TOP

KEJUTAN DI DESA TAI O

Times Square, Causeway Bay, Disneyland, Madame Tussauds, Ocean Park, symphony of Lights, Peak Tram, Ngong Ping 360, Big Buddha, serta Victoria Harbour mungkin sudah sering Anda dengar dalam kisah perjalanan di Hong Kong. Tapi bagaimana dengan Desa Tai O yang ternyata tidak jauh dari Big Buddha di Lantau Island?

Perjalanan saya ke Desa Tai O awalnya bertujuan untuk melihat kehidupan suatu desa nelayan yang katanya memiliki budaya cukup unik dan kabarnya dihuni oleh orang-orang Tanka. Saya juga membaca artikel yang menyebutkan bahwa di Hong Kong terdapat tur untuk menyaksikan lumba-lumba berwarna pink di habitat aslinya, yaitu di Desa Tai O. Populasi hewan ini kini tergolong langka dan hampir punah. Bahkan ada tur bergaransi yang jika kita gagal melihat lumba-lumba dalam perjalanan tur tersebut, maka kita boleh ikut tur kloter berikutnya dengan gratis sampai kita berjumpa dengan si lumba-lumba pink.

Saya memulai perjalanan dengan rute ke Ngong Ping naik cable car dari Tung Chun, kemudian naik bus ke Tai O selama 15 menit. Saya ditemani Rita, teman saya yang orang Hong Kong asli. Awalnya saya tak berencana untuk berburu lumba-lumba berwarna pink ini, namun Rita menawarkan saya untuk ikut tur seharga HKD 20 (Rp 30.000) untuk 10 menit perjalanan. Dengan waktu sesingkat itu dan warna laut yang cenderung keruh, saya pun akhirnya mengiyakan tanpa berharap apa-apa.

MEET THE PINK!
In a picture taken on August 19, 2011, aSaya menaiki perahu motor dengan kapasitas 20 penumpang. Kapal berjalan dan menyusuri tepi-tepi pulau dengan pemandangan rumah apung berlatar belakang bukit hijau cantik dan para nelayan serta kapal-kapal mereka, kemudian berputar ke tengah laut. Laut di sini sangat jauh dari kesan biru dan bening.

Setelah 5 menit perjalanan dan sampai ke tengah laut, tiba-tiba beberapa penumpang di dalam kapal berteriak seperti terkejut sambil menunjuk ke satu arah. Wow, ternyata lumba-lumba itu muncul! Tentu saja saya terkejut. Suatu hal yang sebelumnya tidak saya sangka. Sebuah pertunjukan kawanan lumba-lumba yang melompat riang di tengah laut yang tidak terlihat bersih, dan beberapa dari mereka benar-benar berwarna PINK.

Pink Dolphin yang awalnya saya kira hanya mitos, ternyata salah besar! Mereka menampakkan dirinya sebanyak kurang lebih 3 kali, dan kira-kira terdapat 3-4 ekor lumba-lumba dengan warna yang berbeda-beda. Ada yang pink, abu-abu, dan setengah pink setengah abu-abu.

Dan ternyata, penduduk lokal menceritakan bahwa perbedaan warna tersebut ada alasannya. Warna pink dimiliki oleh lumba-lumba yang telah dewasa, sementara abu-abu adalah warna mereka ketika lahir atau ketika masih kecil. Setengah pink setengah abu-abu? Mungkin lumba-lumba ABG!

MENCARI KULINER UNIK
OLYMPUS DIGITAL CAMERASayangnya saya hanya punya waktu 10 menit. Setelah itu saya harus kembali ke dermaga untuk melanjutkan perjalanan menjelajah Desa Tai O. Beberapa puluh meter menjauhi dermaga, terlihat beberapa pedagang ikan dan hasil tangkapan laut lainnya. Awalnya saya ingin menyantap kuliner seafood, namun karena harganya mahal, maka saya mencari kuliner apa pun yang terjangkau.

Beberapa kali mata dan langkah saya dan Rita terhenti sejenak memandangi menu yang dipajang di muka restoran-restoran, sampai akhirnya kami menentukan pilihan. Sebuah restoran kecil sederhana dengan nama yang tertulis menggunakan huruf Canton yang tak saya mengerti. Kami memesan cart noodle, chinese soybean-curd, shrimp sauce squid, dan steamed rice roll. Hidangan-hidangan ini cukup lezat dan bergaya khas lautan Tiongkok. Yang menurut saya paling unik adalah chinese soybean-curd. Menu ini bisa disajikan dalam versi dingin atau panas, dan ini adalah sejenis desert berbahan dasar kedelai yang berada di pertengahan antara bubur dan agar-agar. Harganya sekitar 10-16 dolar Hong Kong dan terdapat beberapa variasi rasa.

Selepas makan siang, kami melanjutkan petualangan di desa Tai O. Pemandangan selanjutnya adalah beberapa pedagang minuman herbal di pinggiran jalan, seperti purple passion tea, luo han guo tea, dan beberapa jenis teh atau minuman herbal lainnya yang tidak pernah saya jumpai di tempat lain.

Kami juga menjumpai warung-warung kecil alias toko kelontong yang menjual beraneka macam bumbu instan. Dan sepertinya saya familiar dengan kemasan bumbu-bumbu tersebut. Ternyata benar! Produk-produk Indonesia dijual di sana! Saya melihat berbagai produk bumbu dan mi instan yang sangat populer di Indonesia. Rita pun ternyata juga kenal betul dengan produk-produk tersebut.

KWAN TAI TEMPLE
OLYMPUS DIGITAL CAMERADesa Tai O ternyata tak sekedar desa nelayan. Setelah berjalan agak memutar dalam udara summer yang panas dan matahari yang terik, kami menemukan Kwan Tai temple. Kelenteng kecil ini ternyata sudah dibangun sejak tahun 1488 dan merupakan kelenteng tertua di Lantau island. Letaknya di Tai O Market Street dan tidak susah untuk menemukannya.

Kwan Tai sendiri adalah nama Dewa Perang dan Keadilan dalam budaya Cina, serta pengatur cuaca yang dipercaya sangat membantu pekerjaan nelayan dan petani. Itu sebabnya Kwan Tai bisa dibilang merupakan Dewa yang paling dihormati di Desa Tai O yang merupakan fishing village.

Meskipun kecil, Kwan Tai Temple dihiasi oleh ornamen yang menarik. Memasuki kelenteng, aroma dupa tercium. Dan dalam kunjungan kami di siang hari tersebut Kwan Tai Temple tampak sepi, tak ada orang yang bersembahyang di dalamnya. Masih ada beberapa kelenteng lain di Tai O seperti Hung Shing dan Hau Wong Temple yang tentunya menyimpan cerita yang berbeda. Sayang kami tidak sempat menjelajahinya.

DESA TAI O, PENUH KENANGAN
Yang paling mengesankan bagi saya dalam petualangan ke desa ini adalah perjumpaan dengan si lumba-lumba imut berwarna pink. Saya merasa beruntung bisa ke Tai O di waktu yang tepat dan berhasil menangkap pemandangan langka ini secara langsung. Ini hunting lumba-lumba saya yang pertama. Di Indonesia pun saya belum pernah ikut tur mencari lumba-lumba di laut lepas.

Jika ditanya apakah saya ingin ikut tur lagi untuk berjumpa dengan si lumba-lumba pink? Saya akan jawab “Ya” meskipun saya tidak tahu apakah kapal tur lain yang berlayar setelah saya juga berjumpa dengan si lumba-lumba.

 

Teks & Foto: Ethenia Novianty Windaningrum