
Asmat, Suara dari Balik Liukan Sungai
Cinta membuat siapa pun tak pernah sama lagi, begitu pun mereka yang pernah menjejakkan kaki di Asmat. Berkesempatan berinteraksi dengan suku yang sering dicap primitif namun sebenarnya sangat rumit ini menyadarkan bahwa hati manusia memang luas.
Berat sebenarnya meninggalkan kantor untuk 12 hari, namun berhubung Asmat jauh dan terpencil, setidaknya harus memfleksibelkan waktu pulang maupun pergi. Perjalanan ke Asmat ini adalah undangan Panitia Peduli Keuskupan Agats (PPKA) yang lahir dari Persekutuan Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta (PUKAT KAJ) yang ingin membantu berbagai masalah sosial di Asmat.
Didukung oleh majalah Panorama, pada September 2013 ini mereka mengadakan Kompetisi Asmat-Ow yang memilih lima orang untuk dikirim ke Asmat dan menuliskan pengalaman mereka melalui esai foto yang akan dibukukan. Hasil penjualan buku yang akan diluncurkan April 2014 tersebut akan digunakan sebagai dana pendidikan dan kesehatan di Asmat.
Asmat-ow sendiri merupakan kata dalam bahasa Asmat yang berarti orang Asmat sejati. Kesejatian ini mereka tunjukkan dengan memanfaatkan kayu (Asmat berarti manusia kayu) bagi kehidupan sambil tak lupa mengenang nenek moyang.
24 Jam di Timika
Bandara Mozes Kilangin di Timika adalah bandara terbagus yang pernah saya datangi di Papua. Sorenya, seorang pastor dari Keuskupan Agats menghampiri hotel kami di Timika. Ia dipanggil Romo Joned. Tak seperti pastor-pastor lain yang terkesan terlalu agung untuk didekati – mungkin karena sore itu ia mengenakan kaos seragam sepakbola dan topi kesebelasan favoritnya – ia sangat ramah dan blak-blakan, sehingga seringkali saya keceplosan memanggilnya “Mas”.
Pembicaraan pun mengalir mulai dari anjing kesayangannya bernama Euro di Agats hingga bagaimana ia mencintai ukiran Asmat dan kemudian mencari cara agar para pengukir bisa hidup dari menjual patung di luar Pesta Budaya Asmat, sebuah ajang tahunan di mana para pengukir melelang karya-karya mereka.
Dilakukan sejak tahun 1981 atas prakarsa Keuskupan Agats, kini pesta tahunan itu dikelola oleh pemerintah daerah. Agar patung-patung yang akan dilelang di Pesta Budaya tidak rusak selama perjalanan dan pengukir tak perlu keluar uang untuk biaya transportasi ke Agats, maka panitia menyediakan jemputan dari desa masingmasing.
“Masyarakat Asmat belum mengerti konsep menabung. Kebudayaan mereka masih sebatas mengambil dan mengolah. Lagipula hubungan kekerabatan mereka sangat dekat, sehingga apa pun yang mereka miliki – sagu, kayu, maupun uang – harus dibagi rata dalam keluarga. Inilah sebabnya mereka terus miskin, karena uang yang mereka hasilkan dihabiskan hari itu juga dengan dibagi-bagikan kepada anggota keluarga,” jelas Romo Joned.
**********
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Januari-Februari 2014.
TEKS & FOTO: FRANSISKA ANGGRAINI