
Romansa Selorejo
“Kemarin hujan turun mulai pagi sampai sore. Jadi perahunya gak ada yang jalan,” kata seorang lelaki setengah baya pendayung perahu yang saya tumpangi. Teman dekat saya, seorang perempuan yang agak pemalu, hanya memotret pemandangan sekitar dengan ponselnya sambil meringis menahan butir air hasil hentakan badan perahu dan permukaan air yang terciprat ke wajahnya. Angin sepoi-sepoi mendorong perahu kami membelah perairan Selorejo yang hampir tenang.
Matahari yang cerah membuat riak-riak perairan Selorejo menyala menyilaukan. Sehari sebelumnya saya telah berencana untuk menengok Selorejo, sebuah waduk PLTA yang terletak di dekat kota Malang. Letaknya masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jalan berliku dan naik turun saat menuju Selorejo memaksa para pengendara untuk mengendorkan gasnya. Berkendara perlahan nampaknya menjadi pilihan terbaik, karena sayang juga kalau pemandangan lebat hutan cemara, sungai-sungai berbatu, ataupun ladang sayuran di sepanjang perjalanan menuju Selorejo diacuhkan begitu saja.
Rasa penasaran untuk menjejakkan kaki di sekitar perairan Selorejo tumbuh sejak lama saat saya seringkali melalui jalur naik turun dari Kota Malang menuju Kota Kediri.
Di Kecamatan Ngantang yang berada di ketinggian, perairan Selorejo nampak megah di kejauhan. Namun ternyata pemandangan saat menjejakkan kaki di bibir perairan Selorejo jauh melebihi apa yang bisa dilihat dari atas. Apalagi saat kita menyewa perahu dan mengarungi perairan luas tersebut dengan perlahan.
Pada dasarnya Selorejo merupakan bendungan yang difungsikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang rampung dikerjakan pada era 70-an. Namun, jika memandang lanskap sekeliling, lokasi ini seperti jauh dari kesan adanya campur tangan manusia.
Gaung keindahan Selorejo memang terdengar tidak sekeras objek wisata lainnya yang lebih populer di Jawa Timur. Namun banyak hal yang sepertinya sayang untuk dilewatkan. Seperti jembatan gantung yang terbentang puluhan meter di atas sungai lebar yang airnya berasal dari Selorejo. Di bawah jembatan, banyak orang-orang memancing yang tersebar di beberapa sudut. Alat pancing memang disewakan di sekitar Selorejo. Tidak jauh dari jembatan gantung itu, berjejer warung-warung yang menawarkan menu hasil tangkapan dari perairan sekitar, bau harumnya tentu saja membikin perut keroncongan.
Buah durian menjadi hasil bumi unggulan kawasan Selorejo, selain sayur mayur dan buah-buahan lainnya. Pohon tingginya yang berdaun kekuningan tersebar di banyak sudut. Pada masa-masa panen, harganya yang semula selangit bisa turun hingga 20 atau 10 ribu rupiah per buahnya. Tergantung dari ampuhnya jurus menawar kita. Rasanya pun tidak kalah dengan durian impor dari Thailand yang dijual di supermarket.
Memandangi ujung depan perahu membelah air yang menyisakan arus-arus lembut hingga ke bagian belakang membuat imajinasi melayang pada gondola-gondola di Venezia dengan pendayung beserta gala panjangnya, serta sepasang kekasih yang duduk manis di bangku kayu perahu. Seperti di film-film drama. Bedanya, di Venezia, yang dilalui gondola adalah kanal-kanal kecil yang diapit bangunan tinggi berlanggam klasik. Sedangkan di Selorejo, perahu yang kami tumpangi membelah perairan luas yang diapit pegunungan menjulang tinggi. Persamaannya, sama-sama menghadirkan suasana romantis.
Saat sore menjelang, di kejauhan sepanjang pintu air yang membatasi perairan Selorejo dengan kampung-kampung yang berada di bawahnya, nampak berjejer anak-anak muda yang duduk bergerombol di bebatuan besar. Kadang mereka menggoda beberapa perempuan yang melintas. Lainnya asyik menggerogoti jagung bakar.
Munculnya perasaan romantis memang bisa kapan saja. Seperti memandangi keindahan puncak-puncak gunung, berada di dalam kereta yang sedang melintasi hijau persawahan, membaca novel tua sambil ditemani secangkir kopi robusta, atau saat berada di atas perahu yang sedikit bergoyang di tengah perairan Selorejo.
TEKS & FOTO: DANI ARTANA