Seminggu di Kathmandu
Berencana pergi ke Tibet, namun saya malah mendarat di Nepal dan menikmati setiap kejutan yang ada.
Dapat diakses dari India, Thailand, Singapura, and Malaysia, Tahun Kunjungan Pariwisata Nepal 2011 menargetkan satu juta turis mancanegara. Hal ini tidak sekadar slogan karena sebagai salah satu negara termiskin di Asia, Nepal menggantungkan devisanya dari pariwisata.
Sesampainya di Tribhuvan International Airport di Kathmandu, hampir semua turis tinggal mengisi formulir permohonan Visa on Arrival dan membayar sesuai waktu tinggal yang diinginkan: USD 25 untuk 15 hari, USD 40 untuk 30 hari, dan USD 100 untuk 100 hari. Semuanya untuk multiple entry dan dapat dibayar menggunakan berbagai mata uang asing selain dolar Amerika.
Kisah Tiga Kota
Bandara Kathmandu yang dindingnya dari batu bata merah mengingatkan saya akan Bandara Soekarno-Hatta. Dinding batu bata merah ini ternyata merupakan ciri khas bangunan Nepal. Melangkah keluar Terminal Kedatangan yang jauh dari hiruk-pikuk, Lembah Kathmandu terbentang di depan mata. Bentuk lembah yang seperti mangkuk konon membuat semua pesawat yang akan mendarat di Kathmandu harus pandai-pandai mengarahkan posisi dan hanya pilot yang berpengalaman lah yang dapat melakukan hal ini.
Hamparan lembah hijau yang dipenuhi bangunan mengingatkan saya akan pemandangan Puncak di Jawa Barat ketika tahun 1980-an. Menjejakkan kaki di Nepal memang bagai melangkah ke dalam mesin waktu. Kotanya sederhana tanpa banyak bangunan bertingkat maupun gedung pencakar langit. Kondisi jalan di Kathmandu tergolong parah. Tak hanya ukurannya yang sempit, namun banyaknya lubang di jalan membuat kendaraan harus melaju pelan. Inilah yang penyebab utama kemacetan yang ternyata tidak beda jauh dengan kondisi lalu-lintas Jakarta ketika diguyur hujan menjelang jam kantor berakhir. Tak heran kalau hampir semua mobil yang terlihat di jalan-jalan Kathmandu adalah model city car mungil dengan tahun tua. Seperti gang-gang di sekitar wilayah Thamel tempat hotel saya berada, misalnya, memang hanya muat untuk satu mobil.
Seperti kebanyakan turis yang berdatangan ke Kathmandu, saya pun memilih menginap di area Thamel yang berlokasi sekitar 45 menit dari Bandara Tribhuvan. Seperti Khao San Road di Bangkok atau Pham Ngu Lao di Ho Chi Minh City, Thamel merupakan wilayah para backpacker. Di sini terdapat banyak penginapan murah, selain menjamurnya restoran, bar, spa, supermarket, toko suvenir, serta agen perjalanan dan operator yang siap menawarkan tur keliling Nepal hingga mengatur perjalanan ke Tibet, Bhutan, dan India.
Kathmandu adalah salah kota tertua di dunia dengan sejarah yang terentang lebih dari 2.00 tahun. Kota ini merupakan gabungan dari tiga kota kuno yang terletak di Lembah Kathmandu, yaitu Kathmandu, Patan dan Bhaktapur. Patan terletak sekitar lima kilometer di selatan Kathmandu, sementara Bhaktapur 12 kilometer di timur Kathmandu. Mayoritas masyarakat Nepal menganut Hindu. Namun uniknya, karena secara historis agama Buddha terkait erat dengan sejarah masyarakat Nepal, maka warganya tidak membedakan antara Hindu dan Buddha. Penganut Hindu dan Buddha di Nepal menyembah dewa yang sama, pergi ke kuil yang sama, selain juga merayakan tradisi kedua agama.
Masyarakat Hindu di Nepal mempercayai Siwa sebagai dewa pelindung negara, berkat keberadaan Kuil Pashupatinath di tepi Sungai Bagmati yang dibangun sekitar tahun 400 Sebelum Masehi. Bila umat Muslim berkunjung ke Mekkah untuk naik haji, penganut Hindu dari seluruh dunia berkunjung ke kuil Hindu tertua di dunia yang ada di Kathmandu ini untuk berziarah. Kuil Pashupatinath juga merupakan salah satu situs Warisan Dunia UNESCO.
Memasak ala Nepal
Mayoritas turis datang ke Nepal dengan niat untuk trekking di Pegunungan Himalaya. Karena faktor U (usia), saya lebih memilih untuk ikut kursus memasak makanan Nepal ketimbang terengah-engah mendaki gunung. Tidak seperti di Thailand atau Bali, aktivitas ini memang belum terlalu populer. Hasil dari browsing di Internet, saya menemukan sebuah operator tur bernama Social Tours yang kegiatan utamanya sebenarnya menawarkan paket tur ke Himalaya. Namun untuk memberikan pengalaman budaya setempat, mereka juga menawarkan kelas memasak harian. Walau hanya mengajarkan satu jenis masakan, menu yang dipelajari pun berbeda-beda setiap hari sehingga para turis dapat mengikuti kelas masak ini untuk beberapa hari berturut-turut. Jenis masakan yang ditawarkan adalah dhal bat, momo, atau aloo paratha. Saya memilih momo, yang ternyata dim sum China (bentuknya mirip xia long bao) berisi daging (ayam atau kerbau) atau sayuran yang dibumbu rempah khas India. Yang paling terkenal di Nepal adalah momo daging kerbau atau yang sering disebut “Buff Momo”.
Momo adalah contoh yang sempurna representasi perpaduan budaya China dan India. Konon resep momo ini berasal dari Tibet yang dibawa oleh para petani Nepal yang menjual hasil ladangnya ke Tibet. Dari interaksi itulah kemudian dim sum ala Tibet itu dibawa pulang. Sesampainya di Nepal, resep itu dimodifikasi dengan penggunaan rempah-rempah yang kuat yang diadaptasi dari pengaruh India. Setelah populer, momo kemudian menjadi makanan wajib para petani sebagai bekal makan siang.
Durbar Square
Saya memang tidak terlalu suka belanja, namun karena mengkoleksi kain, maka saya berniat mencari sebuah kain sari. Teori saya adalah kain untuk konsumsi sehari-hari masyarakat pastilah murah. Terlebih masyarakat Nepal yang miskin pastilah daya belinya tidak tinggi. Salah satu cara untuk mendapatkan kain sari dengan harga terjangkau adalah di pasar tempat warga lokal berbelanja, bukan di toko suvenir di daerah turis. Kualitasnya memang tidak terlalu bagus, namun kalau tidak berniat mencari kain sari kualitas nomor satu, cara ini bisa ditiru. Benar saja, saya berhasil mendapatkan kain sari merah yang cantik sepanjang enam meter hanya seharga Rs 250 (atau sekitar Rp 30.000 saja!). Sekadar tip, belanjalah di pagi hari ketika toko-toko baru buka demi lebih leluasa merayu untuk mendapatkan “morning price”. Berbekal sepatah dua patah kata bahasa Hindi pun juga kadang membantu untuk menarik simpati para penjaga toko dalam mendapatkan diskon lebih.
Sangatlah mengasyikkan menghabiskan hari di Durban Square untuk mengamati orang lewat. Gang-gang sempitnya hiruk-pikuk dan ramai dipadati manusia berkain sari warna-warni. Itu semua masih ditambah rickshaw (sejenis ojek sepeda dengan kursi untuk dua sampai tiga penumpang di bagian belakang) yang tiba-tiba meluncur cepat sambil ribut membunyikan bel. Jangan khawatir tersasar, karena kalau bertanya arah, warga Nepal tak hanya bersedia menunjukkan arah, tapi juga tidak segan-segan mengantar saya sampai di tempat tujuan.
Slogan Tahun Pariwisata Nepal adalah “Naturally Nepal, Once is not enough”. Setelah tujuh hari di Kathmandu, saya baru sadar bahwa saya belum sempat menonton bioskop film Nepal dan naik sepeda keliling Lembah Kathmandu. Ketika pesawat yang saya tumpangi meninggalkan Kathmandu untuk menuju New Delhi, dari ketinggian tampak puncak gunung-gunung tertutup salju yang menjadi kebanggan Nepal. Lain kali, mungkin saya akan kembali untuk hiking di Himalaya. Namun kalau Anda seperti saya yang senang leyeh-leyeh pun, Nepal akan tetap berkesan, kok!
TEKS: FRANSISKA ANGGRAINI (@fransiska_angg)