Terpana Kerala
Kerala adalah deretan pohon kelapa yang tak usai dan koak-koak burung gagak yang tak jeri. Daratan menghijau, air berlimpah, serta sumber pangan yang kaya, punah sudah gambaran akan India yang kacau, kumuh, dan berdebu.
Teks oleh Taufan Gio
Sesampainya di Bandara Internasional Trivandrum, Thiruvananthapuram, saya tak menyangka Kerala memiliki perbedaan mendasar dengan apa pun yang telah ada di benak saya tentang India. Sama seperti Indonesia, masyarakat India pun jamak dengan bahasa yang berbeda-beda di setiap negara bagian. Saat disapa “namaskaaram” yang merupakan varian kata “namaste” dalam bahasa Malayalam, saya tersadar bahwa 33 juta penduduk Kerala berbahasa Malayalam, bahasa yang terdengar seperti gumaman namun dengan tempo yang lebih cepat dan menyentak.
“Selamat datang di Kerala, God’s Own Country!” begitu sapa pemandu saya.
Saking indahnya, masyarakat Kerala membaptis rumah mereka sebagai God’s Own Country. Terletak di India Selatan, Kerala bagai menyendiri karena terkunci deretan pegunungan Western Ghats dan Laut Arabia. Menurut legenda setempat, konon Kerala terbentuk akibat lemparan kapak ke laut oleh Parasurama (inkarnasi Wishnu keenam), sehingga bukan kebetulan jika para ilmuwan pun meyakini sebagian daratan Kerala dulunya merupakan samudera.
Komunis Tak Bengis
Untuk ukuran sebuah ibukota, Thiruvananthapuram terlihat bersahaja. Banyak bangunan megah peninggalan zaman kolonial yang masih terawat. Seperti kota-kota lain di India, para wanitanya pun belum meninggalkan tradisi mengenakan sari dan bahkan para lelakinya masih berkain lungi (sebutan sarung oleh masyarakat India). Hidup di negara yang berhasil mencuci otak warganya akan bahaya paham komunis, saya cukup terkejut mendapati simbol palu-arit di seantero kota.
Partai komunis memang punya pengaruh kuat di sini, namun setelah mengetahui bahwa Kerala memiliki tingkat harapan hidup rata-rata 74 tahun dan kemampuan baca tulis tertinggi – nyaris 100 persen – serta tingkat kriminalitas dan korupsi terendah di seluruh India, saya tersadar bahwa komunis tidak semengerikan yang didengung-dengungkan rezim Orde Baru. Gambaran penganut paham komunis yang bengis dan kejam pun menguap seketika begitu berinteraksi dengan penduduk Kerala yang ramah dan murah senyum. Bercakap-cakap dengan mereka, saya langsung dapat merasakan betapa hidup di Kerala santai dan menyenangkan. Mungkin memang benar kalau tempat ini merupakan God’s Own Country!
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi November/Desember 2014.