian besar wilayahnya hanya ditumbuhi pepohonan kelapa.
Perjalanan kemudian saya lanjutkan ke perkampungan nelayan, atau tepatnya ke arah timur pulau. Ada hal menarik yang saya temukan di kampung yang belum terpasang listrik ini, yaitu senyum tulus dan penduduknya sangat familiar. Jangan heran setiap bertemu siapapun mereka akan selalu menyapa, bahkan tak sedikit menawarkan untuk tinggal di rumah mereka sebagai wujud penghormatan mereka kepada tamu.
Selain itu, bentuk rumah penduduk itu sendiri sangat tradisional. Sekilas, kontruksi bagian bawah rumah-rumah itu mirip dengan rumah tradisional suku Melayu dan rumah Betang yang merupakan rumah tradisonal suku Dayak. Rumah tersebut merupakan rumah tradisional suku Bugis dari Sulawesi, kelompok suku yang banyak melahirkan pelaut hebat.
Sebagian besar penduduk kampung nelayan ini adalah suku Bugis. Mereka datang ke pulau Kabung setelah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Kahar Muzzakar di Sulawesi sekitar tahun 1950 sampai 1965 silam. Untuk mencari ketenangan dan hidup damai, mereka berbondong-bondong mencari pulau-pulau yang bertebaran di perairan Indonesia.
Namun jika ditarik lebih ke belakang lagi, penduduk pulau ini berasal dari suku Melayu Sambas dan juga dari etnis China. Meskipun tak ditemukan literatur yang menjelaskan asal-usul mereka secara jelas, tapi itulah cerita yang berkembang di tengah masyarakatnya.
Setelah puas berkeliling seharian, saya pun memutuskan menghabiskan malam di pondok tepi pantai yang memang disewakan bagi para pengunjung maupun backpacker. Malam harinya, saya mengisi perut dengan hidangan laut sambil menikmati indahnya pemandangan laut yang diterangi oleh cahaya lampu dari bagan milik nelayan.
Atraksi Menangkap Ikan
Selain eksotisme lanskap pantai, pesona bawah laut, dan keramahan kampung nelayan, Pulau Kabung juga kaya akan hasil laut. Berbagai jenis ikan tropis dapat Anda jumpai di sini, seperti ikan gembung dan kerapu. Namun komoditi laut yang paling populer adalah ikan teri atau bilis dan sotong atau ikan nus. Penduduk lokal mengolah dua jenis ikan itu menjadi ikan asin.
Karena itu, keesokan sorenya saya memutuskan bersampan menuju bagan untuk melihat proses penangkapan ikan. Pertama-tama, nelayan mengambil sungkur atau jaring berbentuk persegi panjang yang kemudian mereka turunkan kira-kira delapan meter ke dalam laut menggunakan alat putar yang terbuat dari batang kayu. Mereka juga menurunkan lampu sekitar tiga meter di atas permukaan air laut. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian ikan-ikan terhadap cahaya untuk berkumpul di bawah bagan. Proses ini membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua jam.
Saat ikan sudah mulai berkerumun di bawah lampu, lampu dan sungkur pun diangkat. Lalu, menggunakan serok, mereka meraup ikan-ikan tersebut dan memasukkannya ke dalam ragak atau keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah jumlahnya cukup banyak – biasanya untuk menghasilkan ikan teri dan sotong dalam jumlah besar diperlukan waktu hingga tengah malam atau bahkan pagi hari – ikan-ikan mereka masukkan ke dalam keranjang yang lebih besar, lalu mereka bawa ke perkampungan untuk diolah menjadi ikan asin.
Atraksi Petik Cengkeh Tradisional
Selain hasil laut, Pulau Kabung juga memiliki komoditi andalan di bidang perkebunan, yaitu cengkeh. Tanaman yang memiliki nama latin Syzygium aromaticum dan merupakan tanaman asli Indonesia ini mendominasi setiap penjuru pulau hingga ke atas bukit.
Ada dua jenis cengkeh yang tumbuh di daerah ini, yaitu cengkeh Zanzibar dan cengkeh lokal yang juga disebut cengkeh hutan oleh masyarakat setempat. Namun cengkeh Zanzibar lebih diunggulkan dibanding cengkeh lokal. Selain ukuran buahnya besar, rumpun bunganya subur dan hasil buahnya juga lebih banyak.
Karena penasaran, pada hari keempat saya bersama seorang petani mengikuti langsung proses pemetikan buah cengkeh secara tradisional. Jalan becek akibat hujan pada malam sebelumnya serta bukit terjal menjadi warna dalam perjalanan ke perkebunan cengkeh yang terletak di puncak.
Di atas pohon, kami mulai memetik satu-persatu buah cengkeh dari tangkainya. Saat memanjat, Anda perlu berhati-hati karena dahan pohon cengkeh terkenal sangat rapuh. Buah cengkeh yang sudah dipetik, dimasukan ke dalam penyedok, alat tradisional untuk mengangkut hasil panen seperti buah-buahan dari kebun, yang terbuat dari sungkur. Setelah penyedok penuh, buah cengkeh dibawa ke perkampungan untuk proses selanjutnya.
Atraksi Pembangunan Bagan
Setelah mengikuti proses pemetikan buah cengkeh, saya menemukan aktivitas penduduk yang jarang sekali dilakukan, yaitu proses pembangunan bagan. Bagan sendiri merupakan bangunan berupa tiang-tiang, tempat nelayan mencari ikan.
Sebelum memulai aktivitas tersebut, para lelaki terlebih dahulu berkumpul di rumah salah seorang penduduk yang akan membangun bagan, berdiskusi kemudian beramai-ramai menyiapkan kayu-kayu yang nantinya akan digunakan sebagai tiang. Setelah proses pemilihan kayu selesai, selanjutnya menentukan titik koordinat di mana bagan akan dibangun.
Tiang pun didirikan di atas karang dengan tinggi lebih dari 18 meter. Pada proses ini terlihat hampir seluruh warga berpartisipasi membantu. Dengan teriakan panjang, mereka menancapkan satu-persatu tiang itu ke dasar laut. Setelah kontruksi bagan selesai, mereka mengikat tiang-tiang itu dengan tali. Sebagai ucapan terima kasih, pemilik bagan mengundang seluruh warga tersebut untuk makan bersama di rumahnya.
Berbagai aktivitas yang saya lakukan di Pulau Kabung ini membuat saya merasa tak rugi harus melakukan perjalanan yang jauh untuk mencapainya. Lima hari pun rasanya tak cukup, dan saya pun berniat kembali ke pulau cantik nan eksotis ini suatu hari nanti.
TEKS & FOTO: JEMY HARYANTO