TOP

Seistimewa Pesta

Pesawat mendarat di Banda Aceh menjelang jam makan siang. Walau naik pesawat full service, keluar dari Bandara Sultan Iskandar Muda yang lebih mirip masjid, hal pertama yang terucap dari bibir kepada supir yang menjemput adalah, “Ke ayam tangkap dulu ya, Pak!”

Saya belum pernah ke Aceh, namun rekues tersebut saya ucapkan dengan mantap seolah-olah saya telah tinggal di Banda Aceh bertahun-tahun. Saya pun tak menyebut nama restorannya karena menurut teman-teman yang pernah tinggal di Aceh berpesan, “Pokoknya bilang saja mau ke restoran ayam tangkap di dekat bandara. Semua orang di Banda Aceh pasti tahu!” begitu kata mereka.

Pak Supir membawa saya ke Warung Nasi Hasan di cabangnya yang ketiga, yaitu di Jalan Profesor Ali Hasjmi Pango. Untuk memperkuat persuasinya, sepanjang jalan menuju tempat makan itu ia mengatakan bahwa Warung Nasi Hasan yang selalu ramai itu telah berkembang menjadi tiga gerai di Banda Aceh. Gerainya yang ketiga yang sedang kami tuju adalah gerai terbaiknya karena layanannya yang baik.

 

Menangkap Ayam

Saya memaksa Pak Supir untuk menemani saya makan karena awalnya ia sungkan dan menolak ajakan makan bersama itu. Selain ayam tangkap, Warung Nasi Hasan yang berada di bangunan kayu semi terbuka itu terkenal akan gulainya. “Mau pesan gulai atau ayam tangkap?” tanya Pak Supir yang siaga untuk menerjemahkan pesanan ke dalam bahasa Aceh kepada pelayan. “Kenapa harus memilih? Pesan dua-duanya!”

Mungkin benar apa yang dikatakan Pak Supir tentang servis yang bagus di tempat ini. Walau ramai, namun tak butuh waktu lama untuk sepiring ayam tangkap dan gulai terhidang di meja. Keduanya dalam keadaan masih hangat. Bagai mencicipi pasta dan pizza di Italia, ayam-ayam tangkap yang telah saya nikmati di   berbagai restoran dan tempat makan di Jakarta memang tidak ada tandingannya dengan yang saya makan siang itu di Warung Nasi Hasan 3.  Beberapa tempat malah menggunakan potongan ayam besar-besar sehingga menghilangkan esensi dari aktivitas “menangkap” ayam di antara tumpukan daun yang digoreng kering, yang menjadi asal nama masakan ini.

 

Ayam tangkap adalah ayam goreng kampung yang dihidangkan dengan dipotong kecil-kecil kemudian ditimbun dengan daun kari – warga setempat menyebutnya temurui –  selain daun pandan atau daun salam koja yang digoreng hingga garing dan  menyerupai keripik, sehingga harus diraba – atau ditangkap – dulu sebelum dapat mengambilnya untuk dimakan. Di antara daun-daun kering itu juga kadang ditambahkan cabai hijau utuh yang juga ikut digoreng kering yang ketika digigit tidak terlalu pedas. Ayam dan daun-daun kering ini diolah terpisah. Mirip Ayam Taliwang, untuk menghasilkan daging yang empuk, dipilih hanya ayam kampung yang berumur tiga bulan untuk mengolah ayam tangkap. Sebelum digoreng kering, daging ayam dimarinasi dengan air dari kelapa tua yang dicampur garam, daun pandan, kunyit, dan daun salam.

Ternyata gundukan daun kering lebih cepat menghilang di piring ketimbang potongan-potongan ayam yang juga dipadukan dengan jeroannya. “Kita bisa minta tambah daun keringnya saja?” tanya saya ke Pak Supir, setengah bersiap akan menerima penolakan. Entah apa yang ia katakan dalam bahasa Aceh kepada salah satu pelayan yang dipanggilnya, namun kemudian sepiring kecil daun kering tambahan terhidang di meja.

 

Mirip Minangkabau

Sampai daging dan daun tandas dari piring, saya baru mengalihkan perhatian kepada gulai kambing yang disajikan dengan nangka yang begitu empuk, kemudian kepada sepiring kecil pliek u yang juga tersaji di meja pada siang yang panas itu. Penyajian makanan di rumah-rumah makan di Aceh mirip di Minangkabau, di mana berbagai lauk-pauk tersaji di piring-piring kecil dan penagihan biaya makan akan sesuai dengan lauk yang telah dimakan.

Itulah kali pertama saya mencicipi pliek u, kondimen yang merupakan daging kelapa tua yang dijemur lalu diperas minyaknya. Ampas dari perasan itulah yang sebenarnya merupakan pliek u dan biasanya diolah bersama sayuran, seperti daun melinjo. Kuah pliek u berasal dari santan kelapa dan ditambahkan kunyit sehingga walau didominasi gurih, namun tetap terasa sedikit pahit.

Selain gulai kambing dan pliek u, di meja juga tersaji keumamah atau gulai ikan kayu. Bila Tanah Batak memiliki andaliman sebagai rahasia dalam banyak resep turun-temurun keluarga, maka Aceh memiliki keumamah alias ikan kayu. Ikan tongkol yang dikeraskan ini biasanya jenis tongkol yang dijemur hingga sekeras batang kayu sehingga tahan lama. Untuk mengolahnya, ikan harus terlebih dulu direndam di air panas. Saya belum pernah mencicipi keumamah, namun pernah dioleh-olehi seorang teman sekotak ikan kayu. Ketika itu ikan kayu saya olah dengan ditumis dengan jagung muda dan telur puyuh. Orang Aceh biasanya mengolah ikan kayu menjadi gulai dengan mengiris daging ikan kayu yang telah melembut tipis – tipis dengan asam sunti, salam koja, cabai rawit dan cabai hijau.

Agenda utama saya ke Aceh memang untuk bertolak ke Pulau Weh, sehingga sebelum pukul 16:00 WIB saya harus sudah harus ada di pelabuhan untuk naik kapal cepat. Selesai makan ayam tangkap, waktu masih menunjukkan pukul dua kurang, sehingga masih ada dua jam sebelum harus berada di Pelabuhan Ulee Lhee. Toh, tiket sudah dibelikan sehingga tak perlu mengantre di loket dan dapat langsung masuk ke kapal.

 

Sepiring Akulturasi Budaya

Beroperasi pada 1967, bangunan ruko bertingkat dua tempat Mi Razali menjajakan mi selalu penuh pengunjung. Mi ala Aceh di sini tersedia dalam tiga pilihan, yaitu goreng, rebus tanpa kuah, dan rebus dengan kuah. Bagi yang memilih mi berkuah, yang menjadikannya istimewa adalah kuah kental mirip kari ini terbuat dari kaldu kepiting kemudian ditambahkan merica hitam, bawang merah, bawang putih, cabai, kapulaga, star anise, jinten, dan adas, sehingga rasanya pekat dan aromanya kuat walau tidak sekuat kari India. Semua jenis mi yang ditawarka dapat dipesan tingkat kepedasan sesuai selera. Minya sendiri adalah jenis mi kuning yang dibuat sendiri untuk menjaga kualitas. Dagingnya juga dapat dipilih antara udang (kadang dengan tambahan potongan cumi), sapi, atau kambing, serta disajikan dengan emping, cabai, bawang merah, mentimun, dan sepotong jeruk nipis atau jeruk purut untuk diperaskan ke sekujur mi untuk memberi rasa asam sebagai pengimbang pekatnya rempah.

Mi Aceh adalah bukti dari budaya Aceh yang menerima pengaruh dari Tiongkok, India, dan Arab. Minya dari Tiongkok, kuah pekatnya dari India, dan penggunaan pilihan daging sapi dan kambing yang halal dari Timur Tengah. Sedangkan elemen seafood pada kuah yang menggunakan kepiting dan pilihan udang maupun cumi tentu karena letak geografis Aceh yang dikelilingi Selat Malaka, Laut Andaman, dan Samudera Hindia, sehingga masyarakatnya mengadaptasi gaya hidup pesisir dan berprofesi sebagai pedagang dan nelayan.

Mi Aceh memang telah tersebar ke berbagai wilayah di luar Aceh, termasuk Malaysia dan Australia, namun yang saya makan siang di  Mi Razali memang mi Aceh kedua terenak yang pernah saya makan. Mi Aceh terenak yang pernah saya makan adalah dua hari setelah hari itu di Pulau Weh, tepatnya di sebuah view point yang menghadap Pulau Klah. Di situ ada warung yang menjual rujak dan mi Aceh di sebelahnya. Tadinya saya hanya ingin mengudap rujak khas Aceh yang bersimbah saus gula merah dengan kacang tanah goreng yang ditumbuk kasar dan belimbing untuk menghasilkan spektrum rasa yang rumit, manis-asam-pedas dengan tekstur renyah dari kacang. Namun karena melihat teman memesan mi Aceh dari kedai di sebelahnya, saya pun latah. Dan kelatahan tersebut ternyata merupakan berkah karena mi dari warung tanpa nama itu hingga hari ini belum bergeser dari predikat mi Aceh terbaik yang pernah saya makan.

 

Berada di Aceh, acara masak-memasak di televisi yang dipandu koki ternama yang sering saya tonton barulah masuk akal. Mereka rata-rata menekankan dalam memasak pentingnya menghadirkan tekstur yang beragam di satu masakan, sehingga ketika mengunyah ada yang lembut, keras, renyah. Masakan Aceh tak hanya kaya rasa, namun teksturnya pun beragam dalam satu kunyahan sehingga bersantap tak hanya menstimulasi indera pencecap, tapi mulut pun diajak berpesta dalam sebuah paduan rasa dan tekstur yang kompleks, sekompleks elemen masyarakat yang tinggal di ujung barat Sumatera tersebut.

 

Teks & foto E.E. Simanjuntak

 

Artikel lengkap dapat dibaca di majalah Panorama edisi Mei-Juni 2015