Mendaki Puncak yang Tak Terdaki
Walau senang berjalan kaki, namun saya bukan pendaki gunung sejati. Jalan menanjak sedikit saja, nafas akan tersengal-sengal. Namun hal tersebut tidak menghalangi niat untuk terbang ke Lombok demi menakhlukkan Gunung Rinjani yang menjulang hingga 3.726 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia.
“Untuk sarapan, kami dibikinkan pancake. Sementara untuk hidangan penutup makan malam, ada pudding coklat tersaji,” begitu kesaksian teman saya yang telah lebih dulu menakhlukkan Rinjani. Sebagai orang yang doyan makan, hal itu cukup untuk menjadi motivasi mendaki gunung yang dianggap suci bagi umat Hindu Bali dan suku Sasak itu. Gunung Rinjani dipercaya sebagai tempat tinggal Dewi Anjani, puteri raja yang karena tidak diizinkan menikah dengan kekasih pilihannya, ia menghilang dari muka bumi dan berpindah ke alam gaib di puncak Gunung Rinjani.
Rinjani dapat diakses dari Sembalun dan Senaru. Kebanyakan pendaki memilih rute dari Senaru dan mengakhirinya di Sembalun karena jalur ini kerap digunakan sebagai jalur pendakian oleh masyarakat yang akan melakukan ritual adat atau keagamaan di puncak Rinjani atau Danau Segara Anak. Selain itu, jalur Senaru juga lebih pendek untuk menuju puncak dibandingkan jalur Sembalun.
Setelah bertanya sana-sini dan melakukan riset di Internet, saya kemudian memilih jalur dari Sembalun dengan durasi tiga hari dua malam. Hal ini karena jalur Sembalun dimulai dengan savanna sehingga sebagai orang yang nafasnya langsung memendek setiap bertemu jalan yang menanjak, maka pilihan ini merupakan pilihan yang aman. Namun bukan berarti rute ini tidak sulit. Sedangkan bila memulai pendakian dari Senaru yang walaupun teduh karena menembus hutan hujan, namun jalurnya terus menanjak dan bukan tidak mungkin tenaga sudah terkuras di hari pertama.
Setelah menguatkan mental, bertolaklah saya ke Lombok. Dari Mataram, Sembalun ditempuh sekitar 2,5 jam naik mobil. Berlokasi di ketinggian sekitar 1.150 meter di atas permukaan laut, jalan menuju Sembalun dihiasi berbagai obyek menarik sepanjang jalan: pemandangan pegunungan, pasar tradisional yang berwarna, tingkah polah monyet yang tidak takut dengan mobil yang melintas, hingga berbagai bunga liar di tepi jalan.
Hari 1
Terbangun oleh semburat merah langit di balik jendela, saya terbangun dengan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Baru di lerengnya saja pemandangan yang saya saksikan pagi itu indah sekali. Kalau sudah di puncak, pasti pemandangannya berlipat kali lebih indah dari yang saya lihat dari halaman Lembah Rinjani Homestay yang ditumbuhi berbagai bunga dan sayuran itu. Puncak Rinjani yang masih gelap tampak di kejauhan. Setelah menyeruput kopi panas dan mengudap roti panggang, guide datang menghampiri untuk memberikan briefing singkat tentang pendakian. Kami harus meninggalkan hotel dan mulai mendaki sebelum pukul 08:00 agar matahari tidak keburu tinggi, berhubung rute yang akan kami lalui adalah padang rumput yang tanpa dinaungi oleh pepohonan rimbun. Walau jalunya landai, namun terik matahari yang menyengat tentu dapat membuat badan cepat letih.
Pukul 07:00 berangkatlah kami untuk menakhlukkan Rinjani. Didampingi seorang guide dan dua orang porter, kami harus melewati tiga pos yang ditempuh selama empat jam sebelum jalur berupa savanna berakhir. Di di Pos 3 atau Pos Padabalang kami berhenti untuk makan siang dengan menu mie kuah dengan suwiran ayam dan irisan telur. Kami dibiarkan beristirahat agak lama di sini. Hal ini karena ternyata jalur berikutnya akan terus menanjak hingga Pelawangan Sembalun pada ketinggian 2.639 meter di atas permukaan laut, di mana kami akan bermalam. Melewati sembilan bukit, semakin tinggi jalan menanjak, semakin mengagumkan pemandangan yang terhampar: deretan bukit hijau yang kadang tertutup kabut tebal dengan hutan yang dirimbuni pohon pinus dan aneka tumbuhan liar. Normalnya track itu dilakukan selama empat jam, namun seperti yang telah diprediksi, saya menjadi orang terakhir yang sampai di camp site. Ketika itu hari telah gelap dan para pendaki lain telah duduk-duduk santai di muka tenda mereka.
Kondisi camp site di Pelawangan Sembalun sangat menyedihkan. Selain banyak sampah, fasilitas toilet yang tersedia juga tidak berfungsi. Akhirnya untuk urusan buat hajat, para pendaki harus pintar-pintar mencari spot di semak. Setelah membersihkan diri dengan tissue basah dan menikmati makan malam, saya langsung tertidur dengan pulas di dalam sleeping bag. “Besok kami bangunkan jam 01:00 pagi karena kita akan menuju puncak sekitar 01:30. Medannya berat, jadi kita harus berangkat sepagi mungkin supaya sampai di puncak ketika matahari belum terlalu terik,” jelas guide sebelum kami semua beranjak masuk ke dalam tenda yang hangat.
Hari 2
Guide membangunkan kami dengan senampan penuh gelas plastik berisi kopi panas. Seluruh badan baru terasa sakit namun kami memaksakan juga melangkah keluar tenda. Udara dingin pagi itu hampir menyamai musim dingin di Eropa. Dengan gigi bergemeletuk, rombongan bersiap untuk mendaki hingga ke puncak. Saya sudah mempersiapkan mental dan berdamai dengan kemungkinan akan melewatkan matahari terbit. Namun mengalahkan kelemahan diri sendiri dan berhasil mencapai puncak, itu saja sudah merupakan pencapaian besar untuk saya.
Dengan headlamp terpasang di dahi, rombongan berangkat menuju puncak. Masing-masing berbekal sebilah tongkat untuk membantu menopang berat badan ketika jalur sulit ditapak. Dengan hanya ditemani sang guide, sementara para porter tinggal di area kemping untuk menjaga barang-barang dan menyiapkan makanan, kami berjalan terdiam sepanjang jalan. Sebagian karena masih mengantuk dan sebagian lagi karena menahan sakit di seluruh badan setelah berjalan selama berjam-jam di hari pertama. Lagipula kami harus konsentrasi pada langkah kami di tengah kegelapan menembus hutan. Perjalanan menuju puncak dengan meniti bibir kawah merupakan perjalanan yang melelahkan, terutama pada 200 meter terakhir menuju puncak. Medan berpasir yang gembur dengan serakan kerikil membuat langkah terhambat mundur karena bila kaki maju satu langkah, maka kita akan turun setengah langkah.
Tidak heran masyarakat Sasak Lombok mempercayai bahwa puncak Rinjani sesungguhnya tak terdaki. Tak banyak peserta pendakian yang berhasil sampai ke puncak. Banyak yang baru sepertiga atau dua pertiga perjalanan kemudian memutuskan kembali ke camp site di Pelawangan Sembalun. Makanya tak heran, mereka yang sampai puncak bagai memiliki keterikatan emosional satu sama lain. Sesampainya di puncak, kami saling saling menyapa dan berbagi bekal, seolah-olah semua orang yang berdiri di puncak itu adalah sekelompok kawan lama yang telah salin kenal. Walau kaki pegal namun tangan tak bisa berhenti menjepretkan kamera. Guide lagi-lagi menawari kami kopi panas dan biskuit untuk memulihkan tenaga.
Dari puncak, tampak Danau Segara Anak yang tenang, Pulau Lombok dengan ketiga gilinya, selain Pulau Bali dan Gunung Agung-nya, serta sebagian Pulau Sumbawa. Setelah puas memotret, kami duduk terdiam menikmati keindahan alam, sebelum guide mengajak kami meninggalkan puncak dan perlahan menuruni bukit. Turun memang tidak lebih mudah, namun paling tidak nafas lebih stabil. Sarapan hangat yang menunggu di camp site merupakan motivasi bagi kaki untuk terus melangkah. Di area camp, cuaca yang cerah menyajikan pemandangan Danau Segara Anak yang memukau.
Setelah sarapan, kami harus berjalan lagi menuruni bukit yang terjal menuju Danau Segara Anak. Di sanalah kami akan bermalam selanjutnya. Gunung Rinjani berperan penting bagi kawasan pertanian di Lombok karena keberadaan Danau Segara Anak pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut yang berfungsi sebagai penampungan air yang tak kunjung kering untuk dialirkan ke kawasan pertanian di seluruh Lombok. Segara Anak karena dalam Bahasa Sasak berarti lautan mini. Dalam masyarakat Sasak berkembang mitos bahwa apabila seseorang melihat Danau Segara Anak dalam keadaan luas maka ini menandakan bahwa umur orang yang melihat tersebut masih panjang. Sebaliknya jika danau tampak sempit, maka umur orang tersebut sudah pendek. Seluas 11.000.000 meter persegi dengan kedalaman 230 meter, Danau Segara Anak juga dipercaya oleh masyarakat Sasak yang beragama Islam sebagai tempat bersemayamnya para wali. Merekalah yang menjaga Gunung Rinjani agar tidak meletus dan menyengsarakan penduduk Lombok. Di tengah danau kini terdapat Gunung Baru, sebuah gunung yang muncul dari aktivitas gunung berapi. Gunung Baru ini sesekali terlihat mengeluarkan asap dan suara gemuruh.
Hari 3
Berkemah di tepi Danau Segara Anak, walau lelah, namun kondisi kami jauh lebih baik. Berkat melimpahnya air, maka kami dapat membasuh diri dengan puas. Apalagi tak jauh dari camp site terdapat sebuah pemandian air panas. Kolam air panas alami ini memiliki suhu yang berbeda-beda sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan untuk menghilangkan pegal-pegal.
Memahami kondisi kami yang sudah kelelahan, guide sengaja membiarkan kami menikmati danau sepuasnya dengan memancing ikan mujair atau sekadar duduk-duduk santai. Baru selepas tengah hari kami berangkat meninggalkan camp site untuk menuju pos berikutnya. Jalur yang harus dilalui menuju Senaru tergolong landai dan kebanyakan jalan yang menurun. Karena hari itu terus-terusan turun hujan, jalur menjadi sangat licin sehingga kami harus ekstra hati-hati. Di sepanjang jalan kami melihat bunga Edelweiss (Edelweiss javanica) yang sering menjadi simbol keabadian karena tidak bisa layu. Walau jumlahnya tak sebanyak di Gunung Gede atau Gunung Semeru, guide mewanti-wanti kami untuk tidak memetik bunga ini. Wilayah Gunung Rinjani terkenal gaib, sehingga disarankan untuk tidak dapat sembarangan memetik atau mengambil sesuatu untuk dibawa pulang. Masyarakat setempat percaya bahwa bunga Edelweiss tidak akan layu karena terisi oleh kekuatan gaib.
Hutan hujan tropis yang kami lalui menuju Desa Senaru sangatlah mengagumkan. Tak hanya dari segi kerapatan vegetasi dan keragamannya, namun suasananya pun terasa mistis. Berkali-kali kami harus berjalan menembus hujan dan kabut tebal sehingga kami bagai berada di dunia lain. Berbagai suara burung, serangga bahkan primata pun ramai mengiringi setiap langkah.
Kami sampai di Senaru ketika hari sudah gelap dengan kondisi kaki yang sudah mati rasa. Tiga buah kartu memori kamera masing-masing sebesar 8 GB telah penuh terisi. Malam itu kami menginap di Pondok Senaru sebelum kemudian meneruskan perjalanan ke Gili Trawangan untuk melepas lelah. Satu lagi puncak tinggi di Indonesia telah berhasil ditakhlukkan dan walau bukan pendaki sejati, saya masih haus untuk mendaki lebih banyak lagi gunung-gunung di Nusantara ini.
TEKS & FOTO: FRANSISKA ANGGRAINI