Kekunoan Solo
Solo mulai sering dilirik sebagai destinasi berlibur. Walau tak menawarkan pantai-pantai perawan layaknya daerah-daerah lain yang dinobatkan sebagai primadona pariwisata Indonesia, namun menjejakkan kaki di kota ini akan meninggalkan kenangan yang tak kalah membekas di hati.
Sama seperti Lombok yang masih selalu di bawah bayang-bayang Bali, Solo pun masih terus dibayang-bayangi oleh kepopuleran Jogjakarta yang telah lebih dulu dikenal sebagai ikon destinasi wisata di Pulau Jawa. Banyak pesona Solo yang tidak ditemui di Jogjakarta. Mulai dari air terjun, candi yang penuh ornamen erotis dan mirip piramida suku Maya di Amerika Tengah, hingga candi peninggalan Hindu yang berada di ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut yang indah dikelilingi kebun teh. Serunya lagi, semuanya itu dapat ditempuh hanya dalam waktu 1,5 jam dari pusat kota. Solo memang kaya akan peninggalan sejarah dan purbakala. Bila berkunjung ke kota ini, jangan lewatkan untuk mampir ke kedua candi yang sisa-sisa pesonanya masih dapat dikagumi di lereng Gunung Lawu.
Candi Cetho
Di antara heningnya hamparan kebun teh di lereng Gunung Lawu dan tentramnya kehidupan pedesaan, terdapat Candi Cetho yang keberadaannya pertama kali dilaporkan oleh Van de Vlis pada tahun 1842. Pada tahun 1928, Dinas Purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavasi untuk mencari bahan-bahan rekonstruksi yang lebih lengkap. Dalam bahasa Jawa, “cetho” berarti jelas atau jernih. Berada pada ketinggian 1400 meter di lereng Gunung Lawu, Candi Cetho hanya bisa dicapai melalui jalan aspal sempit yang curam dan berkelok-kelok. Disarankan untuk menyewa mobil dari Solo untuk menuju ke candi ini agar memudahkan perjalanan melewati jalan pegunungan.
Setelah membeli tiket masuk seharga Rp 3.000 untuk wisatawan domestik (sangat menyedihkan bahwa peninggalan sejarah ratusan tahun dihargai sedemikian murah, padahal biaya untuk maintenance pastinya tidak murah!), di depan mata terbentang sebuah gapura yang menjulang anggun di ujung tangga pintu masuk. Bentuknya langsung mengingatkan akan tipikal pura yang ada di Bali. Begitu pun sepasang patung penjaga teronggok di mulut tangga. Kawasan candi ini membentang pada sebuah lahan berundak dan dibangun pada masa akhir kekuasaan Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Brawijaya V. Di salah satu terasnya terdapat susunan batu dengan pahatan berbentuk matahari yang menggambarkan Surya Majapahit yang merupakan lambang Kerajaan Majapahit.
Candi ini pertama kali ditemukan sebagai reruntuhan batu dengan 14 teras berundak yang tersusun dari barat ke timur dengan pola susunan makin ke belakang dan makin tinggi merupakan bagian yang dianggap paling suci. Namun sekarang hanya tersisa 13 teras, dengan 9 di antaranya telah dipugar. Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sebuah pintu dan jalan setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian. Sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa, candi ini dihiasi dengan arca lingga yang menjadi simbol Dewa Pemusnah itu. Di kompleks candi ini juga terdapat patung Raja Brawijaya V beserta penasehatnya, selain susunan batu yang berbentuk lingga dan yoni berukuran dua meter. Beranjak terus ke teras paling atas, di sana terdapat bangunan utama yang berbentuk trapesium.
Di kompleks Candi Cetho banyak dijumpai arca khas jaman prasejarah dalam bentuk sederhana, yaitu patung dengan kedua tangan diletakkan di perut atau dada. Sikap semacam ini mengingatkan akan pahatan patung purba di Lembah Bada, Sulawesi Tengah. Relief yang ada di kompleks candi ini juga banyak mengambil bentuk binatang, seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam. Masa pendirian Candi Cetho dapat dihubungkan dengan keberadaan prasasti yang berangka tahun 1373 Saka atau 1451 Masehi, yang menyebutkan bahwa kompleks Candi Cetho diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-15, yaitu menjelang berakhirnya kejayaan Kerajaan Majapahit.
Sampai saat ini Candi Cetho masih digunakan sebagai tempat beribadah oleh penduduk sekitar yang mayoritas beragama Hindu maupun penganut Kejawen. Warga Bali pun kadang berkunjung ke sini untuk melakukan pemujaan dengan meletakkan sesajen di hadapan arca-arca yang ada di sana, sebelum kemudian naik ke teras tertinggi sebagai pusat pelaksaan ritual keagamaan. Harum bunga sesaji dan dupa ditambah dengan kabut yang sering turun menyelimuti area candi memberi kesan mistis.
Bentuk bangunan Candi Cetho mirip konsep punden berundak masa prasejarah. Bentuk bangunan seperti ini tidak ditemukan pada candi-candi lain di Jawa Tengah, kecuali Candi Sukuh. Sayangnya kondisi Candi Cetho sudah tidak semistis kisahnya di masa lalu.Pemugaran yang dilakukan pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik pakar arkeologi, berhubung pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa penelitian yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran antar lain pendopo kayu beratapkan sirap yang menaungi berbagai patung yang ada di kompleks candi ini. Mungkin maksudnya baik, yaitu untuk melindungi patung dari berbagai kerusakan, namun bangunan tersebut tampak tidak menyatu dengan lingkungan candi kuno.
Disarankan untuk berkunjung ke Candi Cetho sebelum tengah hari supaya kabut tidak keburu menyelimuti wilayah ini sehingga menyulitkan pencapaian menuju lokasi. Di samping kompleks candi terdapat pura yang didekasikan untuk Dewi Saraswati. Berada di atas bukit, yaitu sekitar 300 meter dari komplesk Candi Cetho, pura ini lebih mirip taman dengan bangunan utamanya berupa lapangan terbuka berlantai batu. Sebuah kolam dengan patung Dewi Saraswati berdiri anggun di atasnya. Dengan latar hamparan pohon pinus, patung Dewi Ilmu Pengetahuan ini memancarkan aura magis. Di sebelah patung terdapat sebuah jalan kecil menuju Sendang Pundi Sari yang berfungsi sebagai tempat penyucian diri sebelum melakukan ritual di candi.
Candi Sukuh
Masih di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Kabupaten Karanganyar di Desa Sukuh, terdapat Candi Sukuh yang merupakan salah satu candi paling sensasional di Asia. Terletak pada ketinggian lebih dari seribu meter di atas permukaan laut, Candi Sukuh memang tidak semegah Borobudur atau Prambanan, namun candi yang sering dijuluki candi porno ini tak kalah unik. Inilah candi yang dibangun untuk didekasikan kepada kemegahan penciptaan dan kesuburan, sehingga tak heran, beberapa relief alat vital manusia (lingga dan yoni) tampak di kompleks candi ini. Dalam mitologi Hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Siwa dengan istrinya Parwati dan hal ini melambangkan kesuburan.
Lorong gapura pertama terhalang pintu yang terkunci dengan rantai. Di dalamnya terdapat sesajen bunga dan dupa di atas lantai yang dihiasi relief lingga yang berhadapan dengan yoni dalam sebentuk lingkaran rantai. Sepintas memang nampak porno, namun tentu saja relief ini mengandung makna mendalam. Relief lingga-yoni tersebut sengaja dipahat di lantai pintu masuk agar siapa saja yang melangkahinya, kotoran yang melekat pada tubuh akan luntur sehingga seseorang akan kembali suci ketika memasuki candi.
Konon relief ini juga pernah digunakan untuk menguji keperawanan seseorang. Bila kemben seorang perempuan melorot ketika melangkahi relief itu, tandanya ia sudah tidak perawan lagi. Sedangkan bila kemben tetap melekat di tubuh, maka si perempuan dipercaya masih perawan. Jika dipikir-pikir, kearifan lokal ini ada benarnya. Di masa lalu, keperawanan merupakan hal yang dianggap sakral, sehingga jika seorang perempuan yang sudah tidak perawan diminta melakukan ritual keagamaan biasanya akan gelisah dan takut, sehingga kurang konsentrasi ketika mengenakan pakaian. Bisa jadi hal inilah yang menyebabkan kemben yang dikenakan melorot. Sebaliknya, perempuan yang masih perawan, karena tidak memilki rahasia yang disembunyikan, maka pembawaannya pun lebih tenang, sehingga ketika melangkahi relief itu tidak ada keraguan. Kini relief lingga-yoni itu sengaja dikelilingi pintu kayu yang tergembok agar tidak rusak terinjak-injak oleh pengunjung.
Jika kebanyakan candi dibangun dengan bentuk yang menyimbolkan Gunung Meru, tidak begitu halnya dengan Candi Sukuh yang berbentuk trapesium. Dibangun pada abad ke-15 sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit, candi ini dibangun ketika kejayaan Hindu mulai memudar. Akibatnya, pembangunan Candi Sukuh dibuat dengan konsep kembali ke budaya Megalitikum. Teori lain menyebutkan bahwa bentuk candi ini merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat di dalam kitab Adiparwa yang merupakan kitab pertama Mahabharata. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta yang bisa memberikan kehidupan abadi bagi siapa pun yang meminumnya.
Situs candi Sukuh ditemukan pada masa pemerintahan Inggris di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, seorang residen Surakarta yang ditugasi Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data penulisan buku The History of Java. Setelah masa pemerintahan Inggris berakhir, pada tahun 1842 Van der Vlis yang berwarganegara Belanda meneruskan penelitian. Baru pada tahun 1928 pemugaran dimulai. Duduk-duduk di bawah pohon yang ditiup angin pengunungan sambil menatap keagungan candi yang sering disalahartikan itu dengan mudahnya membuat siapa pun lupa waktu.
TEKS: FRANSISKA ANGGRAINI (@fransiska_angg)