TOP

Ladakh, di Mana Langit Begitu Dekat

Di tempat seindah Ladakh, rasanya rugi bila mata sampai terpejam. Ironisnya, tempat ini memang sangat mengundang untuk memejamkan mata sambil mereguk kedamaian serakus-rakusnya. Mungkin seperti inilah yang disebut-sebut sebagai surga yang dicari banyak orang.

Setelah menempuh perjalanan dua hari satu malam dari Srinagar dengan bermalam di Kargil, akhirnya kaki-kaki letih kami menjejak di tanah Ladakh. Tiga kali melewati pos penjagaan militer karena Ladakh berada di perbatasan antara India dengan Pakistan dan India dengan China, perjalanan dari Srinagar menuju Leh itu tak hanya membuka mata, tapi juga hati kami.

Mayoritas penduduk Ladakh adalah pemeluk Budha dengan mata sipit dan kulit agak gelap. Kami berteriak kegirangan, ketika akhirnya membaca plang bertuliskan ‘Welcome to Leh’. Ada perasaan lega saat akhirnya kami benar-benar sampai di Hotel Omasila dan menurunkan kopor dari mobil. Omasila merupakan hotel mungil yang terletak di ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut. Walau sederhana, hotel ini sangat bersih dengan taman cantik di bagian belakang.

Leh dikelilingi monastery. Saya sempat berkunjung ke Alchi Monestery yang tertua di Ladakh dan terletak di tepi Sungai Indus. Patung dan lukisan Buddha di sini banyak mengambil tipikal wajah orang India. Memotret tidak diperbolehkan dan pintu yang rendah membuat setiap orang harus berhati-hati. Disarankan untuk memakai sandal atau sepatu yang mudah dilepas dan dipakai kembali, karena bila berkunjung ke monastery, pengunjung diharuskan melepas alas kaki.

Setelah tiga malam di Leh, kami bertolak ke Nubra Valley yang ditempuh sekitar lima jam dari ibukota Ladakh itu. Dalam perjalanan, kami berhenti di Khardung La Pass, sebuah jalan sepanjang 39 kilometer di ketinggian 5.602 meter yang merupakan jalan raya tertinggi yang bisa dilewati kendaraan bermotor. Melaju di jalan ini, siapa pun akan merasakan campuran takut dan takjub yang berganti-ganti.
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2013.

TEKS & FOTO: ADRIJANI LIM