
Mission (Not) Impossible
Tom Cruise berlarian di antara bangunan tua yang berhiaskan lampion menuju jembatan kuno yang meliuk di atas kanal yang dilalui kapal kayu tradisional. Berada di Kota Air Zhouzhuang, adegan Mission Impossible 3 itu seolah nyata terpampang di depan mata.
Teks & foto Fransiska Anggraini
Musim dingin kemarin saya dibujuk berlibur ke Shanghai oleh seorang kawan baik. Ia seharusnya pergi dengan orang lain, namun di saat-saat terakhir orang tersebut berhalangan. Tak perlu lama membujuk karena saya belum pernah ke Shanghai. Saya pun tak banyak bertanya tentang apa yang akan dilakukan di sana, selain prospek untuk dapat kembali mengenakan baju musim dingin yang di Jakarta hanya teronggok di sudut lemari. Hingga suatu pagi di Shanghai, teman saya itu menguncang-guncang tubuh saya yang masih meringkuk di bawah selimut. Walau sudah hampir pukul 07:00, namun di luar masih gelap.
“Ayo bangun, hari ini kita ke Zhouzhuang (baca: cocuang) , tempat syuting film Mission Impossible 3!” katanya, sebelum kemudian menerangkan bahwa Zhouzhuang mirip Venesia, hanya bedanya kanal di sini diapit oleh rumah-rumah China kuno.
“Mission Impossible 3 bukannya syuting di Xitang untuk setting kota air?” ujar saya yang masih malas beranjak dari ranjang.
“Xitang dan Zhouzhuang itu mirip. Bedanya, Xitang lebih touristy karena lebih dekat ke Shanghai, sementara Zhouzhuang adalah kota air yang tertua di antara kota air yang ada di China. Walau lebih jauh dari Xitang, tapi Zhouzhuang lebih indah!”
Lost in Translation
Alasan kami harus berangkat pagi karena harus membeli tiket bus dulu di terminal. Masalahnya, kami tidak tahu nomor bus menuju Zhouzhuang. Kelupaan membawa phrase book bahasa Mandarin adalah hal yang merepotkan karena berkomunikasi dengan warga Shanghai harus mengandalkan bahasa tubuh.
Setelah sarapan, kami berdiri di depan hotel untuk mencari taksi menuju Shanghai Tourist Distribution Center yang berlokasi dekat Shanghai Stadium untuk membeli tiket bus. Ketika sampai di tempat membeli tiket, hall masih sepi dan beberapa lampunya pun masih belum dinyalakan. Tak terlihat seorang pun di sana kecuali cleaning service. Kami kira kami sudah ketinggalan bus. Berjalan lebih jauh ke dalam hall pembelian tiket ini, saya melihat seorang turis asing sedang berbicara dengan seorang petugas informasi dalam bahasa Inggris. Mendengar bahasa Inggris di China memang setara dengan mendapatkan jatah cuti 42 hari dalam setahun. Kami langsung berdiri di belakang turis asing itu untuk mengantre bertanya.
Ternyata, tempat yang kami datangi itu bukanlah terminal yang sudah saya bayangkan akan mirip Terminal Kampung Rambutan. Rupanya tempat itu terminal khusus bus untuk pariwisata. Tak heran, bangunannya pun dirancang mirip ruang tunggu penerbangan berbujet rendah. Inilah kehebatan pemerintah China yang berambisi menjadi negara modern. Menata masyarakat yang masih tradisional – dan sebagian bahkan tidak berpendidikan – untuk dapat beradaptasi dengan modernisme bukanlah hal yang mudah. Namun, ambisi itu sepertinya telah tercapai karena dari 15 bangunan tertinggi di dunia, enam di antaranya terdapat di China.
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi September/Oktober 2014.