Menapak Tilas “Memoir of a Geisha”
Ada perasaan yang tak terlukiskan ketika saya tiba di Fushimi Inari dengan deretan torii gate merah total berjumlah sekitar 10.000. Walau tanpa iringan musik John Williams, melainkan hanya celotehan sesama turis yang sama senangnya dapat menjejakkan kaki di tempat yang digunakan syuting film terkenal, tanpa saling mengganggu, pengunjung yang berkerumun di sepanjang torii gate tersebut pun bergantian memotret dan melakukan selfie. Beberapa turis bahkan berlari seperti Chiyo untuk diabadikan ke dalam video, yang mungkin akan diunggah ke media sosial untuk disandingkan dengan adegan tak terlupakan dalam film Memoir of a Geisha.
Dari Kuil ke Kuil
Pintu gerbang (torii gate) ke kuil Shinto yang merupakan lokasi dambaan pencinta dunia fotografi ini merupakan sumbangan dari para pengusaha setempat agar bisnis mereka selalu lancar. Semakin besar suatu torii, berarti semakin besar pula sumbangannya.
Di sepanjang rute menuju Gunung Inari, terdapat beberapa rumah makan kecil yang menyajikan kitsune udon atau udon dengan topping potongan tahu goreng, yang merupakan makanan kesukaan rubah. Selain itu terdapat juga inari sushi atau nasi yang dibungkus kulit tahu goreng. Karena kualitas air yang baik, Kyoto memang salah satu penghasil tofu terbaik di Jepang.
Sementara itu pagoda tiga lantai di Kuil Kiyomizudera juga muncul beberapa kali dalam film Memoir of a Geisha, kebanyakan sebagai penanda pergantian hari atau penanda musim. Atraksi utama kuil ini adalah shopping street yang terhampar mulai dari pintu masuk hingga ke pelataran kuil. Tak hanya menjual aneka suvenir, shopping street ini pun memuat toko kue yang krap menyajikan sample dan aneka rumah makan, sehingga berkunjung ke sini membutuhkan setengah hari sendiri.
Dari kunjungan ke Kyoto lah saya mengetahui bahwa dalam bahasa Inggris, kuil Shinto disebut sebagai shrine sedangkan kuil Buddha disebut temple. Kintaji-ku Temple adalah kuil Buddha paling unik dan fotogenik karena keberadaan paviliun emas di tengah danau. Bangunan tiga lantai ini dilapisi kertas emas sehingga pada saat hari cerah kertas tersebut akan memantulkan sinar matahari dan membuat bangunan tampak berkilau.
Menunggu Geisha
Dalam film Memoir of a Geisha, kawasan Gion muncul menjelang akhir cerita, Kawasan ini merupakan salah satu distrik geisha yang paling terkenal. Gion berlokasi tak jauh dari Yasaka Shrine, salah satu kuil populer di Jepang. Deretan rumah-rumah minum teh (ochaya) tersebar di sini dan membuat siapa pun akan terlempar ke masa edo.
Gion bukanlah sebuah red light district dan geisha bukanlah prostitusi walau semasa Perang Dunia II banyak anak perempuan dijual orang tua mereka ke rumah minum teh. Geisha adalah seorang penampil dan untuk dapat tampil menghibur tamu diperluka disiplin tinggi dan latihan bertahun-tahun mengenal seni tradisional Jepang, selain harus menjalani magang sebelum dapat tampil sebagai geisha.
Teks: Chrisdian Adinata, Pemenang “Traveller of the Year 2015”
Artikel selengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi April-Mei 2016