TOP

Menyapa Sapa

DSC_0898Sudah kali ketiga saya mengunjungi Vietnam namun tidak pernah ada rasa bosan untuk datang kembali. Seolah memiliki daya magis yang kuat sehingga membuat saya selalu ingin datang dan datang lagi. Satu persatu kota yang ada di Negara pimpinan Paman Ho Chi Minh ini saya kunjungi. Mulai dari Hanoi, Halong Bay, Da Nang, Hue dan beberapa wilayah yang menyimpan keindahan khas Vietnam lainnya.

Ada satu daerah yang sudah lama ingin saya kunjungi di Vietnam bagian utara adalah Sapa (Sa Pa). di penghujung tahun 2013 lalu, akhirnya saya bisa mengunjungi kota ini.

Cuaca Hanoi yang berkabut dan diiringi hujan rintik-rintik membuat udara semakin sejuk. Saya melapis badan dengan sweater dan jaket tebal karena dinginnya cukup menusuk ke tulang. Sebelum memulai aktivitas eksplor Hanoi, saya sempat bertanya-tanya pada pihak Hotel bagaimana caranya menuju Sapa. Dengan menggunakan jasa tur lokal, saya harus membayar ongkos VND 3.000.000 atau setara Rp 1.500.000 untuk bisa menikmati Sapa.

Bermalam di kereta
Pukul 20:00 waktu setempat saya dijemput tour guide. Di dalam mobil sudah dipenuhi oleh turis asing dari berbagai negara yang tujuannya sama dengan saya. Setelah rombongan tur komplit, kami diantar ke Stasiun kereta Ga Ha Noi.

Tiba di Ga Ha Noi saya dan rombongan menunggu di ruang tunggu sampai kereta Sapaly Express Train yang akan kami tumpangi tiba. Setelah hampir 30 menit menunggu, kami pun diantar ke gerbong kereta yang masing-masing ruangan diisi empat orang penumpang. Di dalam terdapat dua tempat tidur bertingkat (dua di atas, dua di bawah). Ukuran tempat tidurnya juga seukuran badan saja. Jadi saat tidur tidak boleh terlalu banyak bergerak. Bisa-bisa terjatuh dari tempat tidur.

Dari Hanoi butuh waktu sembilan jam perjalanan untuk sampai di stasiun kereta Lao Chai, stasiun terdekat menuju Sapa. Lao Chai juga merupakan wilayah terdekat dari perbatasan antara Vietnam dan Cina.

Selamat datang di Sapa
DSC_0962Pukul 06.00 saya tiba di Lao Chai dengan disambut cuaca yang tidak bersahabat. Dari sini, saya dijemput pemandu lokal untuk kemudian diantar menuju Sapa. Butuh waktu satu jam untuk mencapainya. Saya terpesona melihat pemandangan kota Sapa di Vietnam bagian Utara yang sangat indah. Sawah hijau terhampar di lembah dan bukit yang berwana hijau. Sosok Gunung Fansipan yang merupakan gunung tertinggi di Indochina juga terlihat jelas berdiri kokoh. Sebagian wujudnya diselimuti kabut putih membuat kota yang bertengger 1.600 meter di atas permukaan laut ini ibarat sebuah lukisan abadi.

Saya mencoba untuk berkeliling sebentar di kota Sapa. Segerombolan perempuan dengan senyum ramah langsung menyerbu saya. Kostum yang mereka pakai tampak seragam berwarna hitam, aksesoris anting bertengger di telinga berukuran besar, gelang di tangan juga berukuran besar, cincin serta syal yang dililitkan dileher atau dijadikan tutup kepala bermotif kotak-kotak. Tidak ketinggalan rambut mereka dijepit dengan jepitan rambut buatan sendiri.

Peremuan-perempuan berkostum hitam dengan aksesoris warna-warni semakin banyak terlihat di pinggir jalan. Dari kostum yang mereka pakai menadakan mereka berasal dari suku minoritas Black Hmong. Mereka berdiri bergerombol. Ada yang menggendong bayi, ada juga yang menggendong bakul kosong. Di leher mereka tergantung beberapa hasil karya mereka seperti dompet kecil, tas rajutan dan aneka hand made buatan mereka sendiri.

Ketika saya memotret mereka dari jarak dekat, sambil tersenyum mereka melontarkan kalimat, ”One dollar… One dollar…” Jadi, setiap ada turis yang hendak memotret, mereka selalu minta satu Dollar. Meski tidak memaksa harus dikasih, namun kalimat One dollar selalu keluar dari mulut mereka.

Desa Lao Chai
Jalan utama pusat kota Sapa tidak terlalu lebar. Cukup dilalui hanya satu mobil saja. Jika ada mobil berpapasan, maka satu mobil harus berhenti untuk memberikan mobil yang satu jalan duluan. Pagi ini saya akan memulai trekking mengitari Desa Lao Chai hingga ke desa Ta Van.

Mobil yang saya tumpangi berhenti persis diatas bukit yang dibawahnya lembah dengan pemandangan yang sangat indah. Kami pun memulai trekking melalui jalan yang berkelok-kelok. Kami terus berjalan menuruni lembah, menaiki bukit, menyeberangi sungai dan melintasi jembatan. Ada sekitar 15 kilometer jarak yang kami tempuh hingga tiba di Desa Ta Van.

Selesai makan siang di Desa Ta Van, saya kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini melihat home industry kecil-kecilan proses pembuatan kain khas suku Black Hmon. Kain tentus, tas, dompet dan kerajinan tangan lainnya terpampang di rumah berukuran kecil yang dijadikan home industry itu. Beberapa di antara orang yang ikut trekking membeli hasil kerajinan tangan tersebut.

Di desa Ta Van juga kami mengunjungi sekolah khusus untuk anak-anak. Terlihat mereka bersekolah tanpa mengenakan seragam. Hanya memakai pakaian sehari-hari. Bahkan beberapa dari anak-anak tersebut ada yang tidak mengenakan alas kaki alias nyeker ke sekolah.

Usai mengunjungi sekolah anak-anak, kami melanjutkan trekking dan masuk ke sebuah home industry lainnya. Kali ini kami melihat proses pembuatan miniatur patung-patung kecil khas Vietnam dengan topi petaninya terbuat dari bahan batu porselin atau batu granit. Semua terlihat begitu indah meski dibuat dengan alat yang sangat sederhana. Trekking ini berakhir pada pukul 16.00 dan saya kembali ke hotel.

Desa Cat Cat
Hari kedua di Sapa, saya masih melakukan aktivitas trekking. Kali ini dengan rute yang berbeda yaitu ke Cat Cat Village. Dari hotel kami langsung berjalan kaki ke arah barat melintasi jalan utama kota Sapa, kemudian masuk ke jalan kecil kemudian mulai menemukan trekking yang berkelok-kelok.

Sebelum masuk ke kawasan Cat Cat Villa kita harus membayar kontribusi sebesar VND 40.000 atau sekitar Rp 20.000 per orang. Untuk anak-anak dikenakan biaya sebesar VND 15.000 atau sekitar Rp 7.500 per orang. Setelah urusan kontribusi selesai, kami melanjutkan trekking memasuki jalan-jalan setapak melintasi rumah-rumah penduduk yang terkesan tua dan kumuh.

Tidak banyak aktivitas di desa tersebut selain berjualan hasil kerajinan tangan seperti tas,dompet, syal, baju, kalung, gelang yang terbuat dari perak dan souvenir-souvenir khas daerah setempat. Saya sempat membeli beberapa dompet wanita untuk oleh-oleh. Karena di Cat Cat Village harga tas dan dompet jauh lebih murah jika dibandingkan dengan jika dibeli dipusat kota atau di desa sebelumnya.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Tien Sa Waterfall. Jalan menuju air terjun tersebut juga cukup terjal dan licin. Tapi, kegelisahan segera sirna setelah melihat air terjun yang tergolong tidak terlalu megah. Hanya saja, curahan air terjun ke landasan membuat rasa letih hilang seketika. Sambil menatap air terjun kami juga menikmati cemilan yang dipanggang seperti ikan panggang, ayam, sosis dan jamur panggang. Juga ada ubi bakar. Cukup nikmat untuk mengganjal perut yang sudah mulai lapar.

Mengintip Sapa
DSC_0910Setelah selesai trekking, saya menyempatkan diri mengelilingi Sapa. Suasana kota Sapa sebenarnya lebih mirip pedesaan namun dengan konsep yang lebih besar. Karena meski masih terasa alami, namun sudah banyak fasilitas komersial yang dibangun disekitarnya. Tapi tidak menghilangkan unsur bangunan lama yang menjadi trademark kota tersebut. Di alun-alun kota banyak pedagang menjajakan dagangannya seperti syal, tas, dompet, selimut, gelang dan aksesoris lainnya. Semua hasil karya suku setempat. Harganya juga masih bisa ditawar.

Sapa memang kota kecil. Bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan Hanoi dan Saigon City. Di Sapa hanya memiliki satu alun-alun, satu danau dan satu pasar. Yang jelas Sapa benar-benar masih menjunjung tinggi adat istiadat dan budayanya.

TEKS & FOTO OLEH: VERY BARUS